Kanal

Tangan-tangan yang Memasuki Air

Adegan penutup film ‘Muhammad: The Messenger of God’ (2015) yang disutradarai Majid Majidi dan ditulis oleh Kambuzia Partovi tak mungkin saya lupakan. Saat pertama kali menyaksikannya, saya melongo, terpukau oleh penggambaran yang begitu puitis tentang ajaran yang dibawa Muhammad SAW. Kalau bukan tentang Rasulullah, hampir saja saya mengumpat! Untunglah akhirnya shalawat yang mengalir dari bibir saya… dan diam-diam mata saya basah.

Kalau Anda belum pernah menontonnya, saya sarankan untuk segera menontonnya. Lupakan dulu segala kontroversi seputar film ini. Saksikanlah dengan hati yang terbuka. Bagi saya, semua tentang Muhammad adalah indah belaka. Apalagi yang dibuat oleh mereka yang mencintainya. Termasuk adegan terakhir film yang saya ceritakan itu. Saya akan coba menggambarkannya untuk Anda melalui kata-kata.

Majidi dan Partovi memvisualkan ajaran Nabi Muhammad seperti air yang jernih. Oase di tengah padang gurun tandus Arab. Air itu begitu jernih dan menyejukkan mata, riak-riak gelombang kecil memantulkan cahaya yang indah. Kemudian tangan-tangan memasuki air jernih itu. Tangan dengan berbagai warna kulit, bentuk, ukuran, jenis kelamin. Ada yang hitam, cokelat, putih, kemerahan. Besar-kecil. Lelaki-perempuan. Menggambarkan bahwa agama ini merangkul siapapun saja. Memberi kesejukan, perlindungan, kedamaian tanpa memandang suku dan ras.

Ide memakai aliran air yang dimasuki tangan-tangan ini sungguh brilian. Puitis sekaligus romantis. Diiringi musik yang pas, adegan ini menjadi penutup yang indah untuk menggambarkan sebuah agama perdamaian, agama kasih sayang, yang sepanjang sejarah peradaban kerap difitnah dan disalahpahami sebaliknya. Sungguh, Islam adalah berkat bagi seluruh alam.

Saya kembali mengingat adegan itu saat melihat kaki-kaki yang berderet di shaf-shaf Masjidil Haram. Orang-orang dari berbagai suku bangsa dan negara berdatangan ke Mekkah untuk menjawab panggilan iman. Betapa indah perbedaan yang bisa kita saksikan di sini. Warna kulit, tinggi badan, bentuk muka, warna rambut, semua memasuki Islam dengan identitas yang sama: Sebagai orang beriman.

“Assalamualaikum. Where are you come from, Brother?” tanya seorang pemuda di samping kiri saya, menanyakan dari mana saya berasal. Kulit pemuda itu hitam legam, ia berbahasa Inggris dengan fasih.

“Waalaikum salam. I’m from Indonesia,” jawab saya.

Pemuda itu menunjukkan wajah yang antusias. “Oh, Indonesia? Saya punya teman dari

Indonesia juga,” katanya.

“Oh ya?” tanya saya. “Where are you come from?”

Ia mengangguk. “I’m from Nigeria,” katanya. “But I live in the UK.”

Pantas bahasa Inggrisnya bagus. Rupanya ia tinggal di Newcastle, Inggris. Namanya Ahmad. Ini adalah perjalanan hajinya yang pertama. Ia antusias sekali menjalani semua ini.

352797345 805672144256119 4044885092252264837 N - inilah.com
Dok Pribadi

Setiap hari, saya selalu bertemu orang baru. Di masjid, di jalan, di bus, di pasar, di mana saja. Orang-orang dari berbagai negara yang berbeda. Saya berkenalan dengan orang Maroko, Aljazair, Mesir, Mali, India, Pakistan, Bangladesh, Iran, dan lainnya. Semua datang ke Mekkah karena satu hal: Iman. Semua ingin menjawab panggilan Nabi Ibrahim berabad lalu untuk memenuhi kewajiban berhaji.

Suatu ketika saya mengobrol dengan orang Aljazair. Dengan bahasa Arab yang pas-pasan yang sempat saya pelajari semasa di Madrasah dulu, ternyata kami bisa mengobrol dengan seru. Tak peduli tata bahasa, tak peduli salah ucap. Yang penting nyambung dan saling mengerti saja. Saat saya melemparkan sebuah ‘joke’ Bahasa Arab yang populer di pesantren, ia tertawa terpingkal-pingkal.

Saya bercerita tentang orang Indonesia yang bingung cara mematikan lampu di kamar hotel saat tiba di Mekkah. Saat petugas hotel datang ke kamar, ia meminta petugas itu mematikan lampu. Tapi ia tak tahu bagaimana menyampaikannya dalam bahasa Arab. Ia hanya tahu kata-kata dalam al-Quran. Dan ia ingat cahaya di al-Quran disebut ‘nur’. Lalu ia menunjuk ke arah lampu, sambil bilang, “An-Nur, Innalillahi wa inna ilaihi raji’un!”

Jika mengobrol dengan orang Iran atau India, atau mereka yang tak berbahasa Arab dan tak berbahasa Inggris, sekarang semuanya serba mudah dengan Google Translate. Tinggal nyalakan fitur voice translate, kita ngobrol dengan siapa saja. Asal sedikit bersabar. Berdiskusi dengan orang-orang dari berbagai negara ini seru. Perbedaan-perbedaan yang kita temukan ternyata membuat kita semakin mengerti bahwa agama Islam memang sekaya dan seindah itu.

Di Indonesia, banyak orang mengritik bahwa Islam itu monoton dan tak suka perbedaan. Sampai-sampai harus diperkenalkan dengan ide yang macam-macam tentang menerima perbedaan dan toleransi. Barangkali orang-orang itu belum pernah datang ke Masjidil Haram. Di sini segala perbedaan begitu niscaya. Islam adalah agama yang merangkul segala perbedaan. Saya kira tak ada agama yang seindah ini mempersatukan segala perbedaan.

Lihatlah peristiwa tawaf. Orang-orang dengan berbagai perbedaannya disatukan oleh dua lembar kain ihram yang sama, lalu berjalan melingkar dalam arus yang sama. Lihatlah sa’i, manusia dari berbagai penjuru dunia

mengalir sepanjang Shafa dan Marwa. Lalu saat azan berkumandang, semua melingkari Ka’bah. Dari lingkaran terkecil di dekat Ka’bah, terus membesar, terus membesar, membentuk shaf-shaf yang diisi orang dengan berbagai latar belakang, pakaian yang berbeda-beda, ekspresi yang berbeda-beda… Bayangkan shaf-shaf itu tak terputus, sampai jauh ke seluruh penjuru dunia.

Jika Anda di sini, Anda tak punya waktu lagi untuk membahas perbedaan mazhab. Apakah Anda Syafi’i, Hanafi, Hambali, atau Maliki. Apalagi cuma NU dan Muhammadiyah. Bahkan Anda tak peduli lagi tentang Sunni atau Syiah. Di Masjidil Haram, semua hal tentang perdebatan yang ‘furu’iyyah’ seolah hilang. Semua yang biasa kita persoalkan di tanah air, seolah lebur di depan Ka’bah. Laki-laki dan perempuan bisa tawaf bersamaan, bersentuhan kulit tak membatalkan wudhu, saat shalat perempuan bisa di depan dan laki-laki di belakang. Semua indah belaka di pusat kiblat dunia.

Ternyata, inilah kenikmatan paling indah di dunia. Nikmat luar biasa yang kita miliki. Nikmatnya iman. Kita semua dipertemukan karena iman, berada di tempat yang sama karena iman, bersujud, bertawaf, bersa’i, dan melakukan segala hal di sini karena iman belaka. Yang lain-lain menjadi tidak penting lagi.

Di Masjidil Haram, saya melihat adegan tangan-tangan memasuki air. Bukan lagi metafora. Tapi sungguh-sungguh nyata. Tangan-tangan itu memasuki air saat berbagi air zamzam. Atau saat berbaris berwudhu menjelang shalat. Indah dan puitis. Dalam hati, tiba-tiba kalimat ini menjadi kuat: ‘Rodihtu billahi rabba, wabil Islami diina, wabi Muhammadin nabiyya wa rasula’. Aku telah ridha bahwa Allah adalah Tuhanku, Islam agamaku, dan Muhammad Nabi dan Rasulku.

Mekkah, Jumat 5 Dzulhijjah 1444H

FAHD PAHDEPIE

Back to top button