Kanal

Singgasana PSI dan Kaesang: Juragan Pisang untuk “Republik Pisang”

Sadar tidak mungkin bisa membangun dinasti politik di PDIP, Jokowi  bertualang ke partai lain sebagai pilihan logis. Pilihannya berkoalisi dengan Partai Gerindra dan PSI tak lain untuk memuluskan skenario kedinastian tersebut. Bila pada pilpres 2024 mendatang Prabowo dengan pasangannya menang, menurut Lukas, bisa jadi Presiden Prabowo akan menghibahi Jokowi menjadi ketua umum–atau ketua Dewan Pembina–Gerindra. “Gibran dan Bobby Nasution, kemudian juga bergabung ke Gerindra. Praktis Gerindra dan PSI menjadi cangkang politik bagi lahirnya Dinasti Jokowi,” tulis Lukas. 

Ada yang menarik dari Rakernas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mulai digelar Jumat (29/9) kemarin di JIExpo, Kemayoran, Jakarta. Selain dorongan kuat Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarnoputri, untuk tercapainya kedaulatan pangan Indonesia, juga adanya penutup pidato yang disebutnya sebagai pantun, meski rangkaian empat kalimat itu sama sekali tak punya rima.

“Jangan pernah gentar diterjang badai,”kata Megawati, memulai. “Karena apa pun. Karena apa? Badai pasti berlalu,”ujar Mega. 

Lupakanlah soal rima, karena ada yang jauh lebih menarik di sana. Mengapa Mega bicara soal badai, bahkan tentang kepungan dan manuver politik terhadap partainya, sementara di dua periode terakhir bukankah kepemimpinan nasional berada di tangan mereka? Karena itu bagi banyak kalangan, ‘’pantun’’ Mega di acara pembukaan Rakernas PDIP tersebut mengonfirmasi isu kian meruncingnya sengkarut antara PDIP (c.q. Megawati) dengan Presiden Joko Widodo, kader yang selalu disebut PDIP sebagai petugas partai itu. 

Soal dinginnya hubungan antara Megawati dengan Presiden Jokowi memang sudah santer sejak awal tahun ini. Diawali dengan penolakan PDIP terhadap kuatnya hembusan isu penambahan periode kepemimpinan Jokowi, dari versi usulan tiga periode, hingga penambahan waktu sebagai kompensasi berlangsungnya Pandemi COVID-19, yang diduga kuat ditiup-tiupkan para pendukung Presiden. Lalu isu penundaan Pemilu, hingga ‘rebutan’ Ganjar Pranowo sebagai calon presiden mendatang, yang terjadi di antara keduanya. Belakangan, seakan mempertegas semua sinyalemen publik tersebut, pekan lalu, Kaesang, putra kedua Presiden, diangkat Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai ketua umum, setelah hanya dua hari sebelumnya menyatakan masuk partai tersebut. 

Upper cut dari Jokowi? 

Mengapa PDIP seperti meradang dengan masuknya Kaesang ke PSI? Paling tidak, meski di antara petinggi PDIP sendiri masih terlihat perbedaan pandangan dalam menginterpretasi Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai, memang ada klausul di sana yang melarang keluarga inti kader PDIP berbeda partai. Dua politisi elit PDIP, Bambang Pachul dan Deddy Sitorus, misalnya, menanggapi langkah Kaesang bergabung dengan PSI itu dengan woles bin selow

“Suka-suka dia mau apa! Mau PSI mau PSSI, itu kan haknya dia, dong,”kata Deddy. Ia bahkan menyatakan respek melihat anak muda mau terjun ke dunia politik meski bukan lewat PDIP. “Kami apresiasi anak-anak muda yang mau masuk ke dalam politik. Itu (artinya) punya mimpi sendiri. Apalagi Kaesang sudah berumah tangga, jadi independen dari bapaknya,” kata Deddy.

post-cover
Putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) Kaesang Pangarep saat berpidato usai diangkat sebagai ketua umum PSI dalam acara Kopdarnas PSI di jakarta Theater, Jakarta Pusat, Senin malam (25/9/2023). (Foto: Inilah.com/Vonita Betalia)

Sementara tentu saja, yang terkesan meradang lebih banyak lagi. Salah satunya Ketua DPP PDIP, Djarot Saiful Hidayat. “Tidak boleh di dalam satu keluarga inti itu berbeda partai. Satu keluarga itu, misalkan, suami istri. Apalagi anak! Itu tidak boleh. Itu yang dilarang, keluarga inti,” kata Djarot di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Kamis (21/9/2023). Memang, kata Djarot, aturan itu tak berlaku bagi Kaesang yang sudah bukan lagi keluarga inti karena telah memiliki rumah tangganya sendiri. Namun, kata dia, itu akan menjadi catatan tersendiri. 

“Misalnya saya punya adik sudah berumah tangga, kemudian dia menjadi pengurus partai lain. Itu catatan bagi saya. Berarti saya tidak mampu untuk melakukan proses pendidikan politik, proses penyadaran, proses yang menyangkut persoalan pilihan politik kepada adik saya. Itu evaluasi bagi saya,” kata Djarot.

Meski merespons dengan kalem dan bertutur secara tertata, ia menilai langkah Kaesang itu terlalu terburu-buru. Dalam memilih kendaraan politik, kata pasangan Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 itu, harus dipikirkan secara matang. Perlu waktu untuk memahami ideologi dari partai yang akan dipilih. Yang paling penting dilihat, kata Djarot, apakah partai itu ke depan bisa menjadi partai yang sehat, atau justru hanya partai elektoral yang berbasis pencitraan. “Jangan grusa-grusu, jangan kesusu, pikirkan masak-masak. Kemudian dalami terlebih dahulu apa yang saya sampaikan,”kata dia. 

Aturan internal PDIP itu memang wajar dipertanyakan dalam kesesuaiannya dengan hak politik masing-masing individu dewasa seorang WNI. Namun di sisi lain, sebagai sebuah ‘pukulan’—kalau sebagai bapak yang memberi izin Kaesang, memang Jokowi memaksudkannya demikian—itu sebuah upper cut yang jitu. 

Paling tidak, dari guliran waktu, PDIP—Megawati dalam hal ini—tampaknya gamang untuk memberikan sanksi, sebagaimana yang biasa mereka lakukan bila ada anak atau istri kader yang menerabas dan masuk parpol lain. Misalnya yang PDIP lakukan Mei lalu, manakala istri Gubernur Maluku, Murad Ismail, Widya Pratiwi, yang semula juga kader PDIP, beralih ke Partai Amanat Nasional (PAN). Tidak hanya dipecat dari jabatannya sebagai ketua DPD PDIP Maluku, Murad juga didepak dari partai. Setidaknya, hingga tulisan ini dibuat (Sabtu,30 September) bahkan pemanggilan resmi kepada Jokowi untuk urusan ini pun belum dilayangkan DPP PDIP.

Sebenarnya, langkah Kaesang itu bukan pula tak bisa ditengarai sebelumnya. Mei lalu, di Depok bertebar baliho dan spanduk bergambar dan bertuliskan bahwa putra Jokowi itu akan maju sebagai wali Kota Depok periode mendatang. Baliho itu menyertakan simbol mawar merah PSI dan bertuliskan “PSI Menang, Walikota Kaesang”. Kontan, hal itu segera menjadi pembicaraan dan viral di dunia maya. 

Sebulan kemudian, 9 Juni 2023, giliran Kaesang merasa harus melakukan klarifikasi, dengan mengunggah video di akun YouTube pribadinya, @kaesang. Diberi tajuk “Klarifikasi. Saya Buka Suara”, video itu menyatakan dirinya sudah mendapat restu dari kedua orang tua, serta permintaan dukungan kepada warga agar hal itu jadi nyata. “Saya sudah mendapatkan izin dan restu dari keluarga saya. Insya Allah dengan ini saya siap untuk hadir menjadi Depok pertama. Mohon dukungannya. Merdeka!”ujar anak muda yang memulai langkahnya sebagai pengusaha sebagai pebisnis kuliner, “Sang Pisang” itu. 

Akhirnya, tak sampai sepekan kemudian Jokowi pun merasa perlu mengelarifikasi langkah anaknya itu. “Saya itu terbiasa ya… Terbiasa kalau yang namanya anak sudah berkeluarga, tanggung jawabnya ada sudah di mereka,”kata Jokowi di Kantor BPKP, Jakarta, Rabu (14/6/2023).

post-cover
Jokowi dan Kaesang (Foto: Dok. Kaesang via Youtube)

Saat itu pun PDIP sudah terlihat gerah. Merasa kecolongan oleh PSI, PDIP segera menyatakan pihaknya siap menjadi kendaraan politik Kaesang untuk mencalonkan diri sebagai wali Kota Depok. “Insya Allah, Mas Kaesang akan lewat PDIP,” kata Ketua DPP PDIP, Said Abdullah, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (13/6/2023). Ia menyayangkan Langkah maju Kaesang lewat  PSI, karena menurutnya akan melanggar aturan internal PDIP.  “Di peraturan partai, nomor 125 atau 126, intinya keluarga inti yang sedarah (tidak boleh berbeda partai),”ujar Said waktu itu.

Ibarat –maaf—buang angin, wacana itu tak membuat orang berdebat lama. Berita baru, kejadian baru dengan berbagai angle-nya terjadi dan membuat urusan itu lenyap dari layar ponsel warga. Sampai Rabu (20/9/2023), tatkala sebuah video yang diunggah di akun X/Twitter resmi PSI, @psi_idujug-ujug bicara tentang sosok bernama “Mawar”, yang mengaku tak memiliki pengalaman politik, namun hendak ulubiung di dalamnya. “Namaku Mawar. Saat ini aku sudah memantapkan hati untuk masuk ke politik. Aku memang belum punya pengalaman di politik. Namun aku punya tujuan yang besar untuk Indonesia lebih baik. Semoga jalan yang aku pilih adalah jalan yang benar,”ujar suara dalam seorang pria dalam video. Dari suaranya, orang segera menduga, si pria adalah Kaesang.  

Apalagi hal itu didukung pernyataan politisi Akbar Faiza, yang mencuit melalui akun @akbarfaizal68.  Akbar bilang, akan ada anggota keluarga Jokowi masuk ke PSI dan mendapat jabatan strategis. “Salah satu keluarga inti Presiden Jokowi berlabuh di PSI untuk posisi penting. Silakan berdebat gaes,” demikian Akbar mencuit pada Rabu (20/9/2023).

Lalu, sebagaimana biasa, Jokowi pun segera memberikan klarifikasi terkait langkah politik Kaesang, mendaftar dan langsung jadi ketua umum PSI.  Presiden mengakui putranya itu sempat meminta doa restu kepadanya. Sebagai orang tua, kata dia,  yang dapat dia berikan hanya restu, karena sekalipun dilarang, ia tahu anaknya tetap akan melakukan apa yang ia kehendaki.

“Ya biasa, di dalam keluarga minta doa restu. Karena saya bilang tidak pun, (dia) tetap akan jalan. Anak-anak saya seperti itu,”kata Presiden Jokowi, memberikan keterangan kepada awak media saat berada di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis (21/9/2023).

Penegasan Jokowi

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin, drama Kaesang itu dengan jelas mengonfirmasi kondisi hubungan Jokowi dengan Megawati-PDIP.  Langkah tersebut semacam penegasan sikap Jokowi. Jauh dari santai, menurut Ujang, kondisi politik saat ini membuat PDIP sebenarnya dalam posisi sedang marah. “Cuma (Mega-PDIP) tidak melampiaskannya dengan kemarahan. Mereka lampiaskan dengan diam,”kata Ujang. 

Kondisi yang tengah ‘tidak baik-baik saja’ itu, kata dia, terbentuk karena bagaimanapun Jokowi berani melanggar aturan internal soal satu partai satu keluarga. Walau memang, sudah ada bantahan dari PDIP sendiri bahwa kini ayah-anak itu tidak tergolong satu keluarga. 

Lebih jauh, Ujang melihat ada pertarungan politik yang hebat antara Jokowi dengan PDIP. “Saya melihat Jokowi kelihatannya ingin bermain sendiri, sebagai King Maker tanpa PDIP. Ingin jadi penentu kekuatan sendiri sebagai presiden,”kata Ujang. 

Peneliti dari Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro, meminta publik berpikir. Baginya, terlalu naif mengatakan bahwa keputusan Kaesang untuk bergabung dengan PSI itu tanpa restu dari Joko Widodo sebagai orang tua sekaligus mentor politik Kaesang. “Yang menjadi misteri saat ini adalah,  mengapa Joko Widodo tidak melarang Kaesang untuk bergabung dengan PSI, alih-alih menyarankan bergabung dengan PDIP yang notabene partai politik tempat orang tua dan kakak Kaesang merintis karier politik?”kata Bawono. 

Jawaban tersebut tampaknya datang dari analisis jurnalis senior dan pengamat politik, Lukas Luwarso. Dalam artikelnya yang beredar pekan lalu, “Politik Dinasti dan Partai Sepuh Indonesia”, mantan ketua umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) itu menyatakan, terjunnya Kaesang ke dunia politik, terutama masuknya ke PSI, menjelaskan bahwa Jokowi tengah berupaya menancapkan kaki untuk merintis politik dinasti. “Gibran (35 tahun), Bobby (32), dan Kaesang (29) adalah “the three musketeers” yang akan menjadi ujung pedang untuk mewujudkan dinasti politik Jokowi. Siap bertarung atau berkoalisi dengan dinasti politik lain yang sudah lebih dulu eksis,”tulis Lukas. 

Menurut Lukas, setelah kandas dengan manuver tiga periode dan mencoba menunda Pemilu, Jokowi melanjutkan petualangan politiknya dengan cawe-cawe. Ia berupaya menjadi mak comblang, memasangkan Ganjar-Prabowo, atau sebaliknya, sebagai the dream team capres-cawapres. Namun, kata Lukas, upaya itu tidak mudah. Vested interest untuk melanjutkan legasi kepemimpin dan ambisi membangun dinasti, menjadi faktor penghambat terwujudnya perjodohan politik itu. “Jokowi bersiasat untuk memperkuat posisi tawarnya vis a vis Megawati, dalam perjodohan politik yang komplikated itu,”tulis aktivis yang kini aktif sebagai sekretaris Dewan Pengurus Yayasan Pendidikan Multimedia Adinegoro itu. 

Menyodorkan Gibran menjadi cawapres Prabowo, dan memasang Kaesang menjadi ketua umum PSI, kata Lukas, jelas menambah kompleksitas persoalan.”Relasi politik antara Jokowi dengan Megawati semakin kikuk. Gelagat yang terlihat justru kuat terkesan ada persaingan di balik layar antara bakal dinasti Jokowi dengan established dinasti Megawati,”tulisnya. 

post-cover
Hasil Survei Voxpol soal politik dinasti di Indonesia. Terpilihnya Kaesang Pangarep jadi Ketum PSI menambah daftar panjang politik dinasti di Indonesia. (Foto:Inilah.com/Ho-Survei Voxpol).

Fenomena itu diamini Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consulting, Pangi Syarwi Chaniago. Bagi Pangi, masuk dan diangkatnya Kaesang sebagai ketua umum PSI, tak hanya bisa dimaknai sebagai bentuk keretakan relasi, melainkan juga pembangkangan nyata Presiden Jokowi terhadap Megawati dan PDIP. “Jokowi sepertinya mengkhawatirkan masa depan politiknya jika terus bertahan menyandang gelar “petugas partai”,”kata Pangi dalam sebuah pernyataan pers. “Sekelas SBY, mantan presiden yang punya saham terbesar di Partai Demokrat saja menjadi bulan-bulanan ketika tak lagi menjabat sebagai presiden,”kata pangi. Dengan begitu, kata dia, sekaligus Jokowi mengirimkan pesan dan ancaman yang sangat serius bagi PDIP, bahwa bukan tak mungkin ada gerbong besar pemilih dan relawan Jokowi yang beralih memilih PSI.

Bagi Lukas, sadar tidak mungkin bisa membangun dinasti politik di PDIP, Jokowi  bertualang ke partai lain sebagai pilihan logis. Pilihannya berkoalisi dengan Partai Gerindra dan PSI tak lain untuk memuluskan skenario kedinastian tersebut. Bila pada pilpres 2024 mendatang Prabowo dengan pasangannya menang, menurut Lukas bisa jadi Presiden Prabowo akan menghibahi Jokowi menjadi ketua umum–atau ketua Dewan Pembina- Gerindra. “Gibran dan Bobby Nasution, kemudian juga bergabung ke Gerindra. Praktis Gerindra dan PSI menjadi cangkang politik bagi lahirnya Dinasti Jokowi,”tulis Lukas.

Yang tampak membuat Lukas kecewa dalam tulisannya, perilaku parpol, politisi dan relawan parpol saat ini, menurut dia, sudah menunjukkan Indonesia kian menjadi “Banana Republic” alias Republik Pisang. Istilah yang diciptakan pada 1904 oleh penulis Amerika, O. Henry, itu secara politik menggambarkan negara yang tidak stabil secara politik dan ekonomi, dengan perekonomian yang bergantung pada ekspor sumber daya alam. Saat itu O. Henry menciptakan istilah tersebut untuk menggambarkan Honduras dan Kosta Rika di bawah eksploitasi ekonomi oleh perusahaan-perusahaan AS, seperti United Fruit Company. Biasanya, Banana Republic mempunyai masyarakat dengan kelas sosial yang sangat terstratifikasi, dengan kelas pekerja yang sangat miskin dan plutokrasi kelas penguasa—para elit bisnis, politik, dan militer. 

“Dan PSI secara harfiah sudah menjadi “Parpol Pisang”. Bukan kebetulan jika Kaesang yang kocak kini menjadi ketua umumnya, karena sebelumnya ia memang dikenal sebagai “juragan pisang”,”tulis Lukas, tajam. 

Bukan berarti semua mengaminkan pemikiran Lukas, tentu. Pengamat politik dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, menilai langkah Kaesang itu sebagai manuver Jokowi. “Saya melihat bergabungnya Kaesang ke PSI lebih banyak sebagai langkah politik dengan tujuan jangka panjang dirinya, yakni ingin tumbuh bersama PSI yang potensial membesar di masa depan,”kata Saidiman. Ia juga menolak tudingan bahwa Jokowi tengah membangun dinasti politik. Baginya, apa yang terjadi bukanlah politik dinasti. “Jokowi dan Kaesang berada di partai yang berbeda, bagaimana mungkin disebut dinasti? Dan semua pilihan politik itu diambil di ruang demokrasi,”kata dia. 

Partai ‘Sepuh’ Indonesia 

Lebih lanjut Lukas menegaskan, saat ini PSI tidak layak mengidentifikasi diri sebagai partai kaum muda. “Karena tidak lazim kaum muda cuma membebek dan memainkan skenario politik status quo. Perilaku PSI jelas bertentangan dengan etos politik-progresif kaum muda yang berorientasi perubahan. Cilaka bangsa ini, jika kaum muda berpikiran regresif dan involusi dalam berpolitik ala PSI,”tulis Lukas. Belakangan dalam artikelnya Lukas mengusulkan agar singkatan partai tersebut segera diubah.  

“Sebaiknya PSI ganti singkatan menjadi “Partai Sepuh Indonesia”. Karena walau mayoritas anggotanya muda usia, PSI terasa pini-sepuh, tua-renta, pemikiran dan perilaku politiknya.”

Sayang, baik PSI maupun Kaesang sendiri tak banyak bersuara soal tersebut. Tentang motivasinya terjun ke politik lewat partai yang seringkali mendaku diri sebagai partai anak mud aitu, Kaesang sempat memberi penjelasan. “Anak muda itu biasanya hanya dijadikan objek pasif,”kata dia, segera setelah menerima kartu tanda anggota (KTA) dari PSI, di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (23/9/2023) lalu. “Kami mau mereka menjadi objek yang aktif, karena bagaimanapun masa depan Indonesia itu untuk anak muda Indonesia.”

Lebih lanjut Kaesang mengatakan alasan dirinya bergabung dengan PSI tak lain juga karena kesamaan visi dan misi dengan partai berlambang mawar merah itu. “Saya dengan teman-teman PSI kan sudah cukup lama (berhubungan), termasuk komunikasi saya dengan Wamen (Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Raja Juli Antoni) dan Sis Grace (Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, Grace Natalie),”ujar dia. 

Meski sejatinya bermasalah, pengangkatan Kaesang sendiri relative tak menimbulkan riak di internal PSI. Padahal, penunjukan Kaesang sebagai ketua umum itu bisa dinilai menyalahi AD/ART PSI sendiri. Jelas termaktub di Pasal 18 AD/ART, bahwa salah satu syarat keanggotan dalam pengurus Dewan Pimpinan Pusat, adalah kader paripurna sesuai keputusan Dewan Pembina. Sementara penjelasan kader paripurna ada pada Pasal 13 tentang Jenjang Pengkaderan, yakni “anggota yang telah mengikuti kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Pusat”. Kita tahu, ibarat mengendarai buraq, perjalanan Kaesang menjadi ketua umun memang luar biasa: hanya dua hari. Tak ayal kalau Lukas Luwarso mengatakan hal itu layak masuk rekor Guinness Book of World Records. 

Bila merujuk pada Pasal 10 AD/ART, tentang Rekrutmen dan Keanggotaan, posisi Kaesang semestinya hanya kader biasa. Salah satu butir dalam Pasal 10 itu berbunyi, anggota biasa adalah individu yang mendapatkan kartu anggota, namun belum mengikuti pelatihan yang diselenggarakan partai.

Namun Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, Grace Natalie, menyatakan semua proses hingga terpilihnya Kaesang sebagai ketua umum itu tidak menyalahi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partainya. “Nggak menyalahi”kata Grace kepada Inilah.comRabu (27/9/2023). Menurut dia, PSI lebih mementingkan hasil akhir dibanding proses yang terjadi. 

Selain itu, menurut Grace, putra bungsu Presiden Jokowi itu pun punya kemampuan lain dalam memperoleh jabatan strategis. “(Dia) Kader super,”kata Grace saat kepada wartawan di Jakarta, pada hari yang sama. Merujuk cerita komik global, “Superman”, mungkin saja maksudnya adalah bahwa sang kader super itu hanya bisa dikalahkan mineral “Kriptonyte” dari planet asing, nun jauh di “galaksi far far away…”

Bagi Grace, AD/ART PSI bersifat fleksibel. Yang terpenting bagi partai adalah memiliki kader-kader yang antikorupsi dan antiintoleransi. Saat Inilah.com meminta kesediaan Kaesang untuk diwawancarai, usai rapat perdana Rabu itu, Grace Natalie mempersilakan kami untuk mengirimkan pertanyaan melalui dirinya atau Sekretaris Jenderal  PSI, Raja Juli Antoni. 

Persoalannya, setelah Inilah.com mengirimkan pertanyaan melalui surat resmi, Grace menyatakan bahwa Kaesang enggan untuk diwawancara, dengan alasan dirinya yang baru saja menjabat sebagai ketua umum. “Halo mbak. Sdh sy tanyakan. Mas ketum bilang dia mau kerja dulu. Masa belum kerja sudah di wwc, begitu mbak,”kata Grace dalam pesan tertulis yang kami terima, Jumat (29/9/2023). Di sini kami tulis apa adanya. Hanya minus symbol emoticon bersedekap saja. 

[dsy/diana rizki/vonita betalia/ rizki aslendra]

Back to top button