Kanal

Wartawan, Intel, dan Kapolsek

Pers nasional heboh! Seseorang dikenal lama sebagai wartawan dilantik menjadi Kapolsek. Ternyata selama ini sang wartawan berstatus resmi sebagai intel kepolisian dan berlangsung sudah belasan tahun.

Wartawan itu adalah Iptu Umbaran Wibowo yang dilantik sebagai Kapolsek Kradenan, Blora, Jawa Tengah, pada Senin (12/12/2022) oleh Kapolres Blora AKBP Fahrurozi. Pelantikan ini mengagetkan mengingat Umbaran selama ini dikenal sebagai seorang wartawan televisi, TVRI.

Umbaran Wibowo aktif menjadi seorang wartawan, sejak 2009, yang berarti saat itu ia masih menyandang pangkat bintara. Ia mendapatkan tugas penyamaran sebagai jurnalis. Umbaran tidak aktif lagi melakukan tugas jurnalistik sejak tahun 2021 ketika sudah menjadi perwira dan dipromosikan sebagai Wakapolsek Blora.

Setelah menjadi seorang perwira Polri dan mempunyai jabatan, Umbaran kemudian melepaskan profesinya sebagai seorang jurnalis. “Terkait saya dulu pernah aktif di jurnalistik, itu adalah bagian dari pelaksanaan tugas dan perintah pimpinan,” ucap Umbaran Wibowo kepada wartawan.

Yang lebih mengejutkan, Umbaran dalam menjalankan tugas ‘kamuflase’-nya tidak main-main dan nyaris sempurna. Ia terdaftar sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dengan nomor anggota 11.00.17914.16B. Andapun huruf B pada nomor anggota menunjukkan dirinya merupakan anggota biasa di organisasi profesi wartawan tersebut.

Pada website resmi Dewan Pers, Umbaran juga tercatat sebagai wartawan TVRI Jateng dengan nomor sertifikasi wartawan 8953-PWI/WDya/DP/I/2018/19/10/84. Kode PWI pada nomor sertifikat menunjukkan jika Umbaran mengikuti uji kompetensi yang diselenggarakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Umbaran juga mengantongi status sebagai Wartawan Madya, jenjang yang setara dengan jabatan seorang editor atau redaktur.

Intel versus wartawan

Intelijen dan jurnalis memang memiliki tugas yang sedikit beririsan. Kedua profesi ini memiliki tugas yang mirip-mirip yakni menggali informasi di lapangan. Mencari fakta yang terlihat dan yang tidak terlihat melalui investigasi.

Perbedaannya hanya dalam hal pelaporan maupun tujuannya. Informasi yang diperoleh oleh wartawan disampaikan kepada masyarakat melalui karya jurnalistik. Sedang intelijen, dilaporkan kepada atasan untuk diolah menjadi bahan intelijen.

Perbedaaanya yang paling kontras adalah para jurnalis ini dalam menjalankan tugas harus berpegang teguh pada kode etik jurnalistik. Sementara intelijen tentu ada undang-undang yang mengaturnya, yakni UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, juga aturan sesuai institusinya apakah ia bertugas di kepolisian, kejaksaan, TNI, badan intelijen atau lembaga lain yang menaunginya.

Di dunia jurnalistik mengenal jurnalisme investigasi yang merupakan penelusuran terhadap kasus yang bersifat rahasia dengan cara investigasi. Tugas wartawan investigasi ini ya mirip dengan intelijen untuk mengungkapkan fakta rahasia atau tersembunyi melalui sebuah karya jurnalistik.

Intelijen dalam menggali informasi pada beberapa kasus terkadang sulit untuk mendapatkannya karena kali lebih kaku ketimbang pekerjaan wartawan yang luwes. Masyarakat lebih suka berbicara terbuka dengan wartawan ketimbang dengan intel, meskipun dalam beberapa kasus malah sebaliknya.

Karena kelebihan inilah, pada 2014, Kapolri saat itu, Jenderal Sutarman sempat mengajak wartawan menjadi intelijen guna membantu memberikan informasi awal terkait yang dibutuhkan supaya Polri bisa memberikan langkah pencegahan di tiap daerah. Alasannya, tidak semua wilayah di Indonesia memiliki intelijen. Oleh karena itu, Kapolri Sutarman meminta wartawan membantu tugas intelijen sehingga bisa memberikan informasi yang cepat kepada kepolisian.

Fenomena intelijen menjadi wartawan atau sebaliknya wartawan menjadi intelegen banyak terjadi di dunia. Mungkin Anda mengenal Ian Fleming, penulis dan pencipta tokoh James Bond, seorang agen rahasia Inggris dengan kode 007. Sesungguhnya dunia intelijen bagi Fleming bukan sekadar dalam fiksi belaka.

Pada awal 1939, Ian Fleming yang saat itu seorang stockbroker dan jurnalis terlibat sebuah misi rahasia yang menjadi tonggak karirnya sebagai agen Inggris dan penulis novel spy di kemudian hari. Ketika itu ia berangkat ke Moskow bersama dengan delegasi perdagangan sebagai koresponden surat kabar The Times sambil diam-diam bertugas mengukur kekuatan Rusia. Tak lama setelah misinya berakhir, Fleming direkrut menjadi asisten John Godfrey, Direktur Intelijen Angkatan Laut. Ia pun sempat memimpin beberapa operasi intelijen.

Banyak lagi intelijen dunia yang menyamar jadi wartawan, atau sebalinya wartawan yang dimanfaatkan oleh lembaga intelijen negaranya untuk menjadi mata-mata. Dalam beberapa peristiwa perang, wartawan sering bertindak sebagai intelijen karena memang akan lebih mudah masuk ke daerah-daerah konflik.

Di Indonesia, beberapa wartawan malah direkrut secara resmi menjadi bagian dari institusi intelijen. Bahkan kemudian berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tentunya harus memenuhi syarat dan menjalani tes tertentu.

Mitra atau azas manfaat?

Fenomena kehadiran intel dalam dunia jurnalistik sebenarnya sudah bukan rahasia lagi. Wartawan terutama yang sering berada di lapangan, sadar atau tidak, akan merasakan kehadiran para intel ini.

Terkadang ada juga intel yang berlagak dan mengaku wartawan. Misalnya para intel ini sering ikut nimbrung wartawan ketika tengah mewawancarai seseorang. Apalagi pada peristiwa aksi massa, para intel ini butuh informasi sebagai laporan. Untuk melakukan wawancara sendiri mereka tentu sulit, yang terjadi adalah ikut nimbrung dengan wartawan asli, untuk mencari info dan data termasuk siapa saja para tokohnya yang terlibat dari aksi itu.

Tak jarang para intel ini juga mencatut nama media atau wartawan media resmi. Penulis pernah hendak mewawancarai koordinator unjuk rasa mahasiwa. Namun mereka bilang sudah diwawancarai dari wartawan dari media yang sama dengan penulis. Padahal penugasan liputan di daerah itu hanya diberikan kepada penulis.

Kadang wartawan juga sering ‘memanfaatkan’ intel ini. Ketika penulis hendak menemui sumber, biasanya dalam kasus kriminal, si sumber enggan berbicara kepada wartawan. Penulis terpaksa mengatasnamakan intel. Alhasil mungkin karena narasumber merasa ‘takut’, informasi yang dibutuhkan pun bisa terungkap.

Di daerah, wartawan dan intelijen biasanya sudah saling kenal. Bahkan tak jarang saking dekatnya, kedua profesi ini bertukar informasi tentang sebuah kasus. Pada sebuah penugasan, penulis pernah meminta tolong intel untuk menemani liputan kasus yang ‘berisiko’ bagi keamanan wartawan.

Namun, harus disadari bahwa kedua profesi ini memiliki tujuan berbeda. Hubungan ini hanya sebuah simbiosis mutualisme atau azas manfaat. Keduanya bisa mengalami benturan kepentingan.

Dalam suatu kesempatan, penulis berhasil mewawancarai seorang tokoh anti-rezim yang berkuasa saat itu di sebuah villa di Kawasan Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. Ternyata wawancara ini bocor dan didengar aparat intelijen. Terbukti ketika tiba di kantor, beberapa orang menghampiri dan mengajak makan malam. Secara halus mereka meminta agar hasil wawancaranya tidak dimuat.

Ke depan, aturan tentang tugas intel yang terkait pekerjaan jurnalis tentu harus ditegakkan dengan tegas. Termasuk tidak sembarangan memberikan perangkat tugas jurnalistik seperti kartu pers atau sertifikasi uji wartawan. Sudah jelas dalam dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/X/2018 tentang Standar Kompetensi Wartawan, syarat bagi peserta uji kompetensi wartawan adalah tidak sedang menjadi bagian dari partai politik, anggota legislatif, humas lembaga pemerintahan dan swasta, anggota TNI dan Polri.

Jangan sampai ada tudingan instansi apapun yang memiliki fungsi intelijen membohongi publik dan melecehkan profesi jurnalis dengan menempatkan intel menjadi wartawan.

Profesi wartawan adalah profesi mulia yang menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dan dilindungi undang-undang lex spesialis yakni UU no 40 Tahun 1999 tentang Pers sehingga harus dijaga bersama seluruh elemen bangsa.

Back to top button