News

Mantan Koruptor Jadi Caleg, Parpol Abaikan Moralitas dan Regenerasi

Tindakan korupsi merupakan tindakan yang sangat merugikan negara. Korupsi mengakibatkan melambatnya pertumbuhan ekonomi negara, menurunnya investasi, meningkatnya kemiskinan serta meningkatnya ketimpangan pendapatan. Korupsi juga dapat menurunkan tingkat kebahagiaan masyarakat di suatu negara.

Kerugian Indonesia akibat korupsi 2022-2023. Korupsi di Indonesia adalah masalah yang serius.Hal yang cukup disayangkan, korupsi di Indonesia paling besar terjadi di lingkungan pemerintahan. Terkadang karena sering terjadi, masalah tersebut menjadi hal yang biasa.

Padahal seharusnya tidak bisa.Tetapi sayang korupsi tetap saja terjadi di era reformasi yang nyatanya sudah ada lembaga anti rasuah atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semangat keterbukaan atau transportasi pun merata di seluruh lembaga pemerintahan dan lembaga negara.

Buktinya, Indonesia Corruption Watch (ICW) masih tetap menemukan tren tindak korupsi di berbagai sektor. Dalam rilis temuannya bulan Agustus lalu ICW menyatakan hasil pemantauan tren penindakan korupsi pada 2022 yang ditangani oleh tiga aparat penegak hukum, yakni kejaksaan, kepolisian dan KPK  sebesar Rp42,747 triliun.

ICW menjabarkan kerugian negara terbesar adalah kasus korupsi sektor perdagangan yang nilainya hingga Rp20,9 triliun. Secara kuantitas kasus, sektor ini menyumbang 10 kasus pada 2022. Kedua adalah sektor transportasi dengan nilai kerugian mencapai Rp8,82 triliun. Untuk kuantitas kasusnya, terjadi 12 kasus korupsi di sektor ini pada 2022.

Ketiga, sumber daya alam yang merugikan negara hingga Rp7 triliun. Adapun jumlah kasus sektor ini sebanyak 35 kasus sepanjang 2022. Keempat, agraria, dengan nilai kerugian Rp2,66 triliun. Jumlah kasusnya cukup banyak, yakni 31 kasus.

Kasus korupsi sektor desa, dengan jumlah kasus paling banyak pada 2022, yakni 155 kasus, menyumbang kerugian negara sebesar Rp381 miliar. “Sejak pemerintah mengalokasikan dana desa pada tahun 2015, secara konsisten terjadi peningkatan tren kasus korupsi hingga tahun 2022,” tulis ICW dalam laporannya, 16 Maret 2023.

Sebagai catatan, kasus korupsi sektor peradilan pada 2022 ini belum ada datanya.Temuan korupsi yang dilakukan aktivis pemantauan korupsi sebenarnya menunjukkan penurunan.  Data dari ICW, kerugian negara akibat kasus korupsi mencapai Rp62,93 triliun pada 2021. Apalagi nilai kerugian negara akibat kasus korupsi menjadi yang terbesar dalam lima tahun terakhir.

Nilai kerugian negara tersebut pun naik 10,91% dibandingkan pada tahun 2020 sebelumnya yang sebesar Rp56,74 triliun. Temuan ini membuat kita pantas mengelus dada. Kasus korupsi yang terjadi di era reformasi yang menjadikan korupsi sebagai salah satu musuh utama.

Padahal setelah robohnya orde baru, keterwakilan masyarakat di lembaga pengontrol dan pengawas seperti DPR hingga ke DPRD sudah lebih demokratis. Meskipun belum mampu mengikis kasus korupsi.Atau mungkin partai politik yang ada di parlemen sepertinya tidak dapat memenuhi harapan masyarakat untuk menurunkan kasus korupsi.

“Jadi begini kalau kita bicara tataran korupsi itu tidak pernah ada partai manapun yang menginstruksikan kepada seluruh jajarannya untuk melakukan korupsi. Karena korupsi itu menjadi salah satu buah reformasi di mana korupsi itu menjadi musuh bersama,” kata Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Golkar, Firman Soebagyo kepada inilah.com, Rabu (30/8/2023).

Kegalauan Partai Politik

Kepada siapa harapan masyarakat disandarkan supaya praktik korupsi menjadi berkurang, paling tidak supaya tidak merajalela? Sebab sangat miris, sudah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selalu ditopang dengan utang, tetapi setelah menjadi anggaran untuk pos-pos pembangunan justru dikorupsi.

Nah, sebenarya, peran partai politik bisa untuk memenuhi harapan masyarakat. Karena secara logika lebih independen dari unsur-unsur kekuasaan Jadi untuk dapat menghindari praktik korupsi menjadi lebih mudah. Walaupun belakangan independensi parpol sudah tercampur dengan unsur keinginan kekuasaan dalam menjalankan pembangunan atau dalam mengelola keuangan negara termasuk kewenangan negara.

Sehingga dalam setiap kasus korupsi, yang terlibat ada yang berasal dari pejabat pemerintah dan politikus.Untuk itu menjelang perhelatan akbar, pemilihan lagislatif atau pileg tahun 2024 menjadi harapan untuk memilih wakil rakyat yang bersih, memiliki inegritas, moralitas dan bersih. Walaupun muncul polemik, beberapa parpol mengajukan bakal calon legislatif atau bacaleg yang sudah pernah tersandung kasus korupsi. Korupsinya baik terseret dengan oknum pejabat atau dilakukan berjamaah dengan sesama politisi lintas parpol.

Bagaimana bila yang masuk daftar calon wakil rakyat adalah yang sudah pernah tersangkut korupsi? Meskipun secara moral dan secara hukum sudah menjalani hukuman sesuai dengan kesalahannya.Dengan polemik ini, banyak yang menilai karena sistem kaderisasi di internal parpol tidak berjalan dengan baik. Dalam program kerjanya tidak merangkul para kadernya untuk siap suatu saat mendapat amanat dari rakyat saat memberi hak suaranya dengan menumbuhkan moralitas dan integritas saat bertugas di gedung parlemen.

Menurut Dosen dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, jika parpol peserta pemilu dapat melakukan kaderisasi yang baik, sistem internal yang kuat dan menaati hukum maka tidak akan terjadi terpilihnya orang-orang yang terpidana korupsi mencalonkan dirinya kembali.

“Ini menandakan betul, memberikan sinyal kepada pemilih bahwa parpol tersebut adalah parpol yang gagal melakukan kaderiasi. Sehingga tidak bisa menemukan kader-kader mereka yang terbaik, yang bukan mantan koruptor untuk di Daftar Calon Sementara (DCS),” kata Bivitri yang menjadi narasumber ICW secara daring, Rabu (30/8/2023).

Dengan itu, ia melanjutkan akan merugikan para pemilih di Indonesia saat ini. Pada umumnya pemilih saat ini jarang yang melihat rekam jejak dari calon legislatif yang mendaftarkan dirinya. Kebanyakan masyarakat atau pemilih, cenderung melihat hanya dari faktor keterkenalan, mentereng atau tidaknya.

Padahal pada titik inilah perlunya peran penyelenggara pemilu dan parpol sangat dibutuhkan untuk menjadi filter bagi proses pemilu ini. “Nah filterr itu yang menurut saya sampai sejauh ini masih belum berhasil untuk diterapkan,” jelas dia.

Akhirnya memunculkan harapan, seharusnya KPU membuka informasi yang cukup untuk para pemilih tentang rekam jejak dari setiap caleg yang sudah terdaftar di DCS. “Karena potensi diulangnya perilaku koruptif itu akan sangat besar ketika mereka diizinkan kembali memegang kekuasaan. Itu yang harus dicegah,” tutur Bivitri.

Kalangan politikus dari partai politik keberatan bila kegagalan kaderisasi menjadi penyebabnya. Sebab secara peraturan diperbolehkan meskipun tetap memperhatikan moralitas dan integritas. Parpol juga menghargai hak seseorang untuk memilih kesempatan mendekati konstituen dan menarik masyarakat untuk memberikan amanatnya kepada seorang sosok untuk menjadi wakilnya.

Terkadang parpol menerima aspirasi para pendukung seorang bacaleg untuk memberikan kesempatan maju sebagai wakil rakyat. Seperti desakan tokoh masyarakat ke DPP untuk memberikan kepercayaan kepada tokoh tertentu bertarung di pileg. Walaupun partai memiliki mekanisme sendiri untuk menyeleksi para calon legislatornya. Seperti yang terjadi di Partai Keadilan Sejahtera atau PKS.

“Saya kurang tahu pertimbangan parpol lainnya. Di PKS ada satu nama yang tersangkut ini, dari Kalbar. Nama ini dimajukan, karena desakan tokoh masyarakat di sana. Pada tahun 2019, nama tersebut dimajukan dan di tolak oleh DPP PKS,” cerita Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Habib Aboe Bakar Al Habsyi kepada inilah.com.Kemudian tahun ini dimajukan lagi, katanya, karena usulan dari para tokoh masyarakat. “Oleh karenanya, tim penjaringan kemudian mencoba memberikan kesempatan kedua kepada yang bersangkutan,” jelasnya.

Memang dalam aturan tentang syarat bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD yang tertuang dalam Pasal 240 Ayat 1 huruf g Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak disebutkan secara khusus larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar. Akan tetapi, seorang mantan narapidana, termasuk kasus tindak pidana korupsi yang ingin mendaftar diwajibkan mengumumkan kepada masyarakat bahwa dirinya pernah dihukum akibat kasus korupsi dan telah selesai menjalani hukuman tersebut.

“Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,” demikian mengutip pasal tersebut.

Menurut pakar hukum UMM, Catur Wid Haruni, kesempatan para mantan koruptor mendulang suara dalam pileg mengacu dalam UU HAM No. 39 Tahun 99 itu terutama di pasal 43 ayat 1, setiap warga negara itu berhak di pilih dan memilih dalam pemilihan umum.Jjadi secara normatif hak sipil dan politik diatur dalam UU HAM dan lebih jauh itu juga ada di dalam UU Sipil dan politik ada di UU No. 12 tahun 2005 khususnya di pasal 25.

Bahwa setiap warga negara itu mempunyai hak dan kesempatan, tanpa membedakan apapun jadi tidak ada diskriminasi. Misalnya untuk ikut serta dalam pelaksaan urusan pemerintahan baik secara langasung maupun tidak langsung melalui wakil-wakil yang dipiluh secara bebas.

Kemudian ada poin untuk dipilih pada pemilihan umum yang bersekala dengan hak yang universal dan dilakukan pada pemungutan suara secara rahasia untuk kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih, kemudian yang lain memperoleh akses pelayanan umum di negara atas dasar persamaan dalam arti umum karena kita sudah melakukan stratifikasi ya atas konferensi internasional tentang hak sipil dan politik yang kemudian itu dituangkan dalam UU No 12 tahun 2005.

“Jadi kalau dalam prespektif HAM itu siapa pun diberi kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan tidak ada diskriminasi untuk dipilih dan memilih,” katanya kepada inilah.com, secara terpisah.

Sikap Pragmatis Parpol

Selain faktor kegagalan kaderisasi partai politik sehingga masih memberikan kesempatan kepada mantan narapidara korupsi, juga karena faktor lain. Parpol cenderung bersikap pragmatis.Padahal partai politik merupakan penyaring bagi rekrutmen politik yang diharapkan meghasilkan figur-figur terbaik.Seperti anti korupsi, berih dan mempunyai visi pembangunan yang jelas termasuk orientasi pada pelayanan publik.

“Tetapi kan parpol di tengah sistem kompetisi yang sangat kompetitif, dinamis, dan  juga bisa dikatakan butuh biaya besar mengambil pendekatan yang paling pragmatis dan memungkinkan untuk memenangi kursi,” kata pengamat hukum pemilu dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini,Rabu (30/8/2023) secara terpisah.

Apalagi kalau para mantan koruptor tersebut ditopang oleh kekuatan modal finansual dan mempunyai jejaring yang luas. Sehingga, saringan di partai politik dinilai tidak bekerja. Jadi partai yang masih diberikan untuk merekrut mantan terpidana, itu adalah kontributor terbesar masih maraknya mantan terpidana dicalonkan dalam pileg nanti.

Selain itu, juga menuturkan para mantan koruptor tersebut mempunyai tingkat keterpilihan yang tinggi. Sehingga dengan minimnya transparansi soal latar belakang bacaleg, masyarakat hanya mengandalkan calon yang mereka kenal melalui baliho-baliho yang tersebar menampilkan wajah para bacaleg.

“Jadi kadang-kadang masyarakat pemilih pendekatannya sederhana saja mengandalkan orang yang mereka kenal, balihonya, banyak posternya banyak lalu tampilan media sosialnya menarik begitu ya, dan situasi itu disayangkan saat ini diperburuk dengan sulitnya publik mendapatkan akses riwayat hidup pada caleg,” jelasnya.

Di sisi lain Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat inu mengalami kemunduran. Sebab, KPU tak membuka rekam jejak daftar riwayat hidup bakal caleg untuk pemilu 2024. Jadi beberapa faktor ikut mendukung, mulai dari KPU yang seperti itu, dari parpolnya juga menunjukkan kecenderungan seperti itu.

“Jadi ini kemunduran ya karena di 2014-2019, profil caleg itu sudah bisa diakses sejak Daftar Calon Sementara (DCS). Bahkan ada banyak sekali inisiatif masyarakat yang bisa dilakukan dengan ketersediaan profil caleg sejak masa DCS,” ucap Titi.

Titi pun menjelaskan dengan KPU yang misalnya menolak untuk mempublikasi profil atau riwayat hidup DCS dan menunggu Daftar Calon Tetap (DCT) merupakan anomali. DCT adalah hasil yang semestinya sudah bersih dari masalah yang dihadapi oleh para bakal caleg.

Sementara Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis tidak mempersoalkan mantan narapidana kasus korupsi untuk maju pada pemilihan anggota lesgilatif (Pileg) 2024. Asalkan, kata dia, eks koruptor telah menuntaskan masa hukumannya dan tidak sedang dalam proses hukum saat maju sebagai caleg. “Enggak apa-apa kalau dia sudah menjalani hukuman. Oke saja,” ujarnya.

Artinya, sudah bebas dari penjara selama lima tahun. Kemudian, hak politik mantan narapidana kasus korupsi itu tidak dicabut. Berarti tidak masalah atau tidak mempengaruhi proses seseorang menjadi calon legislatif. Pilihan berada di tangan masyarakat karena tidak ada yang melarang secara undang-undang dan aturan.  “Orang dah bebas dan hak politiknya tidak dicabut, ya sah dia nyaleg lagi,” papar Margarito.

Pada akhirnya, tujuan reformasi yang menjadikan praktik korupsi sebagai musuh utama belum sepenuhnya berada di jalur yang benar. Pemilihan umum legislatif yang menjadi peluang memilih wakil-wakil rakyat yang bersih, menjadi terciderai. (Diana/Mihardi/Reyhanah/Clara)

Back to top button