Market

Ekonom Ini Jelaskan Manfaat Terapkan Kebijakan Ekonomi Hijau


Sejak dahulu struktur ekonomi Indonesia, tak jauh-jauh dari ekonomi ekstraktif yang bergantung pada sektor pertambangan, mineral kritis, nikel dan hilirisasi.

Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menyatakan target pertumbuhan ekonomi tidak cukup jika hanya bergantung pada ekonomi ekstraktif.

“Begitu 7-15 tahun lagi nikel kita kemudian habis, maka pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari hilirisasi agak sulit rasanya untuk tercapai,” ujar Bhima dalam diskusi bertajuk ‘Nasib Transisi Ekonomi Hijau di Tahun Politik’ di Jakarta, Selasa (19/12/2023).

Ia bahkan mencoba membuat dua skenario, yakni konsisten dengan business as usual (BUA) maupun beralih ke ekonomi hijau. “Kesimpulan dari hasil menggunakan model input output, kalau kita tetap menjalankan BUA, Rp1.843 triliun dampak terhadap produk domestik bruto (PDB),” jelasnya.

“Tapi kalau ada komitmen politik dukungan yang lebih serius dari perbankan, lembaga pembiayaan, dari fiskal dan moneter kebijakannya juga mendukung ke arah sana, maka akan ada PDB yang diciptakan lebih besar hampir Rp3.000 triliun dalam 10 tahun ke depan,” lanjutnya.

Oleh karena itu, tentu ekonomi hijau lebih menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan menghasilkan PDB yang berkualitas. “Berkaitan dengan pendapatan masyarakat kalau BUA cuma dapat Rp582,3 triliun, tapi kalau bergerak ke sektor ekonomi hijau Rp902,2 triliun,” tegasnya,

Tak hanya itu, dengan ekonomi hijau pun angka ketimpangan akan mengecil. Karena, Bhima menilai justru dengan ekonomi ekstraktif, justru rawan akan praktik korupsi di dalamnya.

“Secara singkat ekonomi hijau mampu memberikan pajak bersih menyumbang Rp80 triliun. Pajak bersih itu pajak yang dikurangi subsidi-subsidi. Kalau masih mengandalkan ekonomi ekstraktif Rp34,8 Triliun,” papar Bhima.

 

Back to top button