Market

Stafsus Menkeu-Netizen Debat Soal Bocoran Negara “Bokek”

Sejak akhir pekan kemarin, di jagat twitter terjadi adu argumen antara netizen dengan Staf Khusus Menteri Keuangan, Sri Mulyani, Yustinus Prastowo. Perdebatannya soal alasan pemerintah menghapus mandatory spending untuk anggaran kesehatan sebesar minimal 5 persen dari APBN.

Perdebatan diawal dengan cuitan Yuki Prisma Anastasa melalui akun @MarphoMenelausX. “Nih gue kasih bocoran. Negara kita itu TIDAK PUNYA UANG. Ada alasan kenapa Tukin PNS tidak naik, mandatory spending dihapus, menyerahkan semua guru dan nakes ke mekanisme pasar. ITU KARENA TIDAK ADA UANG,” katanya yang diunggah pada Jumat (22/6/2023).

Menurut akun tersebut, alokasi anggaran untuk belanja wajib itu dialihkan ke proyek-proyek infrastruktur besar, yang dia nilai tidak penting. Selain jalan tol, juga Ibu Kota Negara (IKN) dan kereta cepat.

“Uangnya lari untuk spending yang tidak penting. IKN-KC. Mereka dulu anggap tol itu bisa rangsang kenaikan pertumbuhan daerah, tapi nyatanya ya tol sepi. di weekdays tol itu super sepi kalau di lebaran doang rame. Pada akhirnya jadi beban negara,” tulis dia lagi.

Pada hari Sabtu (23/6/2023) baru Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani, Yustinus Prastowo, mengunggah bantahan tudingan penghapusan mandatory spending yang akan dilakukan untuk APBN, lantaran Indonesia tak memiliki uang alias bokek.

“Negara bokek nggak punya uang? Keliru! Saya jawab tuduhan ini dengan data dan fakta. Saya akan bahas tuntas konsep mandatory spending di kebijakan penganggaran yang kita anut,” tulis Prastowo dalam cuitannya di akun twitter pribadinya, @prastow.

Cuitan pun bertambah ramai karena banyak nitizen yang memberikan komentar. Perdebatan terfokus pada pemahaman mandatory spending dapat melebihi 5 persen.

“Dapat melebihi 5%. dapat kurang dari 5%, yang pasti harus ada proses rebutan anggaran dgn bidang lain (halo subsidi mobil ijo). kalau mau pemerintah mau disebut mendukung kesehatan ya harusnya provide konsep baru + mandatory, bukan ngapus mandatorynya,” tulis nocommie dalam akunnya @bhumimanusia1.

Demikian juga cuitan Maulana Azzuri merespon Prastowo. “Malah dapat melebihi 5%” ini kan baru asumsi ya Mas? Untuk memastikan asumsi itu tepat, mengapa justru hrs menghapus syarat minimal 5%? Premisnya jd tdk nyambung. Justru syarat 5% di UU ini yg jd jaminan atas asumsi “malah dapat melebihi 5%” ini betul2 terjadi.”

“Jk konsep barunya spy lbh tepat sasaran/tepat guna mk patut diapresiasi langkah ini. Namun tolong Pak @prastow sampaikan kpd Bu Sri Mulyani dan Bapak2/Ibu2 Yang Terhormat di @DPR_RI spy nasib teman2 honorer GURU dan NAKES dan standar pengupahannya utk segera dicarikan solusinya,” balas Frans Elius.

Prastowo pun menjelaskan, mandatory spending adalah belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang. Tujuan mandatory spending adalah memberi kepastian alokasi anggaran untuk mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah.

Apalagi dalam kebijakan fiskal Indonesia, lanjut Prastowo, besaran mandatory spending diatur sebesar 20 persen dari APBN/APBD untuk pendidikan yang merujuk pada Pasal 31 ayat 4 UUD 1945. Sementara 5 persen dari APBN di luar gaji untuk kesehatan diatur dalam UU Nomor 36 tahun 2009.

“Pada pelaksanaan APBN TA 2022, meskipun Pemerintah melakukan realokasi anggaran serta melakukan perubahan rincian APBN melalui Perpres 98/2022, Pemerintah tetap berkomitmen untuk menjaga alokasi mandatory spending sesuai amanat UU,” tulis Prastowo.

Dengan mengacu pada aturan tersebut, pada APBN 2022 anggaran pendidikan dialokasikan sebesar Rp621,28 triliun. Sementara untuk anggaran kesehatan dialokasikan sebesar Rp255,39 triliun.

Berdasarkan laporan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) 2022 yang baru dirilis, menyebutkan bahwa realisasi anggaran pendidikan TA 2022 sebesar Rp480,26 triliun atau 77,30 persen dari yang dianggarkan. Sementara, anggaran kesehatan sebesar Rp188,12 triliun atau terealisasi 73,66 persen.

“Dengan demikian, melihat komitmen pemerintah selama ini dalam memenuhi mandatory spending demi melaksanakan amanat UU, prematur untuk menyebut pemerintah menghapus mandatory spending, apalagi karena bokek,” ujar Prastowo.

Prastowo menekankan semangat pemerintah untuk mempertajam dan memastikan agar terjamin kesinambungan pendanaan melalui Rencana Induk Kesehatan (RIK). Dengan konsep baru itu, ia mengatakan alokasi anggaran kesehatan justru melebihi 5 persen APBN sebagaimana mandatory spending saat ini.

Back to top button