News

Sistem Proporsional Terbuka Bantu Politikus Perempuan Raih Kursi DPR

Gugatan judicial review sistem proporsional terbuka ke Mahkamah Konsititusi (MK) masih disorot. Kali ini dari kalangan politikus perempuan, yang menyebut sistem pencoblosan terbuka masih sangat relevan diterapkan pada Pemilu 2024.

Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Intan Fauzi mengatakan, kembali diberlakukannya sistem proporsional tertutup pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024, menghambat langkah calon anggota legislatif (caleg) perempuan dalam kontestasi.

Mungkin anda suka

Ia menegaskan sistem proporsional terbuka yang sudah berjalan, telah memenuhi prinsip kesetaraan bagi politikus perempuan. Artinya semua kader memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih, baik pria atau wanita.

“Berkaca pada pemilu sistem proporsional tertutup, caleg perempuan seringkali ditempatkan di nomor urut buntut, setelah petahana legislator, pengurus harian partai, dan kalangan elit partai,” ucapnya dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (2/1/2023).

Dia menilai caleg yang takut dengan pemilu sistem proporsional terbuka hanyalah pihak-pihak yang khawatir tak cukup sanggup menarik hati rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

Intan optimistis sistem proporsional terbuka murni, keterwakilan perempuan di parlemen 30 persen niscaya terwujud dan ia bangga karena hasil pemilu merupakan pilihan rakyat, bukan semata pilihan partai.

“Dengan sistem proporsional terbuka, semua caleg diberi panggung yang sama untuk berkompetisi. Tidak ada privilege bagi caleg. Semua bisa bertarung bebas. Dan saya akui, sistem proporsional terbuka ini membantu para kader perempuan meraih kursi di DPR,” tutupnya.

Diketahui, enam kader partai politik telah melayangkan gugatan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait sistem proporsional tertutup dalam perhelatan Pemilu Legislatif 2024.

Mereka menilai sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini bertentangan dengan UUD 1945, yakni pasal 1 ayat 1, pasal 18 ayat 3, pasal 18 ayat 1, pasal 22E ayat 3, dan pasal 28 D ayat 1.

“Menyatakan frase ‘terbuka’ pada pasal 168 ayat 2 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar pihak pemohon sebagaimana dilansir dari website Mahkamah Konstitusi.

Back to top button