News

Dukung Anak Muda Jadi Capres, Pakar: Mekanismenya Lewat DPR Bukan MK

Pakar Kepemiluan Titi Anggraini menyebut bahwa dirinya mendukung penerapan usia muda yang dapat diusung sebagai capres maupun cawapres. Bahkan ia mengusulkan agar batas usia capres dan cawapres disamakan dengan batas usia caleg.

“Kalau dari sisi substansi, saya mendukung bahwa usia capres itu harus muda. Dari dulu kami sudah mengadvokasi agar syarat usia capres cawapres itu, disamakan minimal dengan syarat usia caleg,” terang Titi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (3/8/2023).

Bahkan, lanjut dia, jika ingin lebih progresif lagi, dirinya mengusulkan bahwa ada satu penetapan standar usia, untuk semua jabatan publik yang dipilih melalui pemilu, dapat disamakan dengan syarat pemilih.

“Kalau syarat pemilih kita 17 tahun, kami sejak lama menawarkan kenapa capres cawapres caleg DPR, DPD, DPRD, kepala daerah juga 17 tahun, supaya kita tidak setengah-setengah di dalam memberikan kepercayaan kepada orang muda,” tegasnya.

Anggota Dewan Pembina Perludem ini juga menyatakan jika generasi muda dianggap mampu dalam mengambil sebuah keputusan politik, lantas masyarakat seharusnya dapat memercayai mereka untuk menjadi pemimpin.

“Jadi kita berpikir jauh ke depan apalagi tren dunia, banyak pemimpin dunia di usia muda. Bahkan di beberapa negara syarat presidennya itu pada usia 18 tahun,” ujarnya.

Terkait mekanisme yang saat ini sedang berjalan di Mahkamah Konstitusi (MK) soal gugatan batas usia capres-cawapres, menurut Titi hal ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 6 ayat 2.

“Jadi kalau menyerahkan penentuan syarat usia pada MK, kita seolah-olah memutarbalikkan fungsi legislasi itu, menyerahkannya pada kekuasaan kehakiman atau yudisial,” imbuh dia.

Padahal jika menelisik UUD 1945, tutur Titi, maka hal ini menjadi kewenangan DPR sebagai pembentuk UU sehingga perlu adanya revisi UU Pemilu. “Supaya kita tertib berkonstitusi, tertib di dalam ketatanegaraan kita, saling menghormati cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, maka mahkamah harus konsisten menempatkan itu sebagai kewenganan pembentuk UU dan bukan mengambil alih kewenangan itu melalui keputusannya,” jelas Titi.

Back to top button