Market

Anak Usaha Sinar Mas Buka Lahan Konsesi hingga ke Tanah Adat Jambi

Perusahaan konsesi perkebunan industri PT Wira Karya Sakti (PT WKS) yang dimiliki oleh Asia Pulp & Paper (APP) tega memagari lahan adat dan lahan pribadi masyarakat Desa Lubuk Mandarsah di Jambi.

Dalam laporan Environtental Paper Network (EPN) tahun 2019, PT APP yang menjadi anggota Sinar Mas Group melalui PT Wira Karya Sakti (PT WKS) terlibat sengketa lahan di desa Lubuk Mandarsah di Jambi.

Kawasan tersebut didiami 6.000 keluarga dengan mayoritas penduduknya adalah suku Melayu dan masyarakat adat Suku Anak dalam. Mereka memahami nenek moyang sudah mendiami lahan tersebut.

Area tersebut sebagian besar dinyatakan sebagai kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Anehnya,  sebagian lahan tersebut diserahkan kepara perusahaan konsesi perkebuhnan industri PT Wira Karya Sakti (PT WKS).

Konflik antara PT WKS dan masyarakat bermula di tahun 2007 di dusun Pelayang Tebat. Setelah membangun akses jalan menuju konsesinya di kawasan tersebut, perusahaan mulai membuka lahan di kedua sisi jalan, termasuk lahan yang digunakan sebagai lahan pertanian oleh masyarakat.

Berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh masyarakat melalui Serikat Tani Sekato Jaya, dan LSM lingkungan WALHI Jambi pada tahun 2013, total luas lahan kelola masyarakat yang diambil alih oleh perusahaan adalah 1.500 hektar–lebih luas dari 2.800 lapangan sepak bola.

Konflik meningkat menjadi bentrokan antara perusahaan dan masyarakat pada tanggal 28 Desember 2007, ketika warga diduga mengambil alih mesin-mesin berat milik WKS yang tengah membersihkan lahan pertanian masyarakat. Bentrokan tersebut menyebabkan 9 petani ditangkap dan dipenjara selama 15 bulan.

Sejak diserahkan sebagai konsesi perkebunan industri, masyarakat desa Lubuk Mandarsah kesulitan bercocok tanam. Mereka bisanya menanam padi dan sayur-mayuran, membuat lahan mereka kian terbatas.

Walhi Jambi melakukan pendampingan terhadap warga setempat yang mengalami intimidasi dari PT WKS. Walhi Jambi mencaat, tanaman Ahmad rusak ketika PT WKS menggunakan drone untuk menyemprot herbisida pada bulan Maret 2020.

Sekitar 2 hektar lahan rusak, termasuk milik Pak Ahmad. Cabai, semangka dan tanaman lain milik Ahmad semua busuk. Sebanyak 97 pohon kelapa sawit milik masyarakat juga rusak. PT WKS menentang skala kerusakan akibat dronenya.

Modus menggunakan pesawat tanpa awak menyebarkan herbisida beracun untuk memusnahkan tanaman sayuran, cabai, jengkol, dan kelapa sawit yang baru saja ditanam masyarakat. Tindakan perusahaan ini menjadi lebih mudah dilakukan saat pemerintah Indonesia mulai menerapkan kebijakan pembatasan sosial skala besar guna menanggulangi wabah virus corona.

“Halim, salah satu warga, melaporkan sekitar dua hektar kebun masyarakat rusak dan masyarakat mengalami kegagalan panen,” demikian mengutip laporan Walhi Jambi hasil investigasi bulan Maret 2020.

Dengan konflik tersebut pihak perusahaan mengajak berunding. Namun segera menyatakan perwakilan masyarakat mengakui area lahan masyarakat yang rusak akibat pesawat tanpa awak sebenarnya lebih kecil. ” LSM-LSM setempat membantah pernyataan tersebut, menyatakan bahwa tidak terjadi mediasi yang berarti dan konflik berkepanjangan antara masyarakat Lubuk Mandarsah dan PT WKS tetap ada.”

PT WKS di hutan Jambi telah membuka lahan 293.218 hektare yang ditanami akasia. Perkebunan itu terbesar di lima kabupaten, yakni Kabupaten Tanjungjabung Barat, Tebo, Muarojambi, Tanjungjabung Timur dan Kabupaten Batanghari.

Sementara juru bicara PT WKS Kurniawan DJ menyatakan, pihaknya tidak benar melakukan apa yang seperti ditudingkan masyarakat tersebut. “Kita sudah berupaya berbuat baik, antara lain dengan menjalin kerjasama dengan pihak Persatuan Petani Jambi dengan membuka lahan pola kemitraan dengan bentuk proyek Hutan tanaman Rakyat,” ujarnya.

Konflik dengan Suku Sakai Bengkalis, Riau
Masyarakat adat Sakai di Bengkalis, Provinsi Riau juga terlibat dengan PT Arara Abadi (PT AA), perusahaan milik APP/Sinar Mas. Awal ceritanya, ketika seorang petani setempat mengalami kriminalisasi karena menebang pohon di lahan milik masyarakat yang diklaim oleh PT AA.

Konflik di atas dimulai pada tahun 2001, ketika PT AA membuka 327 ha lahan yang diklaim sebagai milik masyarakat dan dimiliki secara adat oleh masyarakat adat Sakai Batin Beringin dan Penaso, menghancurkan sumber makanan yang sangat dibutuhkan masyarakat.

Kriminalisasi dimulai saat Bongku bin Jelodan, umur 58 tahun, warga suku Sakai Batin Beringin. Dia menggarap lahan baru untuk menanam ubi jalar. Bongku membuka lahan seluas 200 m2, menebang sekitar 20 pohon akasia di bulan November 2019.

Lahan yang dibuka tersebut merupakan bagian dari tanah ulayat Suku Sakai, meskipun saat ini secara hukum ditetapkan sebagai bagian dari konsesi hutan tanaman industri APP/Sinar Milik Mas PT AA.

Sidang pertama Bongku berlangsung di bulan Februari 2020, dan pada tanggal 18 Mei 2020, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman satu tahun penjara kepada Bongku dan denda Rp200 juta (lebih dari $ 14.000 USD) karena telah menebang pohon akasia di dalam konsesi PT AA.

Majelis Hakim mendapati Bongku bersalah karena melanggar Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Tahun 2013, sebuah undang-undang yang dimaksudkan untuk melarang perusakan hutan terorganisir namun sering digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat.

Sejak tahun 2015, masyarakat Sakai telah meminta pengakuan atas hak ulayat atas tanah mereka, termasuk tanah yang dikelola oleh Bongku, dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, namun hingga kini Kementerian belum menerbitkan pengakuan. Dalam pernyataannya, APP mengklaim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan terus memfasilitasi penyelesaian konflik ke depan. “PT AA tetap berkomitmen untuk mengikuti proses tersebut,”

Back to top button