Market

Anda Investor Saham? Jangan Tangkap Pisau Jatuh!

Analis mewanti-wanti para pemodal di bursa saham baik trader maupun investor untuk tidak menangkap pisau jatuh. Jangan tergiur bahkan dengan saham murah berfundamental bagus sekalipun.

“Lebih baik wait and see. Tunggu sampai sentimen negatif reda,” kata CEO & Founder Akela Trading System, Hary Suwanda kepada Inilah.com saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (5/1/2022) sore.

Pada perdagangan Kamis (5/1/2022), Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG berakhir melemah 159,4 poin atau 2,34 persen ke posisi 6.653,84. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 turun 18,87 poin atau 2,03 persen ke posisi 909,66.

Hary menjelaskan, IHSG merupakan indeks yang paling kuat di 2022 dan satu-satunya di Asia yang masih mencatatkan kinerja positif.

“IHSG sepanjang 2022 masih mencatatkan angka positif di atas 4 persen (menguat sebanyak 269 poin atau 4,08 persen dari level 6.581,4 menjadi 6.850,6). Masuk awal 2023, IHSG mulai turun karena saat bursa-bursa lain sudah turun, dia belum turun,” timpal Hary.

Deretan Katalis Negatif di Bursa Saham

Salah satu pemicu penurunan tajam IHSG adalah sentimen negatif dari Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) yang menyatakan sepertiga negara di dunia akan resesi di 2023.

Sentimen negatif itu, sambung dia, diperparah dengan notula rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pertengahan Desember 2022 yang rilis Kamis (5/1/2022) dini hari. “Notula itu menunjukkan bahwa The Fed menargetkan suku bunga acuan Fed Fund Rate atau FFR di level 5,25% untuk 2023,” ujarnya.

Dari target tersebut, menurutnya, terdapat dua konsekuensi yang dapat dibaca oleh pasar. Pertama, masih ada ruang penguatan suku bunga acuan The Fed dua kali, yakni 50 basis poin dan 25 basi poin. Konsekuensi kedua, kenaikan suku bunga tiga kali, yakni 25, 25, dan 25 basis poin.

“Ekspektasinya itu akan terjadi pada FOMC bulan Februari dan Maret 2023,” tuturnya.

Menurut Hary, jika The Fed berhenti di level bunga tinggi itu, sebenarnya tidak terlalu bermasalah bagi pelaku pasar. Sebab, harapannya inflasi AS akan segera turun dan suku bunga acuannya segera kembali melandai di semester II-2023.

“Masalahnya, dari notula itu nampak bahwa mereka akan mempertahan suku bunga tinggi 5,25 persen itu hingga akhir tahun,” tukas Hary.

Namun, ia menggarisbawahi, hal itu tidak dapat menjadi pegangan 100 persen bagi pelaku pasar. Secercah harapan datang dari formasi anggota FOMC sekarang yang sudah berubah seiring rotasi yang terjadi pada bank sentral AS itu.

Jumlah gubernur The Fed sebanyak 12 di mana lima di antaranya merupakan anggota tetap dan tujuh merupakan anggota rotasi. “Yang tujuh ini yang diganti dan yang sekarang tidak seagresif itu dalam menaikkan suku bunga acuan. Ini sisi positifnya,” ungkap Hary.

Capital Flight Mengancam

Masalahnya, kata dia, dengan suku bunga The Fed berada di level 5,25 persen dan suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) 5,5 persen, selisihnya menjadi tipis, yakni 0,25 persen.

“Padahal, dulu sebelum The Fed menaikkan suku bunga acuannya, selisihnya di kisaran 3 persen hingga 3,5 persen,” paparnya.

Selisih saat ini yang hanya 0,25 persen hingga 0,5 persen itu, menurutnya, akan memaksa BI untuk menaikkan suku bunga acuan di atas 8 persen. “Dengan BI rate di level 5,5 persen, selisih BI rate dengan FFR itu terlalu kecil,” ucapnya tandas.

Lebih jauh ia menjelaskan, jika deposito rupiah mendapat bunga yang sama dengan deposito dolar AS, investor jelas akan memilih dolar AS. “Akibatnya, akan terjadi capital flight dari rupiah ke dolar AS,” tuturnya.

Jika hal itu serentak terjadi di pasar, kata dia, permintaan dolar AS di Indonesia akan melonjak dan rupiah akan mengalami tekanan negatif yang hebat lantaran kenaikan dolar AS.

“Dolar AS ini sangat sensitif dengan politik. Apalagi, tahun ini dan tahun depan kita semua tahu merupakan tahun politik,” timpal dia.

Bagi BI, tidak ada jalan lain kecuali terus menaikkan suku bunga acuan karena posisinya harus berada di atas suku bunga The Fed. “Jika tidak, akan terjadi capital flight,” ia kembali menegaskan. “Jika BI naikkan suku bunga acuan terus, nasib kredit bagaimana? KPR dan kredit lainnya gimana Pak? Itu implikasinya ke sana semua.”

Wait and See Jalan Terbaik bagi Investor Saham

Hary pun menyarankan kepada para pemodal di bursa saham untuk menunggu sampai sentimen negatif yang menyelimuti pasar saham berakhir.

“Tunggu sampai IHSG turun ke support tertentu. Jika support itu ditembus, yang terjadi adalah market melakukan sell off. Tunggu sampai support berikutnya,” katanya.

Anda Investor Saham? Jangan Tangkap Pisau Jatuh! - inilah.com
(Sumber: Dok. Pribadi Hary Suwanda)

Secara teknikal, support IHSG berada di 6.558 dengan resistance di kisaran 6.800. “Jangan tergiur dengan saham murah berfundamental bagus. Lebih baik wait and see. Saya sama sekali tidak merekomendasikan saham dalam situasi seperti ini,” ujarnya seraya mewanti-wanti.

Dia mengingatkan, faktor suku bunga The Fed bukan semata soal sentimen, tapi benar-benar menyangkut fundamental emiten dan ekonomi Indonesia ke depannya.

Pantau Rilis Inflasi AS

Selebihnya, Hary menyarankan para pemodal untuk memantau rilis inflasi atau Consumer Price Index (CPI) AS di pekan depan. “Ekspektasi saya, inflasinya bakal kembali turun,” ucapnya.

Jika itu benar-benar menunjukkan tren penurunan, ia optimistis sentimennya dapat membalikkan kondisi panic selling ini. “Jika turun jadi 6 persen atau bahkan 5 persen dari 7,1 persen saat ini, inflasi AS akan menjadi sentimen positif,” tuturnya.

Konsensus para ekonom, inflasi AS bakal berada di level 6,7 persen.

Dengan begitu, kata dia, The Fed tidak perlu agresif lagi menaikkan suku bunga acuan. “Sebab, mereka menganggap arah inflasi sudah on the right track,” imbuh Hary.

Disclaimer: Pelajari dengan teliti sebelum membeli atau menjual saham. Inilah.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan atau kerugian yang timbul. Keputusan investasi ada di tangan investor.

Back to top button