Kanal

Bisyr Al-Hafi, Wali Sufi yang Memilih Bertelanjang Kaki


“Alangkah baik belas kasih yang diperlihatkan orang-orang kaya kepada orang-orang miskin, semata-mata untuk mendapatkan pahala dari Yang Maha Pengasih. Tetapi yang lebih baik adalah keengganan orang-orang miskin untuk menerima pemberian orang-orang kaya karena percaya kemurahan Sang Pencipta alam semesta,” jawab Ali RA dalam mimpi tersebut.

 

Wali sufi Bisyr AlHafi bercerita: suatu ketika, di dalam mimpi aku berjumpa dengan Nabi saw. Beliau berkata kepadaku : “Bisyr, tahukah engkau mengapa Allah telah memilihmu di antara manusia-manusia yang semasa denganmu? Tahukah engkau mengapa Allah memuliakanmu?”

“Aku tidak tahu, ya Rasulullah,”jawab Bisyr.

“Karena engkau telah mengikuti sunnahku, memuliakan orang-orang yang saleh, memberi nasihat-nasihat yang baik kepada saudara-saudaramu, dan mencintai aku dan keluargaku,” kata Nabi menjelaskan.

“Karena alasan-alasan itulah Allah telah mengangkatmu ke dalam golongan orang-orang yang salih.” 

                                               **

“Suatu malam,” kata wali sufi Bisyr  AlHafi, “Aku bermimpi bertemu Sayidina Ali bin Abi Thalib RA. Aku berkata kepadanya : “Beri aku petuah.”

“Alangkah baik belas kasih yang diperlihatkan orang-orang kaya kepada orang-orang miskin, semata-mata untuk mendapatkan pahala dari Yang Maha Pengasih. Tetapi yang lebih baik adalah keengganan orang-orang miskin untuk menerima pemberian orang-orang kaya karena percaya kemurahan Sang Pencipta alam semesta,” jawab Ali dalam mimpi tersebut.

 

                                               **

Dikisahkan bahwa selama Bisyr Al-Hafi masih hidup, tidak ada seekor pun keledai membuang kotorannya di jalan-jalan Kota Baghdad, karena menghormati Bisyr yang berjalan dengan kaki telanjang.

Pada suatu malam seorang lelaki melihat keledai yang dibawanya membuang kotoran di jalan. Berserulah ia,”Wahai, Bisyr Al-Hafi telah tiada!”

Mendengar seruan itu, orang-orang pergi menyelidiki. Ternyata kata-katanya itu terbukti kebenarannya.

                                              **

Di sebuah riwayat dalam “Hilyatul Auliya” yang diriwayatkan Abu Bakar bin Malik kepada Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dikatakan bahwa wali sufi Bisyr bin Al-Harits Al-Hafi pernah berkata, “Idzaa ihtamamta li ghala’i al-si’ri fadzkur al-mauta fa innahu yudzhibu anka hamma al-ghala’i. Apabila engkau merasa gundah karena melonjaknya harga, maka ingatlah kematian, karena hal itu bisa menghilangkan kegundahan.”

Diceritakan juga bahwa Bisyr hidup sebagai fakir terlunta-lunta, sering kelaparan, dengan kaki telanjang tanpa alas.

 

                                              **

Wali sufi Bisyr Al-Hafi seringkali ditanya mengapa dirinya memilih bertelanjang kaki. Semua pertanyaan itu selalu dijawab Bisyr. “Ketika aku berdamai dan bertaubat kepada Allah, aku sedang telanjang kaki.  Sejak saat itu aku malu mengenakan alas kaki. Bukankah Allah Yang Maha Besar pun telah berfirman,”Alladzii ja’ala lakum al-ardha firasya. ”Dia (Allah) telah menciptakan bumi sebagai permadani untukmu”?”

Dalam Tafsir Jalalain dan Tafsir al-Muyassar, Firasya di sini berarti permadani yang memiliki manfaat untuk mempermudah penghidupan manusia di atas bumi. “Dan bukankah tidak pantas kita berjalan memakai alas kaki di atas permadani raja?” ujar Bisyr bin al-Harits.

Ada juga cerita awal mula Bisyr bertelanjang kaki. Suatu saat Bisyr Al-Hafi mendatangi tukang sol sandal, meminta sebuah tali untuk salah satu sandalnya yang putus. Tukang sandal itu berkata: “Betapa sering kalian (kaum sufi) merepotkan orang lain”.

Maka Bisyr melemparkan kedua sandalnya dan bersumpah tidak akan memakai sandal setelah itu. Hal tersebut menjadi ciri khas baginya dan menjadi pembeda yang membedakannya dari sufi lain. Sedangkan menurut Fariduddin Aththar dalam “Tadzkiratul Auliya”, sebabnya sebagaimana diceritakan pada alinea terdahulu. Bisyr menjawab, dirinya bertaubat pertama kali dulu dalam keadaan tidak beralas kaki. Ia menghargai saat-saat di mana hidayah Allah turun kepadanya.

                                               **

Ketinggian maqam Bisyr Al-Hafi membuat Khalifah Al-Makmun meminta tolong kepada Ahmad bin Hanbal untuk menghadap Bisyr, namun Bisyr menolak. Al-Makmun berkata: “Di distrik ini tidak seorang pun yang berwibawa, selain Bisyr.”

Ahmad bin Hanbal ditanya mengenai wira’i dan menjawab: “Astaghfirullah, tidak halal aku berbicara mengenai wira’i, sementara aku mau memakan hasil bumi Bagdad. Seandainya ada Bisyr, tentu dia berhak menjawabmu, sebab dia tidak mau memakan hasil bumi Bagdad maupun makanan Sawad Irak. Dia layak berbicara mengenai wira’i”. (Wira’i dalam hal ini tampaknya berhubungan dengan sifat-sifat wara’ (apik menghindari hal hal yang syubhat—redaksi).

                                               **

Riwayat hadits menurut Bisyr Al-Hafi sangat berkaitan dengan jalan keselamatan seseorang, faedahnya ia hafal hadits dan menulis hadits untuk ketenaran. Diriwayatkan bahwa Bisyr berkata kepada ulama hadits: “Tunaikanlah zakat hadits.”

Mereka bertanya, “Apa itu zakat hadits?”

Bisyr menjawab, “Dari 200 hadits, amalkanlah lima hadits”. Yakni dari 200 hadits yang kalian tulis dan hafal, amalkanlah lima buah hadits, sebagaimana seseorang wajib menzakatkan lima dirham jika memiliki 200 dirham.

                                               **

Kaum sufi disebut sufi karena kejernihan hati dan kesucian batin mereka. Bisyr Al-Hafi berkata,“Sufi adalah orang yang hatinya dijernihkan Allah.” Dengan demikian, secara khusus inilah puncak tasawuf menurut Bisyr, dan kesufian Muslimin secara umum.

Metodhe Bisyr mengenai thariqah (jalan) tampak dalam ucapannya: “Barangsiapa ingin agung di dunia dan selamat di akhirat, maka janganlah meriwayatkan hadits, jangan bersaksi, jangan menjadi imam dan jangan memakan makanan milik orang lain.” Asas tasawuf menurut Bisyr adalah anti-terhadap segala sesuatu yang tidak berguna di akhirat.

                                               **

Suatu ketika Bisyr diundang untuk menghadiri sebuah jamuan makan. Makanan pun dihidangkan di hadapannya. Bisyr berusaha mengulurkan tangan, namun ternyata tidak bisa.

Bisyr berusaha sekali lagi, namun tidak berhasil juga, sampai tiga kali. Seseorang yang mengenalnya berkata: “Tangan Bisyr tidak bisa diulurkan kepada makanan yang haram atau syubhat. Mestinya tuan rumah tidak perlu mengundang beliau ke perjamuan makan ini.”

                                               **

Bisyr bekerja sebagai penenun kain dan itulah sumber kehidupannya sampai meninggal dunia. Dia tidak mau menerima pemberian siapa pun, kecuali dari seorang muridnya, Sirri As Saqathi.

Sikap tersebut sangat berbeda dengan sikap wali sufi lain, Ma’ruf Al Karkhi, yang menerima makanan halal yang diberikan kepadanya. Ketika ma’ruf ditanya tentang saudaranya, Bisyr, yang tidak mau menerima pemberian, Ma’ruf menjawab: “Bisyr dikuasai wirai, sedangkan aku dibentangkan makrifat. Aku hanya seorang tamu di rumah Tuhanku. Jika Dia memberi makan, aku makan, jika Dia melaparkan aku, aku sabar.”

                                               **

Suatu saat Bisyr berkata:, “Aku masuk rumah, tiba-tiba ada seorang lelaki, sehingga aku bertanya, “Siapakah Anda?”

“Dia menjawab, “Saudaramu Al-Khidhr.”

“Aku berkata, “Doakanlah aku kepada Allah.”

“Khidhr berkata, “Semoga Allah meringankan ibadah bagimu.”

“Aku berkata, “Doakan lagi.”

“Khidhr berkata lagi,” Dan semoga Allah menutupi ibadahmu.”

                                               **

Di Kota Baghad hidup seorang pedagang yang membenci kaum sufi. Kebenciannya itu membuat dirinya membuntuti Bisyr Al-Hafi usai shalat Jumat, untuk mencari aibnya. Saat Bisyr Al-Hafi keluar dari masjid, dengan segera laki-laki itu berkata dalam hatinya,”Inikah yang disebut orang zuhud? Ia tidak tinggal lama di masjid?”

Laki-laki itu terus mengikuti Bisyr yang berjalan menuju pasar, tempatnya membeli roti serta kue-kue. Laki-laki itu semakin kepo. Ia pun ingin melihat bagaimana Bisyr menyantap makanan tersebut. Setelah itu Bisyr berjalan menuju padang pasir. Saat itu laki-laki tersebut berkata dalam hati,”Ia ingin mencari sayuran dan air rupanya.”

Ternyata Bisyr terus berjalan menyusuri padang pasir hingga tiba waktu ashar. Kemudian ia memasuki sebuah desa, diikuti laki-laki tersebut. Di desa itu Bisyr mendatangi sebuah masjid, dan di sana ada seorang laki-laki yang tengah sakit payah.

Bisyr menyuapi si sakit dengan makanan yang ia bawa dari Baghdad. Sedangkan si laki-laki penguntit setelah mengetahui hal itu merasa ingin melihat-lihat suasana kampung tersebut.

Setelah si penguntit kembali ke tempat laki-laki yang sakit, Bisyr sudah tidak ada di tempat. Laki-laki yang sakit itu  menyampaikan bahwa Bisyr telah kembali ke Baghdad. Dari laki-laki itu si pedagang pun sadar bahwa jarak desa itu dengan Baghdad cukup jauh, sedangkan ia tidak memiliki uang untuk menyewa kendaraan dan tidak kuat lagi berjalan. Si sakit pun menyarankan agar pedagang penguntit itu tinggal sementara di desa tersebut dan menunggu kedatangan Bisyr pada Jumat yang akan datang.

Ketika hari Jumat tiba, Bisyr pun datang dari Baghdad dengan membawa makanan untuk si sakit. Si sakit pun menyampaikan kepada Bisyr,”Ini ada yang mengikutimu dari Baghdad, ia tidak bisa pulang. Antarkan ia ke rumahnya”.

Bisyr pun mengantarkan si penguntit hingga sampai Baghdad dan melarangnya untuk melakukan hal itu kembali.

Setelah peristiwa itu terjadi, si pedagang memutuskan untuk bersahabat dengan kaum sufi dan membelanjakan seluruh hartanya untuk mereka.. [dsy] 

Sumber : -Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, “Mafahim Yajibu An Tushahhaha”, “Tadzkiratul Auliya” Fariduddin Aththar dan “Hilyah Al Auliya”

Back to top button