Kanal

Zionis Israel: Aib Terbesar Peradaban Manusia

Politik segregasi, sistem apartheid dan kekejian Israel selama ini secara telanjang mengharuskan kita memikirkan ulang kemajuan dunia yang konon telah diraih manusia, manakala kemanusiaan di negara itu masih pada taraf purba.

Oleh     :  Darmawan  Sepriyossa

Dunia barangkali sudah tua dan telah matang buat saatnya dipetik tiupan sangkalala Israfil untuk kiamat. Ibarat kakek tua pikun yang tingkah polahnya kembali ke masa-masa balita, demikian pula dunia saat ini.

Lihatlah era ini. Kita hidup di zaman Post-truth, yang menurut kamus Oxford “berkaitan dengan, atau menunjukkan keadaan di mana fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik, dibanding daya tarik emosional dan kepercayaan pribadi”. Di era post-truth, kebenaran dan aneka fakta obyektif banyak diabaikan karena masyarakat memilih hanya apa yang mereka mau.

Demikian pula dalam soal pendudukan (penjajahan atau kolonialisme) Israel di tanah Palestina. Sekian lama ini kita mencermati banyak hal telah berlangsung terbalik-balik. Di halaman media massa, meski datang merampas tanah warga Palestina dan mendudukinya, Israel justru banyak dikesankan sebagai korban. Manakala sesekali orang-orang Palestina membalas, langsung mereka mendapatkan cap ‘teroris’.

Seperti pekan lalu, saat organisasi gerakan perlawanan rakyat Palestina, Hamas, melakukan serangan ke Palestina. Kontan, tak hanya media-media barat menyebut penyerbuan Hamas itu sebagai aksi teroris. Sebagian kecil masyarakat Muslim pun ada yang menyalahkan Hamas, seraya melupakan bahwa mereka adalah warga Palestina yang telah sekian lama dijajah, ditindas, diperlakukan tidak manusia oleh Israel.

Mungkin awalnya anomali, lama-lama kita pun menjadi biasa. Bagaimana mungkin, di era kemajuan teknologi dan keterbukaan dunia, pada saat pernyataan The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) telah digaungkan kurang lebih 75 tahun lalu, dunia bisa-bisanya menutup mata pada penjajahan dan penindasan telanjang yang terjadi di Palestina?  Jika yang namanya exploitation de l’homme par l’homme  dan exploitation de nation par nation itu terlarang, keji dan biadab, mengapa hingga kini keberadaan Israel dengan segala perilakunya yang menghinakan kemanusiaan itu dibiarkan berlangsung?

Bayangkan, kemajuan peradaban seperti apa yang telah kita capai, manakala di sisi lain kemanusiaan kita begitu rendahnya. Israel selama berpuluh tahun telah melakukan segregasi– pemisahan kelompok orang berdasarkan, agama, dan sebagainya. Untuk mengepung wilayah yang terus menyusut menjadi mini itu– Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur hanya seluas 6.020 km2—sejak 2022 Israel membangun tembok pemisah yang membentang sepanjang lebih dari 700 kilometer. Negara zionis itu beralasan tembok itu untuk tujuan keamanan. Namun, alih-alih mengikuti batas tahun 1967 yang diakui secara internasional, yang dikenal sebagai Garis Hijau, 85 persen dari tembok tersebut berada di Tepi Barat. Hal itu sangat membatasi kebebasan bergerak warga Palestina.

Mobilitas warga Palestina dihambat secara ekstrem. Ada lebih dari 700 rintangan jalan di Tepi Barat, termasuk 140 pos pemeriksaan. Pos-pos pemeriksaan itu kian membatasi pergerakan warga Palestina, terutama sekitar 70.000 warga yang dengan izin kerja Israel melintasi pos-pos pemeriksaan ini dalam perjalanan kerja mereka sehari-hari.

Kengerian itu lebih-lebih lagi di Gaza. Dalam buku grafik novel—komik dalam istilah lama—“Footnotes in Gaza”, penulis terkemuka Joe Sacco menyatakan, Israel mengawasi dengan ketat semua ruang udara, pantai dan semua pintu masuk ke Gaza, kecuali satu. Mulai 3 Januari 2009, wilayah laut Gaza ditutup sepenuhnya oleh Angkatan Laut Israel, dibantu AS dan Uni Eropa. Sementara satu pintu yang agak kendor dijaga Israel itu adalah Terminal Rafah, yang merupakan pintu ke Mesir. Tapi tentara Mesir pun mengawasi dengan ketat jalan masuk itu.

post-cover
Jumlah korban jiwa akibat serangan brutal Israel di Jalur Gaza pada Sabtu (7/10/2023), telah meningkat menjadi 198 orang, sementara 1.610 lainnya luka-luka. [foto: Al Jazeera]

Berapa luas Gaza? Menurut The World Factbook, situs milik Badan Intelijen Pusat AS (CIA), luas Gaza  hanyalah 360 km persegi. Wilayah seuprit itu dihuni sekitar dua juta manusia (estimasi tahun 2023 tercatat 2.098.389 jiwa).

Alhasil, wilayah Gaza adalah penjara terbuka terbesar di dunia, yang menampung lebih dari dua juta manusia. Selain itu, warga Palestina juga hidup di 58 kamp resmi PBB yang tercecer di seluruh Palestina dan negara-negara tetangga. Secara keseluruhan, lebih dari lima juta pengungsi Palestina telah terdaftar.

Dalam “Footnotes..”, Joe Sacco juga mewawancarai Abdul Aziz al-Rantisi, pejabat senior Hamas yang kemudian terbunuh akibat serangan rudal Israel pada 2004. Al-Rantisi sempat bercerita tentang pembantaian di Khan Younis oleh  para Yahudi Israel pada 1956, saat dirinya masih berusia sembilan tahun. Salah satu pembantaian terbesar dalam sejarah Palestina. “Aku masih ingat jerit tangis ayahku meratapi kematian saudaranya,” kata al-Rantisi. “Aku tak bisa tidur selama berbulan-bulan sesudahnya… Ada luka di hati yang tak pernah bisa sembuh. Perbuatan seperti itu tak bakal terlupakan… Mereka menanam kebencian di hati kami.”

Namun dunia melihat, kekejian itu tak pernah berakhir. Tak hanya disusul pembantaian di Kamp Sabra dan Shatila di Lebanon, yang menewaskan 460 pejuang dan 3.500 warga sipil Palestina 1982, pembunuhan dan pembantaian warga oleh Israel tak pernah berhenti. Tak pernah ada pekan tanpa pembunuhan. Sacco mengutip seorang warga Gaza pada dua kali perjalanannya ke “penjara terbuka” itu, November 2002 dan Maret 2003. “Semua peristiwa terus berlangsung. Kami bahkan tak pernah sempat merenungkan satu tragedi karena tragedi berikutnya segera datang…”

Anda ingat apa yang dinyatakan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, sehari setelah serangan Hamas? Gallant bilang ia akan “membasmi binatang di Gaza”. Lihatlah bagaimana ia memandang warga Palestina. Wajar bila ia dan rata-rata para sejenisnya tak punya nurani menerapkan sikap rasis dan politik apartheid selama ini.

Sikap itu sejatinya mempermalukan dunia, yang membuat orang waras wajar bertanya-tanya bagaimana mungkin umat manusia bisa bangga, sementara sebuah kejahatan purba dibiarkan tetap hidup dan berlangsung terus? Jelas, zionisme Israel sesungguhnya adalah aib terbesar bagi peradaban dan kemanusiaan kita.

Mitos Israel korban

Meski rasis, keji dan tak mengenal kemanusiaan, banyak penganut zionisme justru memiliki mental cemen dan rendahan.  Di dunia, terutama Amerika Serikat, mereka membangun mitos sebagai korban. Tak hanya saat ini ketika kemarin mereka dibalas Hamas. Bukankah kita semua pun tahu wacana raksasa bernama holocaust yang selalu didesakkan  ke kepala kita lewat segala macam media, termasuk film-film Hollywood?

Holocaust yang secara istilah datang dari kata Yunani; holókauston, yang berarti binatang persembahan (kurban/olos) kepada Dewa dengan cara dibakar (kaustos), kemudian berganti arti. Holocaust kini lebih dimaknai sebagai pembunuhan massal kelompok Yahudi di masa PD II. Kejadian itu, meski dikatakan presiden keenam Iran, Mahmoud Ahmadinejad, hanya mitos, mungkin memang terjadi. Setidaknya, kita pun menyaksikan terlampau banyak dokumentasi yang sukar untuk dinafikan begitu saja.

Tetapi bahwa holocaust itu telah dimainkan, dikapitalisasi, secara besar-besaran, juga sukar dibantah begitu saja.

Pada 2000 lalu terbit buku yang menggemparkan sehubungan holocaust, “The Holocaust Industry: Reflections on the Exploitation of Jewish Suffering”, yang ditulis Norman Finkelstein, doktor politik lulusan Princeton University yang saat ini guru besar di New York University, AS. Menurut Finkelstein, kelompok Yahudi Amerika telah mengeksploitasi secara berlebihan kenangan Holocaust Nazi untuk keuntungan politik dan finansial, serta—terutama– untuk lobi-lobi kepentingan Israel. Menurut Finkelstein, “industri Holocaust” ini telah merusak budaya Yahudi dan memori otentik tentang Holocaust.

Yang menarik, Finkelstein ini seorang Yahudi. Orang tuanya bahkan menderita di Ghetto Warsawa. Industri holocaust, menurutnya kemudian menjadi ideologi, yang pada gilirannya memberi Israel status sebagai “negara ‘korban’” meskipun catatan hak asasi manusianya “mengerikan”.

Ada banyak keganjilan yang ditulis Finkelstein. Di antaranya, istilah penyintas holocaust”, yang pada awalnya ditujukan pada mereka yang menderita trauma karena pernah berada di ghetto-ghetto kaum Yahudi, kamp konsentrasi dan kamp kerja paksa. Kini bahkan orang Yahudi yang ketika perang berlangsung berada di tempat yang lain, menyatakan dirinya juga sebagai yang selamat dari berbagai kamp yang ada. Itu karena para penyintas biasanya mendapatkan status seorang martir. Motif lainnya yang juga menjadi alasan kuat untuk hal ini adalah materi. Pemerintah Jerman pascaperang telah memberikan kompensasi besar pada orang-orang Yahudi yang pernah berada di ghetto-ghetto atau di kamp. Banyak orang Yahudi yang kemudian memalsukan masa lalu mereka agar bisa memenuhi persyaratan ini.

Hal lain, peneliti holocaust, Deborah Lipstadt, secara ironis mengatakan kalau para ‘korban Holocaust’ sering mengaku jika mereka pernah diperiksa langsung oleh Josef Mengele di Kamp Auschwitz! Pret!

post-cover

Dalam buku ini, Finkelstein juga menulis bahwa dia melihat The New York Times sebagai sarana promosi utama “industri Holocaust”. Ia menunjuk indeks tahun 1999 yang mencantumkan 273 entri untuk Holocaust dan hanya 32 entri untuk seluruh benua Afrika.

Buku ini memang kontroversial, tetapi nyaris semua peneliti holocaust memujinya. Sejarawan Holocaust Raul Hilberg, misalnya, memuji buku Finkelstein ini. “Ia adalah seorang ilmuwan politik yang terlatih, mempunyai kemampuan melakukan penelitian, melakukannya dengan hati-hati, dan memberikan hasil yang tepat. Saya sepenuhnya setuju dengan terobosan Finkelstein,”kata Hilberg. Sementara sejarawan Israel, Moshe Zuckermann, menyambut buku itu sebagai “kritik yang tak tergantikan terhadap ‘instrumentalisasi masa lalu’.

Zionisme dan para zionis memang tak layak dipuji. Mereka adalah orang-orang Yahudi yang (me) lupa (kan) sejarah dan tak tahu terimakasih. Lupa bahwa sebelum Israel dipaksakan berdiri di Palestina, 14 Mei 1948, mereka tak lebih dari para paria teraniaya di berbagai penjuru dunia; terusir dari negeri dan selama ratusan tahun mendapatkan perlindungan dari kaum Muslimin di Andalusia dan Turki Utsmani.

Lihat saja catatan ini.  Ketika pada 17 Juli 1555 Paus Paulus IV mengeluarkan surat pernyataan kepausan (Papal Bull) bernama “Cum nimis absurdum”, kaum Yahudi kontan secara resmi dianggap sebagai budak. Untuk itu mereka dipaksa tinggal dalam ‘ghetto’ yang hanya memiliki satu pintu masuk. Saat itu mulailah orang-orang Yahudi Eropa melakukan evakuasi ke wilayah Utsmani.

Ketika terjadi Inquisisi di Spanyol dan Portugal pada abad 15,  pembantaian besar-besaran kaum Yahudi dan Muslim kerap terjadi. Pada 1483 dilaporkan 13.000 orang Yahudi dieksekusi atas perintah Komandan Inqusisi, Fray Thomas de Torquemada. Ketika Granada jatuh ke tangan Kristen di bawah Ferdinan dari Aragon, 1492, terjadilah kembali pembantaian besar-besaran. Di sisi Yahudi, antara akhir April sampai 2 Agustus 1492 saja  sekitar 150.000 kaum Yahudi diusir dari Spanyol. Sebagian besar mereka kemudian mengungsi ke wilayah Turki Utsmani yang menyediakan tempat yang aman bagi Yahudi. Wajar bila kemudian pada 1535, seorang penulis Yahudi-Italia, David dei Rossi, mencatat bahwa di wilayah Utsmani, kaum Yahudi berhasil memegang posisi-posisi tinggi di pemerintahan. Hil yang mustahal mereka dapatkan di Eropa.

Semua itu jelas mereka lupakan. Bila tidak, mana mungkin yang mereka bawa kepada warga Palestina selama 75 tahun ini hanya kesedihan dan perilaku keji. Masuk akal bila pada April 2021 lalu lembaga hak asasi internasional, Human Rights Watch menyatakan bahwa Israel telah melakukan ‘kejahatan apartheid’ terhadap warga Palestina.

Dalam laporan setebal 213 halaman HRW saat itu mengatakan, kebijakan Israel yang dikodifikasikan dalam undang-undangnya memberikan hak istimewa kepada warga Yahudi Israel sambil menindas warga Palestina. Semua itu bahkan  dan telah “melewati ambang batas” menuju apartheid.

Masalahnya, dengan diamnya dunia, sampai kapan aib ini harus menjadi beban kita sebagai warga dunia hari ini? Tidak hanya orang-orang Palestina yang harus melawan semua ini. Semua warga dunia yang punya nurani harus mengakhirinya. Bersama! [  ]

Back to top button