Kanal

China Tak Mau Disebut Negara Maju, Lebih Suka Miskin?

Selama ini kita mengenal China sebagai negara kaya dan maju dengan investasinya di banyak negara serta keberhasilan pembangunan ekonominya yang diakui dunia. Namun ternyata China lebih suka digelari negara miskin, lebih suka disebut negara berkembang ketimbang negara maju. Mengapa?

Dikutip dari situs resmi Kementerian Luar Negeri China, Jumat (12/5/2023), DPR Amerika Serikat telah mensahkan label China sebagai negara maju. DPR juga mendorong Departemen Luar Negeri untuk mengambil tindakan menghentikan China diklasifikasikan sebagai negara berkembang oleh organisasi internasional.

Majelis rendah Kongres AS dengan suara bulat menyetujui RUU yang berupaya mencabut status ‘negara berkembang’ China pada 27 Maret 2023. Bill HR (House of Representatives) 1107, meminta Menteri Luar Negeri AS untuk berupaya melucuti status ‘negara berkembang’ Republik Rakyat China (RRC), disahkan dengan suara 415-0.

Alih-alih senang dengan status bergengsi berhasil keluar dari status negara berkembang dan masuk kelompok negara maju, Beijing malah marah. China tegas menolak label sebagai negara maju dari Amerika Serikat dan bersikeras mempertahankan statusnya sebagai negara berkembang.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin, mengatakan status China sebagai negara berkembang didukung oleh fakta-fakta konkret. Hal ini tercermin dari PDB per kapita China pada tahun 2022 adalah US$12.741, atau seperlima dari ekonomi maju dan hanya seperenam dari AS.

Selain itu, Gross National Income (GNI) China menempati peringkat ke-68 dan Human Development Index (HDI) ke-79 di dunia pada 2021, yang serupa dengan negara-negara berkembang besar lainnya. “China adalah negara berkembang terbesar di dunia, fakta yang diakui dunia. AS ingin memberi label pada China yang mengatakan ‘negara maju’. Saya khawatir ini tidak akan melekat di China,” kata Wang Wenbin, dikutip dari situs FMPRC, Jumat (12/5/2023).

Dia menyebut, status China sebagai negara berkembang juga memiliki dasar yang kokoh dalam hukum internasional. Status ini diakui oleh mekanisme Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan perjanjian internasional seperti United Nations Framework Convention on Climate Change dan Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer. “Status ini telah diterima oleh sebagian besar anggota komunitas internasional dan tidak boleh diambil dari China,” ujarnya.

Dia menambahkan, alih-alih bergabung dengan sekelompok negara-negara kaya di Barat, China akan selalu berdiri bersama negara-negara berkembang lainnya untuk memperjuangkan hak-hak bersama dan membela kepentingan bersama. Hal ini pun pernah ditegaskan oleh Presiden Xi Jinping bahwa China akan selalu menjadi anggota keluarga besar negara-negara berkembang. “Saya juga ingin menekankan bahwa adalah hak sah dan hukum China untuk mempertahankan status negara berkembang kita,” tegasnya.

Lebih lanjut, Wenbin menegaskan bahwa China tidak menggunakan status negara berkembang sebagai tameng untuk menghindari kewajiban internasional atau batu loncatan menuju hak istimewa. Sebaliknya, menurutnya, China telah berkontribusi pada perdamaian dan pembangunan dunia.

Sejak 2013 hingga 2021, China telah menyumbang rata-rata sekitar 38,6 persen pertumbuhan ekonomi dunia setiap tahunnya, lebih tinggi dari gabungan negara-negara G7. China adalah yang pertama mewujudkan Tujuan Pembangunan Milenium dan menyumbang lebih dari 70 persen pengentasan kemiskinan dunia. “Kami telah menjadi kontributor terbesar kedua untuk penilaian anggaran dan pemeliharaan perdamaian PBB,” tuturnya.

Selain itu, Wenbin menilai AS telah membuat narasi palsu dengan tujuan tunggal untuk menekan dan menahan pembangunan China, mengalihkan tanggung jawab pada China, menabur perselisihan antara China dan negara berkembang lainnya, serta mengganggu momentum pembangunan dan kebangkitan kolektif negara-negara berkembang. “Tetapi China dan negara berkembang lainnya tidak akan jatuh ke dalam perangkap itu,” ucap Wenbin.

Obsesi lama

Pertarungan untuk membawa China ke dalam kelompok negara berpenghasilan menengah, atau bahkan maju, bukanlah hal baru. Itu adalah salah satu obsesi Donald Trump selama bertahun-tahun di Gedung Putih. Pada 2019, Trump mengeluh tentang negara-negara yang ‘curang’ dengan aturan internasional dalam sebuah postingan Twitter.

Beberapa bulan sebelum kalah dalam pemilihan presiden 2020, Trump mengulangi pernyataannya bahwa China harus kehilangan statusnya sebagai negara berkembang. Trump mungkin sosok yang sangat partisan dalam politik dalam negeri AS, tetapi ketika berbicara tentang kebijakan luar negeri –-dan terutama di China-– pandangannya sekarang mendapat dukungan bipartisan.

Ukuran negara berkembang

Tidak ada tolok ukur yang disepakati secara universal untuk mengukur apakah suatu negara ‘maju’ atau ;berkembang’. Selama beberapa dekade terakhir, semantik seputar pengelompokan ‘negara berkembang’ telah menjadi sumber wacana, dan perselisihan sesekali, berkembang dari ‘negara kurang berkembang’ ke ‘negara berkembang’ yang lebih dapat diterima.

Mengutip France24, dalam hal mengklasifikasikan negara menjadi negara maju dan berkembang berdasarkan PDB (Produk Domestik Bruto), para ahli mencatat bahwa sulit untuk memasukkan China ke dalam kategori yang terakhir. “Dapatkah kita menganggap kekuatan industri pertama di dunia dan pengekspor mobil terbesar kedua sebagai negara berkembang?” tanya Jean-François Dufour, pakar ekonomi China dan salah satu pendiri Sinopole, pusat sumber daya di China.

“Di mata Washington, China juga mengadopsi tindakan khas negara-negara maju, seperti Belt and Road Initiative dan sumber daya yang sangat besar yang dialokasikan untuk memodernisasi pasukannya,” kata Xin Sun dari King’s College London, merujuk pada proyek infrastruktur BRI besar China yang lebih dikenal sebagai ‘Jalur Sutera baru’ dan peningkatan anggaran pertahanan yang sekarang memberi China anggaran militer terbesar kedua di dunia.

China ingin tetap miskin

Beijing memang memiliki argumen untuk tetap berada di kelompok negara berkembang. “Menurut kriteria klasifikasi negara Bank Dunia [Indeks Pembangunan Manusia], dan yang digunakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa [pendapatan per kapita], China berada tepat di bawah negara-negara paling maju,” kata Sun. Artinya, dalam skala Bank Dunia dan PBB, China berada dalam kategori yang sama dengan Meksiko atau Malaysia.

Kekayaan China juga berpusat di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai. “Kami selalu agak cepat melupakan China yang tak terlihat, yaitu daerah pedesaan, di mana 64% populasinya masih terkonsentrasi. Kondisi kehidupan –-baik dalam hal akses ke perawatan kesehatan, kualitas infrastruktur atau bahkan pemanas-– adalah masih di level negara berkembang,” ujar Carlotta Rinaudo, spesialis China di International Team for the Study of Security (ITSS) Verona.

Bentrokan Washington-Beijing soal klasifikasi negara maju atau berkembang ini memang tak lepas dari beberapa kepentingan. “Kepentingan utama dari status negara berkembang ini adalah memberikan keuntungan dari persyaratan perdagangan preferensial,” jelas Dufour.

Pinjaman Bank Dunia kepada negara berkembang memiliki tingkat bunga yang lebih rendah, dan negara-negara ini dapat mengenakan tarif impor dari negara kaya. “Selain itu, negara-negara berkembang berada di bawah tekanan yang lebih kecil dalam perang melawan pemanasan global,” kata Sun.

AS ingin menghentikan ini karena percaya bahwa “Beijing menggunakan keuntungan dari status ini untuk menegaskan pengaruhnya di kancah internasional dengan mengorbankan Washington,” jelas Rinaudo.

Oleh karena itu, China dapat memperoleh pinjaman preferensial dari organisasi internasional yang dibiayai terutama oleh AS dan kemudian berinvestasi di negara-negara di mana Beijing bersaing dengan Washington untuk mendapatkan pengaruh. Dengan kata lain, AS khawatir sebagian uang yang diberikannya kepada institusi seperti Bank Dunia berakhir di kantong China, yang kemudian digunakan untuk melawan kepentingan AS.

Beijing sudah menegaskan tidak menggunakan uang dari lembaga internasional untuk berinvestasi di luar negeri. China yakin kampanye AS ini ditujukan untuk memperlambat pertumbuhannya dan menghancurkan pekerjaan China. “Konsekuensi ekonomi bisa sangat nyata. Memang, tanpa status ini, Beijing tidak lagi dapat mengenakan tarif impor [yang menaikkan harga barang yang diproduksi di luar negeri] dan perusahaan-perusahaan ini akan menjadi kurang kompetitif,” jelas Sun.

Tarik menarik semantik ini juga memiliki implikasi geopolitik. “China sering memainkan kartu pemimpin kelompok negara berkembang melawan apa yang disebut negara kaya yang dipimpin AS,” kata Sun.

Pertarungan atas status pembangunan China kemungkinan besar akan berlangsung lama. Amerika Serikat masih perlu meyakinkan lembaga-lembaga internasional, yang bisa memakan waktu bertahun-tahun.

Back to top button