News

Ukraina Jadi Ajang Uji Coba Peperangan Berbasis Artificial Intelligence?

China telah melontarkan tuduhan bahwa perusahaan militer dan teknologi AS menuai keuntungan finansial dari konflik Rusia-Ukraina dengan mengeksploitasinya sebagai tempat uji coba untuk perang Artificial Intelligence (AI). Apa dasar tudingan itu?

Mengutip Erasian Times, Global Times (GT), outlet media yang didukung negara di China, pada 6 Juli 2023, menerbitkan sebuah laporan yang menunjukkan bahwa militer AS dan beberapa perusahaan teknologi Barat menjadikan konflik Rusia-Ukraina sebagai peluang ‘jalan pintas untuk mendapatkan keuntungan’ dan menjadi lingkungan pengujian yang sesuai untuk teknologi dan produk AI baru mereka.

Mengutip cerita Bloomberg baru-baru ini, laporan media China menyebut nama Blake Resnick, seorang pengusaha AS berusia 23 tahun. Artikel tersebut merinci bagaimana Resnick mengumpulkan kekayaan bersih melebihi US$100 juta melalui kombinasi donasi dan penjualan drone miliknya ke Ukraina.

Selain itu, laporan tersebut menyoroti beberapa contoh keterlibatan perusahaan AS dalam konflik Rusia-Ukraina, yang menunjukkan keinginan mereka untuk mendukung Ukraina dengan sistem AI yang disempurnakan.

Perusahaan-perusahaan Barat, terutama yang berspesialisasi dalam intelijen geospasial, telah memainkan peran yang “belum pernah terjadi sebelumnya” dalam mengubah citra satelit menjadi keuntungan intelijen dan pengawasan yang berharga, dengan perusahaan AS yang memimpin.

Misalnya, Palantir Technologies, Planet Labs, BlackSky Technology, dan Maxar Technologies telah menyediakan sistem berbasis AI untuk menganalisis tren konflik dan menghasilkan citra satelit. Palantir Technologies secara khusus memasok teknologi penargetan ke pasukan Ukraina, membantu efektivitas persenjataan mereka.

Keterlibatan ini dilaporkan terbukti sangat menguntungkan bagi perusahaan, dengan sahamnya mengalami lonjakan signifikan menyusul kunjungan CEO Alex Karp menghadap Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan pengumuman kemitraan antara Palantir dan pemerintah Ukraina.

Tuduhan yang dibuat oleh GT terhadap militer dan perusahaan Barat tidak terduga, mengingat reputasi outlet media tersebut dalam menyebarkan perspektif Partai Komunis China. Namun, jelas bahwa negara Ukraina yang dilanda perang telah menjadi tempat pengujian yang ideal untuk evaluasi teknologi dan sistem senjata baru.

Keterlibatan pabrikan dalam menerapkan sistem ini memungkinkan mereka menerima umpan balik yang berharga langsung dari tentara di lapangan. Putaran umpan balik ini berkontribusi pada penyempurnaan berulang dari sistem ini, memastikan bahwa mereka terus ditingkatkan berdasarkan pengalaman pertempuran dunia nyata.

Mengancam keamanan Ukraina?

Konflik Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung telah menyaksikan penyebaran berbagai senjata teknologi dan sistem pendukung AI, termasuk drone, kapal otonom, kendaraan tak berawak, serta sistem komunikasi dan intelijen geospasial.

Pakar China menegaskan bahwa dengan menerapkan beragam sistem yang dilengkapi AI, negara-negara Barat secara aktif menyempurnakan teknologi berkemampuan AI atau yang ditingkatkan untuk penerapan segera.

Wang Qiang, seorang pengamat militer China yang berbicara kepada GT, berpendapat bahwa dengan dalih “mendukung Ukraina”, entitas Barat ini mungkin mengekstraksi informasi dari area kritis seperti pertahanan nasional dan jaringan informasi. Wang memperingatkan bahwa aktivitas semacam itu dapat mengakibatkan kebocoran dan penyusupan data sensitif, yang menimbulkan ancaman signifikan bagi keamanan negara.

Masih menurut pakar China itu, menggunakan Ukraina sebagai tempat pengujian menawarkan Amerika Serikat spektrum peluang yang luas, mulai dari identifikasi target dan lokasi serangan garis depan hingga analisis ekstensif umpan balik sentimen populer untuk meningkatkan mobilisasi opini.

Dia lebih lanjut menuduh bahwa AS bahkan mungkin mempertimbangkan kemungkinan menggunakan Ukraina untuk berpotensi memecah belah Eropa. “AS telah menyerukan pembangunan apa yang disebut fasilitas jaringan infrastruktur informasi bersama, dan kemudian diberdayakan dengan teknologi canggih, terutama teknologi AI dan big data, kemampuan perang informasi NATO ditingkatkan, tetapi juga kemampuan AS untuk mengendalikan NATO,” tambahnya.

Laporan tersebut juga merujuk pada sebuah artikel yang ditulis bersama oleh pensiunan Mayor Jenderal AS Robin Fontes, yang menjabat sebagai wakil panglima operasi di Komando Siber Angkatan Darat. Artikel tersebut menunjukkan bahwa konflik Rusia-Ukraina berfungsi sebagai kemajuan signifikan menuju medan perang jaringan dan peperangan yang digerakkan oleh AI di masa depan.

Sebelumnya, EurAsian Times juga memaparkan potensi signifikansi AI di bidang logistik. AI memiliki kemampuan untuk menganalisis pola pemeliharaan, menyarankan strategi pemeliharaan preventif, mengoptimalkan rantai pasokan tempur, dan menawarkan panduan logistik secara real time.

Saat ini, pihak yang memanfaatkan peluang awal untuk menerapkan AI akan mendapatkan keuntungan dari pasar yang luas dan relatif belum dijelajahi. Potensi untuk memanfaatkan peluang ini memotivasi berbagai perusahaan swasta dan negara untuk mengejar dan memanfaatkan penerapan AI. Namun, ada kekhawatiran yang masuk akal terkait potensi konsekuensi negatif dari penggunaan teknologi yang tidak diatur di Ukraina.

“Pengembangan aplikasi kecerdasan buatan militer yang tidak terkendali dan berpotensi tergesa-gesa akan terus merusak hukum dan norma kemanusiaan internasional tentang perlindungan sipil,” menurut Scientific American, majalah sains yang berbasis di AS.

Sejauh mana AS dan negara-negara sekutunya mendapat manfaat dari penerapan sistem yang dilengkapi AI mungkin tidak sepenuhnya jelas. Namun, mereka dapat mengumpulkan informasi berharga untuk meningkatkan strategi dan senjata masa depan mereka.

Dengan memanfaatkan pengalaman dan wawasan yang diperoleh dari konflik tersebut, negara-negara tersebut dapat memperkuat posisi mereka dan meningkatkan kesiapan mereka terhadap potensi konflik di masa depan.

Back to top button