News

Indeks Perilaku Antirasuah Naik tapi Indonesia Masih Rawan Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis capaian kerjanya di tahun 2022 dan rencana prioritasnya di tahun ini. Kepala Pusat Perencanaan Strategis Pemberantasan Korupsi (PPSPK) Muhamad Suryanto, mengungkapkan terjadi kenaikan angka Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK), namun di sisi lain Indonesia masih terbilang rawan korupsi.

Suryanto menjelaskan lembaga antirasuah telah dimandatkan untuk meningkatkan perilaku antikorupsi, baik di tingkat negara, pelaku usaha atau perseorangan dari kalangan masyarakat.

“Melalui upaya memberikan sosialisasi, baik kepada pimpinan, lalu pendidikan antikorupsi terhadap penyelenggara negara, lalu juga memberikan ke sekolah dalam rangka memperkenalkan masyarakat supaya membangun budaya antikorupsi,” jelasnya saat diskusi media KPK di Jakarta, Kamis (2/3/2023).

Ia mengatakan, dari data di tahun 2020 hingga 2022, IPAK naik secara signifikan. Suryanto menuturkan, pada tahun 2020 IPAK KPK berada di posisi 3,34, kemudian naik menjadi 3,88 di tahun 2021 dan naik lagi di tahun 2022 menjadi 3,93.

Kenaikan ini, sambung dia, menunjukkan bahwa tingkat permisif masyarakat terhadap perilaku korupsi menurun, Artinya masyarakat mulai turut serta dalam mencegah tindak korupsi. “Ini cara membaca indeksnya ini dinilai dari 0-5 jadi makin besar menuju 5, berarti masyarakat kita anti korupsi,” tambahnya.

Meski angka IPAK naik, namun Suryanto mengingatkan bahwa capaian kinerja KPK sepanjang tahun 2022 masih memerlukan perbaikan dan peningkatan. Pasalnya, Indonesia masih termasuk rawan korupsi.

Hasil survei penilaian integritas pada tahun 2022 menyatakan tingkat kerawanan korupsi di tanah air berada di angka 71,9 persen. “Indonesia masih di angka 71,9 persen, Jadi masih rentan korupsi. Ini yang menjadi tugas KPK dalam memperbaiki sistem,” tuturnya.

Suryanto menilai, hasil survei ini menunjukkan responden melihat masih adanya suap dan gratifikasi di kementerian atau lembaga negara. Tidak hanya itu, terindikasi juga bahwa masih terjadi praktik perdagangan pengaruh di dalam instansi.

“Lalu juga responden melihat ada penyalahgunaan fasilitas kantor, benturan kepentingan dalam pengelolaan SDM, pemberian uang atau fasilitas barang dalam promosi dan juga penyalahgunaan anggaran perjalanan dinas,” tutup Suryanto.

Back to top button