Market

Pensiun Dini PLTU Batu bara, Sri Mulyani: Keuangan PLN dalam Ancaman

Upaya pensiun dini PLTU batu bara, bukan perkara mudah untuk PT PLN (Persero). Perlu modal besar dan perencanaan yang cermat. Kalau dibiayai utang, saat ini bunganya sangat tinggi. Selain itu, cukup sulit mencari dananya.

Bukan dalam rangka membela PLN, Menteri Keuangan (Menkeu) mencoba blak-blakan terkait rencana pensiun dini sejumlah PLTUI batu bara. Langkah ini, tujuannya bagus. Untuk mengurangi emisi karbon yang banyak dikeluarkan PLTU batu bara yang sudah tua. Tapi ya itu tadi, perlo modal super jumbo dan perencanaan matang.

Saat paparan di acara Indonesia Sustainability Forum 2023 di Jakarta, Kamis (7/9/2023), Sri Mulyani menyebut PLN berada di situasi dilematis. Program pensiun dini PLTU batu bara memang sudah masuk program dari pemerintah. Saat ini, tengah dilakukan identifikasi PLTU batu bara mana yang kena giliran pensiun dini. “Ini sangat berimbas kepada neraca keuangan PLN. Karena, jika PLTU dipensiunkan, maka hal itu menjadi aset yang terbengkalai dan memengaruhi ekuitasnya,” jelas Sri Mulyani.

Di sisi lain, kata dia, PLN perlu bertransisi dari PLTU ke pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT). Sehingga PLN membutuhkan belanja modal atau capital expendecture (capex) dengan tingkat suku bunga saat ini, sangat tinggi.

“Ini adalah isu yang benar-benar kita perhatikan, tidak hanya membicarakan uang triliunan dolar AS, tapi kita juga membicarakan pensiun PLTU di Cirebon-1 contohnya dengan kapasitas 660 MW butuh 7 tahun mengurangi 4,4 juta ton CO2,” tambah Sri Mulyani.

Sebut saja pensiunkan dini untuk PLTU Cirebon-1, perlu pendanaan sekitar US$330 juta, atau hampir Rp5 triliun dengan asumsi krus Rp15.000/US$. Dana itu bisa didapat dari ekuitas PLN dan pinjaman. “Di saat suku bunga naik seperti saat ini siapa yang mau bayar?,” kata Sri Mulyani.

Saat ini, kata mantan Direktur Pelaksana World Bank ini, banyak pembiayaan hingga triliunan dolar AS yang ditangguhkan untuk pembiayaan program pensiun PLTU dengan alasan environmental, social, and corporate governance (ESG). Di Indonesia, untuk mengurangi emisi CO2 hingga 42 persen, minimal perlu dana US$200 miliar. Atau setara Rp3.000 triliun. Waduh.

“Sementara APBN hanya bisa berkontribusi tidak kurang dari 30 persennya, untuk itu pemerintah membuat alternatif pembiayaan lain seperti green sukuk, green bond,dan juga menciptakan blended finance,” tukas dia.
 

Back to top button