Kanal

Shalat Jenazah untuk Jiwa-jiwa yang Indah

“Asshalatu ‘alal amwāt!” Suara serak khas Imam Masjidil Haram menggema di seantero masjid, beberapa detik saja setelah salam penutup shalat Ashar. Ini adalah ajakan untuk menshalatkan jenazah mereka yang meninggal dunia di Al-Haram.

Serentak, seluruh jemaah pun berdiri. Hanya satu-dua saja yang memilih tak ikut shalat jenazah. Konon, ini adalah salah satu sedekah terbaik di Masjidil Haram: menshalatkan jenazah orang yang meninggal, sekalipun kita tak kenal.

Dulu, sekitar 8 tahun lalu, ketika pertama kali menginjakkan kaki dan berkesempatan shalat berjamaah di Masjidil Haram, saya bertanya-tanya, “Siapakah gerangan orang beruntung yang kematiannya dishalatkan ratusan ribu bahkan jutaan jemaah di Masjid paling mulia di muka bumi ini?” Waktu itu saya kira shalat jenazah ini dilakukan sekali-kali dan dikhususkan untuk orang-orang tertentu saja yang meninggal dunia—seperti di Indonesia.

Namun, ternyata saya keliru. Di Masjidil Haram, shalat jenazah dilakukan setiap waktu shalat. Lama-lama saya memahami bahwa yang dishalatkan adalah mereka yang meninggal di sekitar Masjidil Haram, di antara waktu-waktu shalat. Rupanya, jumlahnya banyak, bisa puluhan setiap harinya. Selain jemaah yang datang dari berbagai penjuru dunia, juga warga setempat yang wafat.

Di musim haji, jumlah orang yang meninggal berkali lipat. Selain karena volume orang yang datang naik pesat, suasana haji yang berat juga membuat banyak jemaah yang sakit dan lansia harus meregang nyawa. Saya ingat ketika hendak shalat Subuh, berjalan di koridor Masjidil Haram menuju King Saud Gate, saya pernah melihat seorang kakek tua tidur meringkuk—masih mengenakan kain ihram. Di sampingnya, seorang askar bediri dan tengah berbincang dengan rekannya melalui ‘handy-talky’. Ternyata, kakek itu sudah meninggal dunia.

Saat di Arafah, Muzdalifah, dan Mina, saya melihat jenazah lebih banyak lagi. Di pinggir jalan, ada saja orang yang meninggal. Beruntung jika mereka meninggal di tengah rombongan kawan atau karibnya. Sayangnya, banyak juga yang meninggal sendirian, kelaparan, dalam keadaan tersesat mencari jalan pulang. Biasanya, mereka adalah orang India, Pakistan, atau dari negara-negara Afrika. Banyak di antara mereka mengalami nasib yang malang.

Selama bertugas pada musim haji 2023 ini, di grup WhatsApp ada saja kabar duka. Jemaah yang sudah tua dan sakit, satu per satu gugur. “Di sektor 1 saja sudah puluhan orang yang meninggal,” kata seorang teman yang bertugas sebagai Petugas Kesehatan Haji. “Tahun ini banyak yang meninggal, karena banyak yang lansia,” sambungnya. Sampai saat ini, total sudah 304 orang jemaah haji Indonesia yang meninggal dunia.

357722154 811461257010541 3100748045906461653 N - inilah.com
Foto: Dok.Pri

Teman yang lain mengeluhkan terlalu longgarnya proses ‘screening’ kesehatan para jemaah haji lansia yang berangkat tahun ini. “Status ‘istito’ah’ mereka terlalu dipaksakan,” katanya. “Tapi mungkin dilematis juga, karena jemaahnya memaksa. Keluarganya memaksa. Sementara porsi haji sudah lunas. Usia sudah tua. Tak ada kesempatan lagi.”

Saya pernah mendengar perbincangan dua orang kakek di depan lift. “Abdi mah tos di tanah suci, mah ridho sagala-galana.” Setelah di tanah suci, saya sudah ridha terhadap segala hal yang terjadi, kata seorang di antara mereka. “Maot di dieu ge wios.” Meninggal juga, saya siap, sambungnya.

Memang, ada sebagian orang yang bercita-cita meninggal di tanah suci. Sambil berharap mendapatkan penutup yang baik dalam hidupnya, serta mendapatkan pahala yang tinggi karena meninggal saat berumrah atau berhaji. Keutamannya memang luar biasa, mulai dari diampuni dosa, masuk surga tanpa hisab, hingga kesempatan memberikan syafaat kepada keluarga. Tapi yang jelas, jangan menyengajakan mati atau mempersulit diri di tanah suci sehingga mengakibatkan kematian. Tipis pembedanya.

Pagi ini, saya membaca pesan di grup WhatsApp petugas dengan perasaan yang sedih. Seorang jemaah laki-laki meninggal dunia karena sakit dan kelelahan. Pak Kamali namanya. Lalu petugas yang mendampinginya mengirimkan foto terakhir Pak Kamali dalam adegan yang filmis sekaligus puitis: Istri Pak Kamali menatap jenazah suaminya yang sudah terbungkus kain kafan. Terlihat wajah Bu Kamali sangat sedih, tapi ikhlas. “Perpisahan terakhir, sebelum dishalatkan dan dimandikan,” tulis petugas itu.

358084100 811858876970779 5621551716545125367 N - inilah.com

Sejak membaca pesan itu, seharian ini saya bersedih. Langit Makkah juga entah mengapa terasa lebih murung dan sedih, tidak terlalu terik. Dalam perjalanan ke Masjidil Haram menjelang shalat Asar, di dekat Maulidurrasul, saya melihat beberapa jenazah sedang siap diberangkatkan menuju pemakaman Al Sharayea menggunakan mobil. Terlihat di sana beberapa orang Indonesia. “Ada jemaah Indonesia yang meninggal di masjid,” batin saya.

Entah apa rencana Allah hari ini untuk saya. Yang jelas, melihat adegan itu (yang unggah fotonya di posting ini), membuat saya makin bersedih. Saya berjalan ke arah masjid dengan lunglai. Hati saya serapuh kaca yang tipis.

Selepas shalat Asar, sesuai perintah imam untuk menshalatkan jenazah, saya langsung berdiri. Tegak. Lalu saya ikuti semua isyarat imam. Saya bacakan alfatihah terbaik. Shalawat terbaik. Doa terbaik. Sore itu saya tak sanggup menahan air mata. Di tengah shalat jenazah, saya menangis sambil merapalkan doa yang sederhana, “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa hambamu yang meninggal di tanah suciMu, maafkan kesalahan-kesalahannya, maafkan ketidaktahuan-ketidaktahuannya, tutupi aib-aibnya, balas semua amal baiknya berkali-kali lipat, ganti semua perjuangannya menjadi kebaikan untuk keluarga yang ditinggalkan.”

Baru kali ini saya menangis saat mendoakan orang-orang yang tidak saya kenal. Siapapun mereka, saya yakin mereka adalah jiwa-jiwa yang indah, yang nyawanya dijemput Izrail di tanah suci. Mereka mengakhiri hidupnya ketika tengah berhaji atau selesai melaksanakan haji. Mereka meninggal dalam keadaan beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, sesuatu yang mungkin kita belum tentu bisa mendapatkannya.

Selepas salam, saya kira semua sudah selesai. Tapi rupanya Mekkah sore ini memang sedang bersedih. Imam berteriak sekali lagi, “Asshalatu ‘alal amwāti rahimakumullah!” Shalat untuk orang-orang yang telah wafat, semoga Allah merahmati mereka. Mungkin itu suara Imam Baleela atau Al-Muaiqly. Lalu kami serentak berdiri lagi.

“Barangsiapa keluar untuk berhaji lalu meninggal dunia, maka dituliskan untuknya pahala haji hingga hari kiamat. Barangsiapa keluar untuk umrah lalu meninggal dunia, maka ditulis untuknya pahala umrah hingga hari kiamat. Dan barangsiapa keluar untuk berjihad lalu mati maka ditulis untuknya pahala jihad hingga hari kiamat.” (HR Abu Ya’la, lihat Shahih At Targhib 1114)

Sore ini, shalat janazah di Masjidil Haram dilakukan dua kali. “Siapa gerangan jiwa indah yang berpulang?” batin saya.

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.

Mekkah, 15 Zulhijjah 1444H

FAHD PAHDEPIE

Back to top button