Kanal

Rapor Merah di Ujung Kuasa


Hukum itu seperti jaring laba-laba yang mungkin menangkap lalat-lalat kecil, 

tapi membiarkan tawon menerobos.

– Jonathan Swift- 

Sejatinya hukum dimaknai sebagai sebuah aturan dalam perundang-undangan. Hukum dibuat bukanlah untuk menjaga kepentingan politik kekuasaan dan atau kepentingan politik penguasa. Akan tetapi, hukum dibentuk oleh lembaga yang dipercaya rakyat untuk kepentingan ketertiban yang berkeadilan. Doktrin yang mengajarkan “perkataan raja (penguasa) adalah hukum” atau sejenisnya dalam kehidupan negara demokrasi konstitusional (seperti yang dianut di Indonesia saat ini) tidak dapat diaminkan.

Namun tidak demikian dengan yang dirasakan masyarakat belakangan ini. Hukum bukan lagi sebagai sarana untuk menciptakan keteraturan dalam masyarakat, namun hukum di pergunakan sebagai sarana kekuasaan.

Praktek-praktek kecurangan di ujung kuasa pemerintahan Presiden Joko Widodo mulai dibuka satu persatu. Nyanyian sumbang soal kegagalan Jokowi menahkodai penegakan hukum di Indonesia mulai disuarakan banyak tokoh. Bahkan koleganya di PDIP yang juga kini menjadi calon presiden, Ganjar Pranowo sempat memberi nilai 5 untuk penegakan hukum di era Jokowi.

Banyak faktor yang dinilai Ganjar membuat penegakan hukum di Indonesia jeblok. Meski tak menyebut secara spesifik kasus mana yang kemudian membuat Jokowi mendapat rapor merah, namun Ganjar merasa saat ini, intervensi hingga rekayasa telanjang dilakukan oleh para pemangku kebijakan.

Guru Besar Hukum Universitas Brawijaya Muchamad Ali Safa’at mewajari penilaian itu, sebab menurutnya, memang dalam pemerintahan Jokowi, penegakan hukum tidalah menjadi prioritas. Jokowi, menurut Muchmad Ali, lebih berorientasi pada proyek-proyek infrastruktur dan proyek strategis fisik. 

“Penegakan hukum dibiarkan jalan sendiri,” ujar Muchamad Ali kepada inilah.com.

Somasi dan Petisi 100 Untuk Jokowi

Politis? Memang. Namun yang jelas pernyataan Ganjar itu, kini menjadi pemantik akan ‘nyanyian’ sumbang lain terhadap Jokowi. Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo, Mantan Menteri ESDM Sudirman Said, hingga mantan Menteri Agama Fachrul Rozi ikut berdendang tentang kebobrokan penegakan hukum saat ini. 

Keganjilan ini yang kemudian mendorong rakyat, khususnya para kalangan masyarakat sipil melakukan gerakan untuk mengkritisi gaya kepemimpinan Jokowi. Ini yang kemudian diakui oleh Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus ketika berbincang dengan inilah.com.

Menurut Petrus, penegakan hukum kini mengalami nasib paling sial.”Polri lemah, Kejaksaan dan KPK lemah, sementara mafia peradilan merajalela,”. Seluruh instrumen mafia pun disebutnya menguasai setiap sendi masyarakat.

“Isu yang berkembang saat ini bisa melahirkan krisis kepercayaan publik yang meluas dan akan mengkristal menjadi social movement yang menuju pada suatu kekuatan massa besar dan berpotensi menjatuhkan Jokowi dan itu sangat mungkin terjadi,” kata Petrus.

post-cover
Sejumlah advokat yang tergabung dalam Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Perekat Nusantara usai melayangkan somasi kepada Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Sekretariat Negara , Jakarta pada Rabu (6/12/2023). (Foto:korantmr)

Salah satu bentuknya, TPDI bersama dengan Perekat Nusantara baru saja melayangkan somasi kepada Presiden Jokowi. Somasi disampaikan karena banyak peristiwa dan fakta yang muncul pasca-putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 Tahun 2023. Putusan ini menurut Petrus telah memperlihatkan bagaimana nepotisme kini telah naik pangkat. Bila sebelumnya praktek haram ini kerap terjadi di tataran pemerintah daerah, kini ia (nepotisme) sudah masuk istana dan Mahkamah Konstitusi (MK). 

Sebab lewat putusan ini, putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dapat melenggang menjadi peserta Pilpres 2024 nanti.

Ada enam poin yang kemudian disertakan dalam somasi ini. Diharapkan dengan somasi ini, Presiden segera berbenah untuk mengakhiri anomali yang terjadi di dalam pemerintahan, dengan cara menormalisasi kehidupan politik dan hukum.

Pertama adalah mengembalikan aparatur negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, Mahkamah Konstitusi, dan lainnya pada fungsi sesungguhnya serta mengembalikan netralitas aparatur negara sesuai undang-undang.

Kedua, hentikan segala bentuk intimidasi dan penekanan oleh aparat penegak hukum terhadap tokoh-tokoh yang melakukan aktivitas politik dan budaya.  

Ketiga, hentikan segala bentuk nepotisme.

Keempat, membenahi Komisi Pemberantasan Korupsi dan segera mengembalikan kedigdayaannya sesuai cita-cita reformasi. 

Kelima, menghentikan praktik penyalahgunaan wewenang dalam segala bentuk, terutama yang bersumber dari dinasti politik dan nepotisme.

Keenam, menghentikan praktik politik menyandera tokoh politik tertentu yang sedang bermasalah hukum untuk melanggengkan dinasti dan nepotisme dalam Pilpres 2024.

”Jadi, kami ingatkan, melalui somasi ini, supaya Presiden segera berbenah, memperbaiki, menormalisasi kehidupan politik di Tanah Air,” kata Petrus.

Bukan cuma TPDI, gerakan yang sama juga ditunjukan oleh sejumlah tokoh yang tergabung dalam Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat. Tak main-main, mereka mendesak DPR dan MPR segera memakzulkan Presiden Jokowi.

Tuntutan itu buntut dugaan pelanggaran konstitusional Jokowi, antara lain nepotisme dalam Mahkamah Konstitusi, atau MK dan intervensi dalam proses penegakan hukum di KPK. Poin terakhir, berkaitan dengan testimoni Agus Rahardjo. 

“Dari pengakuan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo, secara terang benderang jelas adanya keterlibatan Presiden Jokowi melakukan intervensi terhadap keputusan KPK, sehingga kemudian merivisi UU KPK untuk memperlemah KPK dengan diadakannya SP3 dan menjadikan lembaga rasuah berada dibawah Presiden, pegawainya menjadi ASN,” tulis keterangan pers Petisi 100 dikutip Inilah.com.

Sejumlah tokoh yang terlibat Petisi 100 ini adalah Jederal TNI Purn. Tyasno Sudarto, Mantan KASAD, Prof. Dr. H. Amien Rais, MA, mantan Ketua MPR, Prof. Dr. Zainal Arifin Mochtar, Guru Besar UGM, Dr. M. Taufiq, Dosen UNS, KH Syukri Fadholi, Ketua FUI DIY, Gielbran M. Noor, Ketua BEM UGM, M. Rizal Fadillah serta Dr. Marwan Batubara.

Soal testimoni Agus, pakar hukum tata negara, Refly Harun ketika berbincang dengan inilah.com menilai harus ditanggapi dengan serius, tidak bisa cuma dianggap sebagai tudingan yang kemudian dijawab dengan bantahan. 

post-cover
Presiden Joko Widodo (Foto: Youtube Setpres)

Jokowi diketahui membantah pernyataan Agus Rahardjo soal adanya intervensi dalam penanganan kasus E-KTP yang melibatkan eks Ketua DPR RI, Setya Novanto pada 2017 lalu. Jokowi mengatakan, ada hal yang mendasari mengapa tuduhan intervensi itu salah, yakni proses penegakan hukum terhadap Setya Novanto telah inkrah.

Menurut Refly, sekalipun Agus Rahardjo berkata bohong, itu harus melalui mekanisme yang sesuai dengan aturan hukum. Dalam pengertiannya, tidak hanya saling membantah di media massa. 

Pendapat yang sama juga diutarakan pakar hukum Margarito Kamis. Menurutnya tudingan yang disampaikan Agus harus cepat dibuktikan kebenarannya. Sebab bila tidak dibuktikan, pernyataan Agus tak sekedar gimik politik jelang pilpres 2024.

“Bunga-bunga aja dalam situasi politik yang lagi asik-asik ini,” kata Margarito kepada inilah.com.

Sementara Guru Besar Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Muhammad Fauzan, mengatakan, penilaian terhadap proses penegakan hukum di era Jokowi tidaklah bisa disimpulkan hanya dengan satu atau dua kasus saja. 

Menurutnya, bila melihat hanya di ujung saja, khususnya terkait keputusan MK, maka itu menjadi sesuatu yang negatif. Sebaliknya, ada pula proses penegakan hukum yang kemudian membanggakan di era Jokowi. Salah satu yang Fauzan contohkan, yakni kasus Fredy Sambo dan beberapa kasus yang melibatkan Menteri. Jokowi, dikatakan dia, juga memiliki andil dalam proses itu.

“Saya pikir melihatnya harus secara komprehensif.  Jangan parsial. Jangan sampai kita menilai itu tidak objektif karena satu kasus,” kata Fauzan kepada inilah.com

Lantas bagaimana dengan intervensi yang sama dilakukan Presiden ketika menghentikan proses hukum yang melibatkan para pimpinan KPK, misalnya kasus Chandra Hamzah, Bibit Samad Riyanto, Abraham Samad (AS) hingga Bambang Widjojanto (BW)?

Ini yang kemudian menjadi pertanyaan baginya.” Sekarang juga kita tidak tahu kabarnya,” kata Fauzan.

(Nebby/Rizki)

 

 

 

Back to top button