News

Warga Gaza Pilih Crowdfunding untuk Bertahan Hidup atau Mengungsi


Warga Gaza yang putus asa di Rafah terpaksa melakukan kampanye crowdfunding online untuk membantu kelangsungan hidup mereka, baik dengan mengungsi ke Mesir atau tetap di rumah. Mereka mencari bantuan dari luar perbatasan.

Platform crowdfunding online dibanjiri permohonan dari warga Gaza yang mencari dukungan. Beberapa di antaranya meminta dana untuk menutupi ‘biaya koordinasi’ yang diperlukan untuk mengungsi ke Mesir melalui penyeberangan Rafah, sementara yang lain berharap dapat mengumpulkan sumber daya untuk tetap tinggal dan membangun kembali rumah mereka setelah perang usai.

Sebagian besar permohonan ini berasal dari Rafah, di mana 1,4 juta orang masih tinggal di tenda-tenda dan tempat penampungan yang penuh sesak di tengah krisis kemanusiaan yang parah. Kebutuhan mendesak sangat besar, dan diperburuk dengan runtuhnya lembaga-lembaga bantuan besar.

Beberapa negara Barat telah memotong dana untuk UNRWA, organisasi bantuan terbesar untuk Palestina, di tengah laporan LSM dan badan PBB lainnya tentang meningkatnya kelaparan, dengan anak-anak meninggal karena dehidrasi dan kekurangan gizi. 

Dalam situasi ini, bentuk-bentuk saling mendukung yang bersifat alternatif dari akar rumput seperti kampanye crowdfunding telah mengambil peran penting. Crowdfunding sendiri adalah teknik pendanaan untuk proyek atau unit usaha yang melibatkan masyarakat secara luas. Bisa pula penggalangan dana dilakukan secara online.

Crowdfunding di Gaza Cara Hidup untuk Bermartabat

Mengutip laporan The New Arab (TNA), biaya untuk mengungsi ke Mesir berkisar antara US$5.000 (Rp77,8 juta) hingga $10.000 (Rp15 juta) per orang, sehingga memaksa warga Palestina yang ingin aman untuk meminta sumbangan dari kerabat dan teman di luar negeri. “Saya tidak melihat pilihan lain. Saya tahu itu adalah suap, tapi itulah biaya yang harus kami keluarkan untuk hidup bermartabat dan aman di tempat lain,” kata Bara Adwan (22), yang membuka kampanye crowdfunding untuk mengungsi bersama keluarganya ke tempat yang aman.

Saat ini di Rafah, Bara tinggal di sebuah bangunan yang hancur sebagian dan menampung 30 pengungsi lainnya. Setelah mengeluarkan mayat paman dan keponakan kecilnya dari bawah reruntuhan, dia benar-benar kehilangan harapan agar perang segera berakhir. Bagi Bara, kerabat dan temannya yang berjumlah 15 orang, biaya perjalanannya mencapai US$75.000 (Rp1,16 miliar). Ini hanya memperhitungkan biaya perjalanan dari Rafah ke Mesir, belum termasuk biaya untuk akomodasi sementara.

“Saya merasa tercekik dari dalam. Entah sampai kapan kondisi ini akan berlangsung. Mereka mengancam kita dengan invasi darat Israel di Rafah, dan mereka sudah membom kita dari langit. Kantor kami di Kota Gaza hancur, dan saya kehilangan pekerjaan dan sumber daya, sudah tidak punya mimpi lagi,” ucap Bara kepada The New Arab (TNA).

Seluruh penduduk saat ini bergantung pada bantuan kemanusiaan, namun hanya beberapa truk yang diizinkan melewati perbatasan Rafah. Pihak berwenang Israel telah menerapkan prosedur pemeriksaan yang secara sistematis menunda pengiriman bantuan tersebut. Jumlah pemukim Israel yang berusaha menghalangi truk menuju Jalur Gaza juga terus meningkat, dan warga Palestina ditembaki ketika mencoba mendapatkan bantuan.

“Adik saya dulunya berbisnis real estate, sekarang dia menjual sandal di jalan untuk membantu keluarga kami membeli sedikit makanan yang tersedia. Mereka tinggal di tenda di Rafah dan kelaparan di bawah serangan Israel. Saya tidak bisa meninggalkan mereka di sana,” kata Mahmod Algharabli (31) seorang peneliti Palestina-Amerika yang pindah dari Gaza ke Amerika Serikat pada 2017.

Desember lalu, Mahmod melakukan penerbangan ke Mesir dengan harapan dapat mendorong otoritas perbatasan untuk mengevakuasi setidaknya ibunya, yang menderita kondisi medis kronis, namun ia tidak bisa. Dia kembali ke AS, menghubungi agen Mesir yang bekerja sebagai perantara dan meminta “biaya koordinasi” sebesar US$57.000 (Rp887 juta) untuk mengamankan tempat bagi ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan, dan anak-anak mereka, dalam daftar warga Palestina yang diizinkan untuk pergi.

Didukung oleh jaringan pertemanannya di luar negeri, Mahmod mengorganisir crowdfunding yang memungkinkan ibunya mencapai Mesir, sementara anggota keluarga lainnya masih menunggu di Rafah.

“Ini adalah proses yang panjang dan menantang, dan saya kehabisan waktu. Biaya harus dibayar tunai dan saya hanya dapat melakukannya melalui kontak pribadi di Kairo. Terakhir, saya mengambil pinjaman dari dealer mobil untuk memenuhi jumlah penuh yang dibutuhkan seluruh keluarga. Setelah pembayaran, Anda akan mendapatkan tanda terima di atas kertas dengan nama Anda dan tanggal Anda bisa mengungsi,” jelas Mahmod kepada The New Arab .

Menurut penyelidikan yang dilakukan oleh Pelaporan Kejahatan dan Korupsi Terorganisir (OCCRP), broker diyakini memiliki hubungan dengan bisnis yang dekat dengan badan intelijen Mesir. Agensi telah beroperasi dengan sistem ini selama bertahun-tahun, namun harga meroket setelah 7 Oktober, dan bisnis ini menghasilkan miliaran dolar.

Harga Bahan Pokok Melonjak Tak Terbeli

Kelangkaan pasokan yang berkepanjangan mengakibatkan kenaikan biaya yang dramatis untuk semua produk penting. Banyak warga Palestina terpaksa memobilisasi sumber daya melalui penggalangan dana untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok, seringkali bergantung pada kerabat mereka di luar negeri.

Data dari Biro Pusat Statistik Palestina melaporkan kenaikan harga pangan lebih dari 70 persen. Selain itu, rusaknya tempat kerja, sarana dan prasarana, semakin memperburuk kerawanan pangan. “Kami kehilangan segalanya, kami tidak punya rumah dan harta benda. Tepung melonjak dari 30 ILS (Rp124 ribu) menjadi 75 ILS (Rp327 ribu), satu kartun telur dari 15 ILS (Rp62 ribu) menjadi 100 ILS (Rp436 ribu), kami menggunakan seluruh tabungan kami untuk mendapatkan makanan,” kata Baraa, 24 tahun, seorang penulis dan lulusan pengembangan bisnis saat ini mengungsi di Rafah kepada TNA.

Karena tidak dapat diaksesnya sebagian besar platform crowdfunding online dari Gaza, Baraa’h menghubungi seorang teman di Eropa yang membantunya meluncurkan kampanye penggalangan dana untuk membangun kembali rumah keluarganya.

Apartemen mereka di Kota Gaza hancur pada hari-hari awal perang, dan dari sana mereka harus pindah terlebih dahulu ke Khan Younis, dan kemudian ke Rafah. Rumah masa kecilnya juga dibom pada tahun 2014, saat itu mereka tinggal mengungsi selama 3 tahun di Khan Younis sebelum kembali lagi ke Kota Gaza. 

Lebih dari 12.000 anak telah terbunuh dalam agresi Israel yang sedang berlangsung di Gaza. Dengan runtuhnya sebagian besar rumah sakit dan fasilitas kesehatan, setidaknya 1.000 anak di bawah umur diamputasi anggota tubuhnya tanpa anestesi dan obat-obatan yang tepat, sementara sekitar 17.000 anak masih menjadi yatim piatu.

Ketika Mesir terus berupaya mencapai kesepakatan gencatan senjata antara Hamas dan Israel. Mesir juga mempersiapkan zona penyangga perbatasan untuk potensi masuknya warga Palestina ke Semenanjung Sinai, seperti yang ditunjukkan oleh citra satelit terbaru di wilayah tersebut. Jika eksodus seperti itu terjadi, Israel mungkin akan bisa mencegah warga Palestina untuk kembali.

“2,3 juta warga Gaza adalah keturunan dari 750.000 warga Palestina yang terpaksa mengungsi dari rumah mereka selama Nakba tahun 1948. Kami tidak akan membiarkan hal ini terjadi lagi. Di sisi lain, dengan tingkat kehancuran seperti ini, sulit membayangkan Gaza menjadi tempat yang penuh kehidupan seperti dulu,” Moataz menyimpulkan.

Back to top button