Kanal

China Menyalip di Tikungan Arab Saudi, Bikin Amerika Bete!

Kawasan Teluk menjadi arena persaingan bagi dua kekuatan besar, Amerika Serikat (AS) dan China. Kedekatan Saudi akhir-akhir ini dengan China bisa mengubah kekuatannya di wilayah tersebut. Sontak saja AS yang selama ini mendominasi kawasan itu pun menjadi bete dan kesal.

Presiden China Xi Jinping memulai kunjungan ke Arab Saudi pada Rabu (7/12/2022) dan bertemu dengan Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (MbS). Menurut Beijing, kunjungan ini menandai inisiatif diplomatik terbesarnya di dunia Arab, ketika Riyadh memperluas aliansi global di luar kemitraan jangka panjang dengan Barat.

Pertemuan antara kekuatan ekonomi global dan raksasa energi Teluk itu terjadi ketika hubungan Saudi dengan Washington tengah menegang oleh kritik AS terhadap catatan hak asasi manusia (HAM) Riyadh. AS merilis laporan pelanggaran HAM yang menyeret nama MbS atas kematian jurnalis Jamal Khashoggi pada 2018. Sementara AS kesal terhadap dukungan Arab Saudi untuk pembatasan produksi minyaknya.

Gedung Putih mengatakan kunjungan Xi adalah contoh upaya China untuk memberikan pengaruh, dan ini tidak akan mengubah kebijakan AS terhadap Timur Tengah. “Kami memperhatikan pengaruh yang China coba tumbuhkan di seluruh dunia,” kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih John Kirby kepada wartawan, mengutip Reuters.

China, konsumen energi terbesar dunia, merupakan mitra dagang utama produsen minyak dan gas Teluk. Hubungan bilateral telah berkembang di bawah dorongan diversifikasi ekonomi kawasan, meningkatkan kekhawatiran AS tentang bertambahnya keterlibatan China dalam infrastruktur sensitif di Teluk.

Selama beberapa dekade yang signifikan dalam sejarah pembangunan di negara-negara barat, AS dan Eropa memanfaatkan status monopoli mereka di Teluk dengan sebaik-baiknya. Sebagai pemimpin dunia, mereka tidak pernah membayangkan seseorang menantang mereka di wilayah strategis ini.

Lagi pula, mereka tidak hanya secara signifikan meningkatkan kehadiran angkatan laut di wilayah tersebut, tetapi AS juga mendirikan pangkalan nuklir paling luas di pulau Diego Garcia di Samudra Hindia yang menghadap ke keamanan Teluk.

China menyalip

Direktur Pusat Studi Asia Tengah di Universitas Kashmir, Padma Shri KN Pandita mengungkapkan, kemunculan China dan kebangkitannya yang secara pasti hadir sebagai kekuatan ekonomi dan militer di benua Asia telah mengejutkan supremasi kekuatan barat dan AS yang sampai saat ini tidak tertandingi di Kawasan Samudera Hindia.

Perlu dicatat bahwa China berkonsentrasi pada modernisasi, peningkatan, dan perluasan potensi angkatan lautnya. Terutama, apa yang lebih penting secara strategis bagi China adalah Samudra Hindia, yang memiliki relevansi dengan Taiwan. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran angkatan laut China di pelabuhan Hambantota, Djibouti, dan Gwadar.

China berencana untuk mengambil fase kedua Gwadar dan telah menunjukkan minat di pelabuhan Chabahar Iran karena mencium bahwa Iran melakukan tawar-menawar yang sulit dengan India. Inisiatif ini melengkapi ambisi untuk mengurangi ketergantungan seluruh kawasan Teluk dan Asia Barat pada blok Amerika dan Eropa.

Padma mengatakan, Beijing telah dengan hati-hati mengamati pasang surut hubungan Saudi-AS. Termasuk ketika Putra Mahkota Salman mengambil langkah panjang untuk menarik Kerajaan keluar dari konservatisme abad pertengahan.

“Dia tidak hanya menanggapi kebutuhan zaman tetapi juga aspirasi golongan muda Arab Saudi yang dibesarkan dalam lingkungan budaya Eropa dan AS. Taburan nasionalisme sangat penting untuk mantra modernitas Pangeran Salman,” ungkap Padma, mengutip Eurasian Times.

AS sepertinya tidak terbiasa dengan proses modernisasi di Kerajaan yang merupakan sesuatu yang baru dan luar biasa. Oleh karena itu, pergeseran Pangeran Salman ke modernisme dan memelihara nasionalisme Arab adalah hal yang menyakitkan bagi para perencana Amerika.

Trump pernah membual bahwa Kerajaan Saudi tidak akan bertahan lebih dari dua minggu jika AS menarik dukungannya. Sikap emansipasi sosial Pangeran Salman ini telah membawa AS dan mitra Eropanya ke semacam dilema.

Yang jelas, kedatangan Xi ke negara kiblat Islam itu juga pasti membuat bete dan kesal bos-bos di negara Paman Sam itu. Xi disambut ‘karpet merah’, yang sangat bertolak belakang dengan kedatangan Presiden AS Joe Biden ke Riyadh pada Juli lalu. Dalam kunjungannya kala itu, Biden tak disambut senyuman oleh MbS. Putra Mahkota bahkan mempermalukan Biden dengan mengumumkan pembatasan produksi minyak yang jauh dari permintaan AS.

Direktur Pusat Studi Timur Tengah Universitas Denver Prof Hashemi menilai ini adalah pesan Arab Saudi kepada AS bahwa mereka memiliki teman lain, serta opsi untuk mengubah aliansi mereka jika terus menentang kepentingan Riyadh.

“Hubungan yang berkembang dengan China ini, penerimaan yang sangat berbunga-bunga dan mencolok yang diberikan kepada Presiden China, benar-benar mencoba mengirim pesan kepada AS bahwa Anda lebih baik memberi kami apa yang kami inginkan, lebih baik Anda mengurangi kritik hak asasi manusia Anda,” kata Prof Hashemi.

Hubungan tegang AS-Saudi

China sebenarnya mengetahui ada ketegangan hubungan antara Arab Saudi dan AS. Pada 21 September, AS mengumumkan akan menghapus sistem pertahanan misil canggihnya dan baterai Patriot di Arab Saudi. Padahal serangan udara dari pemberontak Houthi yang didukung Iran di Yaman membutuhkan sistem pertahanan udara yang canggih.

Meskipun Arab Saudi memiliki pasukan darat yang lengkap, pertahanan udaranya masih perlu peningkatan kemampuan. Penarikan sistem pertahanan udara setelah permusuhan Houthi tanpa henti berarti mengekspos Kerajaan Saudi terhadap ancaman nyata serangan udara terhadap fasilitas vitalnya. Serangan udara di situs Saudi Aramco adalah salah satu contohnya.

China mencoba mengisi kekosongan itu. The New York Times pada Desember 2021 melaporkan bahwa Arab Saudi telah membeli rudal balistik dari China. Juga diungkapkan bahwa China telah memberikan dukungan teknis kepada Riyadh untuk mendirikan unit produksi rudal balistik di tempat tertentu di negara tersebut.

Dilaporkan pula ada kesepakatan antara kedua negara untuk mentransfer teknologi skala besar untuk memproduksi rudal balistik di Arab Saudi.

Pergeseran kebijakan luar negeri Arab Saudi dan China ini tentu mengubah dinamika kekuatan dunia dan kawasan Teluk. China menyalip di tikungan dengan mengambil kesempatan langka untuk mewujudkan rekonsiliasi sekaligus meningkatkan pamornya.

Sebuah fenomena perubahan geopolitik yang langka antara negara berpaham komunis dan negara Muslim.

Back to top button