Market

Cuci Uang Impor Emas Rp189 Triliun, Sri Mulyani atau Dirjen Bea Cukai Bohong?

Temuan PPATK tentang transaksi janggal berbau tindak pidana pencucian uang (TPPU) Rp349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), banyak yang menarik. Yang paling ‘seksi’ dugaan cuci uang penyelundupan emas senilai Rp189 triliun.

Eks Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi yang kini menjabat Sekjen Kemenkeu, perlu diperiksa. Hal itu disampaikan Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis (30/3/2023).

“Dari penjelasan Menkopolhukam sekaligus Ketua Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Prof Mahfud MD tentang dugaan pencucian uang di Kemenkeu sebesar Rp349 triliun, begitu mencerahkan. Banyak hal yang menarik untuk dibedah lebih dalam, termasuk dugaan pencucian uang oleh perusahaan impor, tepatnya penyelundup emas senilai Rp189 triliun,” ungkapnya.

Menurut Mahfud, kata Anthony, Kepala PPATK telah menyerahkan laporan hasil analisanya secara langsung kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Di mana, laporan itu diserahkan langsung, by hand, kepada Dirjen Bea Cukai dan Irjen Kemenkeu pada 2020.

“Kepala PPATK juga menjelaskan, dugaan pencucian uang dengan modus yang sama, penyelundupan impor emas senilai Rp180 triliun, juga sudah dilaporkan pada 2017, secara langsung kepada Dirjen Bea Cukai. Kedua kasus penyelundup emas ini, diduga terafiliasi dengan pemilik yang sama,” tuturnya.

Untuk kasus ini, kata dia, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati (SMI) mengaku tidak menerima laporan tersebut, baik yang 2017 maupun 2020. Setelah diserahkan bukti tanda terima, pejabat eselon satu Kementerian Keuangan tersebut akhirnya mengakui menerima laporan tersebut. “Tetapi, kasusnya kemudian “dikecilkan” atau “dikorupsi”, menjadi kasus pajak, padahal ini merupakan kasus bea cukai terkait penyelundupan,” ungkapnya.

Menurut Mahfud, kata Anthony, Sri Mulyani tidak mempunyai akses terhadap laporan PPATK yang diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak maupun Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Artinya, Sri Mulyani tidak bisa mengendalikan anak buahnya di Kementerian Keuangan. “Sungguh bahaya! Bukankah Kementerian Keuangan merupakan yang terbaik dalam melakukan reformasi birokrasi? Lalu apa artinya yang digembar-gemborkan menteri terbaik di dunia itu,” ungkap Anthony.

Back to top button