Kanal

Cinta Itu Penyakit, Obatnya Menikah

Alkisah, ada seorang raja yang hidup di sebuah negeri yang indah dan makmur. Pada suatu hari, ia tengah menaiki kereta dalam perjalanan menuju istana. Raja tersebut melihat seorang budak perempuan yang sangat cantik sedang duduk di pinggir jalan. Budak perempuan itu memikat hati sang raja hingga jatuh cinta dan ingin memilikinya. Akhirnya, sang raja pun mengirim seorang utusan untuk memberi hadiah kepada majikannya dan membawa budak tersebut ke istana.

Kisah ini terdapat dalam buku Tales from the Land of the Sufis, karya Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia.

Hari demi hari berlalu. Disukai oleh seorang raja tak lantas membuat budak perempuan itu bahagia. Ia justru jatuh sakit, kehilangan berat badannya dan semakin pucat. Setiap sang raja ingin bertemu dengannya, budak perempuan tersebut selalu menolak.

Akhirnya, sang raja mengirim para tabib terbaik istana di seluruh negeri sambil memberi hadiah dan imbalan berharga bagi siapa saja yang bisa menyembuhkan budak perempuan tersebut. Tetapi hasilnya adalah tidak ada satupun tabib yang berhasil mendiagnosis penyakitnya, apalagi mengobati dan memberi obat kepadanya.

Sang raja yang sudah jatuh hati pada budak perempuan itu pun hancur hatinya dan khawatir, hingga ia pergi ke kuil untuk mendoakan orang yang dicintainya tersebut. Sang raja berdiam diri berjam-jam, memohon kepada Tuhannya dari relung hati yang dalam untuk bisa mengobati dan menyembuhkan kekasihnya itu.

Karena kelelahan menangis memikirkan kekasihnya itu, raja pun tertidur. Dan ternyata Tuhan yang mendengar do’anya pun berbicara lewat mimpinya, “Besok seorang tabib dari Tuhan akan datang ke kotamu. Ia punya obat untuk gadis itu.”

Esok harinya, raja pun pergi bersama para pengawalnya menuju gerbang kota untuk menunggu sang tabib. Hingga akhirnya datanglah dari kejauhan, seseorang yang datang mendekat. Ketika orang itu semakin dekat, raja pun gemetar melihat sosok yang wajahnya bercahaya. Sosok sang tabib yang bercahaya pun menguasai dirinya, dan dia pun menangis sambil berkata, “kini aku sadar bahwa Engkau-lah yang kucari, bukan gadis itu. Ia tak lain hanyalah sebuah dalih dan penyebab kebangkitanku sekarang.” Raja menangis karena dia menemukan sosok pertolongan Tuhannya, melalui sang tabib itu.

Sang tabib kemudian dibawa ke istana, dan sang raja meminta agar dibiarkan bicara berdua dengan budak perempuan tersebut. Tabib pun berbicara lemah lembut kepada budak perempuan itu, meyakinkannya bahwa semua rahasia tentangnya akan dijaga. Kemudian sang tabib bertanya tentang masa lalu budak perempuan tersebut, asal usulnya dan apa yang ia kerjakan sebelum raja membawa dirinya ke istana.

Namun tidak ada perubahan berarti di nadinya. Penyakitnya masih belum bisa dideteksi. Sang tabib kemudian bertanya tempat-tempat yang pernah dikunjunginya. Hasilnya mengejutkan. Ketika bertanya tentang Samarkand, ternyata denyut nadi budak perempuan itu bertambah cepat. Walhasil, tabib pun bertanya tentang kota itu dan orang-orang yang pernah ditemuinya di sana. Akhirnya, dengan denyut nadi yang semakin kencang, budak perempuan tersebut menyebut nama seorang pandai besi di tempat dia bekerja selama beberapa tahun. Sang tabib akhirnya menemukan penyakitnya.

Kepada sang raja, tabib berkata, “Ini penyakit hati, bukan tubuh! Dan untuk mengobati gadis ini, engkau harus mengikuti perintah-perintahku.” Penyakit tersebut rupanya bernama cinta.

Raja pun mengiyakan permintaan tabib dengan sepenuh hati. Raja kemudian mencari orang pandai besi itu dengan menawari sejumlah uang dan tanah di negeri sang raja. Tergiur durian runtuh, orang pandai besi itupun langsung meninggalkan keluarga, rumah dan pekerjaannya untuk pindah ke kota yang baru.

Dengan restu sang raja, pandai besi yang gagah itu kemudian dinikahkan dengan budak perempuan tersebut. Mereka kemudian tinggal bersama di istana raja. Selama enam bulan menempuh hidup baru bersama, sang budak perempuan pelan-pelan sembuh dari sakitnya. Dan pada saat yang sama, sang raja menyuruh tabib agar membuat ramuan obat lain untuk diminum oleh sang pandai besi setiap hari. Obat itu supaya orang pandai besi tersebut pucat, dan lemah hingga menjadi buruk rupa dan membuat sang istri tidak mencintainya lagi.

Akhirnya, suatu hari orang pandai besi itu jatuh sakit sampai tidak pernah bangun dari tempat tidurnya, dan akhirnya meninggal. Sementara budak perempuan itu terbebas dari belenggu cinta dan penyakit yang telah membuat hidupnya susah dan menderita kesakitan yang begitu panjang.

Cinta apapun yang tumbuh karena kecantikan fisik lahiriah bukanlah cinta sejati, karena hal tersebut tak lain kehinaan saja. Karena cinta duniawi hanya bersifat sementara. Sedangkan dalam diri manusia, Ruh dan cinta sebagai pengawalnya turun dari alam yang lebih tinggi untuk membawa hati menuju kesatuan.

Cinta adalah penyakit dan obatnya adalah menikah. Karena cinta bukan penyakit tubuh, sehingga seorang dokter tidak akan bisa mendiagnosis hal tersebut. Namun para kekasih Allah bisa melihat hal yang tak kasat mata manusia.

Cinta kepada seseorang juga bisa menjadikan manusia semakin dekat dengan pencipta-Nya. Karena puncak dari cinta dan harapan yang terbaik adalah mendekat kepada yang Maha Kuasa, sedangkan manusia hanyalah sebagai perantara. Jika hadirnya cinta seseorang atau cintamu pada seseorang bisa membuatmu semakin dekat dengan Tuhan, maka cinta tersebut layak untuk dipertahankan dan diperjuangkan.

Sebaliknya, jika hadirmu dalam diri seseorang hanya untuk singgah dan memanfaatkannya, tidak untuk sungguh cinta dan menetap di hatinya, dan hal tersebut bisa membuat diri seseorang kesakitan luar biasa, maka hal tersebut adalah sebuah kehinaan. Oleh karena itu berhati-hatilah dalam memberikan perhatian dan hati pada seseorang. Karena separuh dari cinta adalah perhatian dan separuhnya lagi adalah memuliakan.

Muliakanlah cintamu dengan tidak menyakiti orang yang menyayangimu, apalagi jika dia berubah menjadi baik karena kehadiranmu. Karena hal tersebut bisa menjadi sebuah amal baik sepanjang hidup. [Nur Hasan, alumnus Islamic Studies, International University of Africa, Sudan, penulis buku Ulama: Pengembaraan dan Pikiran yang Jernih]

Back to top button