News

Setelah Satu Dasa Warsa Pesta, Siapa Kebagian Bersih-bersih Nasib Bangsa?


//Presiden terpilih lewat Pilpres mendatang diyakini kebagian tugas berat membereskan sisa-sisa salah urus kepemimpinan terakhir. Atau kepalang basah meneruskan bangsa yang kian sempoyongan jauh dari kemandirian?//

Ini memang rada-rada masuk ke dalam kiasan peribahasa lama,”Orang lain makan cempedak, kita yang kena getahnya.” Jokowi dan orang-orang dekatnya yang berpesta, Presiden hasil Pilpres 2024 yang kebagian jadi ‘Upik Abu’, mencuci bersih piring-gelasnya.

Metafora yang tentu saja pahit. Tak hanya bagi Presiden Jokowi, melainkan juga buat rakyat Indonesia, andai selama hampir satu dasa warsa ini sebenarnya Indonesia tak mencetak prestasi kinerja apa pun. Bagaimana mungkin presiden yang sangat dicintai rakyat, dilihat dari taburan angka-angka approval rating (tingkat kepuasan publik) tinggi itu gagal memanfaatkan kepercayaan publik yang sedemikian fenomenal? Merujuk data Morning Consulat Political Intelligent Oktober lalu, approval rating Jokowi tertinggi di dunia, yakni 74,3 persen sebagaimana dicatat Litbang Kompas pada Agustus 2023, Lembaga Survei Indonesia (LSI) sebesar 81,9 persen (Juli) dan Indikator Politik Indonesia pada 79,2 persen (Juni).

Tetapi apa benar peribahasa itu mencerminkan kinerja Presiden Jokowi selama kepemimpinannya di dua periode ini? Apa benar tokoh yang sepanjang 10 tahunan rantang-runtung dengan citra tersemat di dada sebagai “orang baik” itu bisa saja bukan orang yang baik untuk Indonesia? Bukan “orang baik” karena kalau pun tak membuat Indonesia tergelincir jatuh, katakanlah ia tak membawa Indonesia beranjak dari sekian banyak kondisi buruk yang harus jauh-jauh kita tinggalkan? Misalnya tentu saja kemiskinan, meruyaknya pengangguran, diskriminasi, catatan buruk dalam berdemokrasi, kondisi ketenagakerjaan, dan sebagainya.

Bagi William ‘Bill’ Liddle, profesor emeritus Ilmu Politik Ohio State University, AS, Indonesianis yang puluhan tahun hidup di Indonesia dan menjadi guru banyak cendikiawan di sini, memang demikian adanya. Dalam sebuah artikelnya yang terbit di harian Kompas, Jumat (26/1) lalu, Bill seolah mewanti-wanti Presiden Jokowi. “Jangan Merusak Demokrasi”, tulisnya sebagai judul, meski tak memakai tanda pentung alias penanda seru.

Bagi Prof Liddle, masa kepemimpinan Jokowi justru menyeret balik (setback) Indonesia ke era-era kelam zaman Orde Baru. “Serentetan tindakan antidemokratis terus terjadi,” tulis Prof Liddle. Baginya, yang berlangsung di Indonesia hari-hari ini sama seperti gambaran beberapa pakar dalam buku “Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression?” buku terbitan ISEAS–Yusof Ishak Institute, Singapura, November 2020, yang disunting Thomas Power dan Eve Warburton itu. Intinya: setelah di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) pun jalan di tempat, di era pemerintahan Presiden Jokowi demokrasi di Indonesia justru mundur ke belakang.

Pada masa Jokowi ini, tulis Prof Liddle mengutip Power, “…persenjataan pelaksanaan hukum oleh eksekutif, sejak awal masa jabatan kedua Jokowi telah mencapai tingkat seburuk Orde Baru.”

Bagi kita warga negara Indonesia yang mengalami sendiri, tentu kita masing-masing telah khatam dengan sederet daftar panjang yang diungkap Sang Profesor ini: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dikebiri dari marwah dan legitimasi melalui pengubahan undang-undangnya; upaya pembajakan Partai Demokrat dengan aktor Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, kepala Staf Kepresidenan; pengambil-alihan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) oleh putranya, Kaesang; disinyalir memaksakan revisi Undang-undang Pemilu agar gubernur dan bupati/wali kota di sejumlah daerah bisa diturunkan sebelum masa jabatan mereka berakhir, diganti dengan pejabat yang diangkat pemerintah; kembalinya “Dwifungsi ABRI”  dengan kian banyaknya perwira TNI yang diberi tugas dalam pemerintahan sipil tanpa harus pensiun lebih dulu; revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang nyaris sia-sia karena masih saja memuat pasal-pasal bermasalah yang dikeluhkan warga.

Prof Liddle memisahkan tersendiri peristiwa 16 Oktober 2023, yang disebutnya paling berbahaya. “Mahkamah Konstitusi (MK), yang diketuai Anwar Usman, mengabulkan gugatan yang membuat Gibran Rakabuming Raka (36), anak sulung Jokowi, sah dicalonkan sebagai calon wakil presiden berpasangan dengan calon presiden dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto,”tulis Prof Liddle.

Mengapa berbahaya bagi kelangsungan demokrasi di Indonesia? “Meski nepotisme sebenarnya biasa dalam politik Indonesia, baik Megawati ataupun SBY tidak pernah mengguncangkan stabilitas negara lewat tindakan yang kemudian menimbulkan keraguan terhadap legitimasi lembaga-lembaga elektoral,” tulis dia.

Seorang pemimpin bisa saja melakukan tindakan tak elok “tinggal glanggang colong playu” tanpa ia sadari. Merasa masa kepemimpinan usai, ia pun melenggang kangkung meninggalkan tahta. Lupa, di belakang langkahnya ada sekian banyak kebijakan dan kerja dirinya yang barangkali masih akan merugikan lembaga, wilayah, rakyat atau malah bangsa, sekian waktu ke depan.

Kita tak berharap hal itu yang akan terjadi. Tetapi jangan pula menutup mata bahwa kondisi tersebut sangat berpotensi. Apalagi masih banyak catatan kusam kinerja negeri ini di tahun-tahun terakhir. Misalnya pada beberapa hal berikut.

Di sisi catatan kemiskinan, Asian Development Bank (ADB) pada 2022 lalu mencatat adanya 9,5 persen populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional. Saat itu bahkan ada 2,3 persen proporsi penduduk yang bekerja dengan pendapatan di bawah paritas daya beli 1,90  dolar AS (sekitar Rp29.830 per hari pada kurs 15.700). Angka itu menurut data  Badan Pusat Statistik, Maret 2023, membaik. Persentase penduduk miskin pada Maret 2023 tercatat 9,36 persen pada angka 25.900.000 orang. Sayangnya, garis kemiskinan pada Maret 2023 itu hanya dipatok sebesar Rp550.458 per kapita per bulan, alias kira-kira harus hidup dengan Rp18.349 per hari.

Terkait tega-tidaknya generasi saat ini membebani generasi mendatang dengan utang, 10 tahun terakhir generasi kita “woles-woles” saja membebani bayi-bayi yang baru lahir dengan utang dan ribanya. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat jumlah utang pemerintah pada akhir Desember 2023 mencapai Rp8.144,69 triliun. Kemenkeu mengaku bahwa rasio utang Indonesia yang tercatat 38,59 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) itu masih aman.“Nilai rasio utang tersebut lebih rendah dibandingkan akhir 2022 (39,70 persen PDB) dan pada puncak pandemi Covid-19 di akhir 2021 (40,74 persen PDB),”tulis Kemenkeu. “Pemerintah senantiasa melakukan pengelolaan utang secara cermat dan terukur lewat komposisi mata uang, suku bunga, serta jatuh tempo yang optimal.”

Tentu saja tidak semua sepakat dengan sikap pemerintah yang sok kalem di tengah timbunan utang yang menyesak leher itu. Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, hanya salah satu di antaranya. Menurut Huda, utang luar negeri pemerintahan Jokowi meningkat tajam dibandingkan dengan zaman masa pemerintahan SBY. “Itu belum ditambahkan utang BUMN yang jaminannya juga pemerintah,”kata dia.

Parahnya, kecanduan utang itu tidak berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Katadata menulis, rata-rata pertumbuhan ekonomi selama delapan tahun pertama masa jabatan SBY mendekati enam persen, sementara Jokowi hanya mempu mengerek rata-rata 4,01 persen. Pertumbuhan ekonomi di era Jokowi hanya sanggup mencatatkan angka tertinggi pada 2022 lalu sebesar 5,31 persen.

Produk domestik bruto (PDB) per kapita selama delapan tahun pertama kepemimpinan Jokowi hanya sanggup naik 69 persen, jauh lebih rendah dibandingkan periode sama SBY, yang naik 234 persen! Tentu saja pemerintah punya alasan untuk ini: Pandemi COVID-19.

Yang menyedihkan, selama tujuh tahun pertama pemerintahan Jokowi, ibarat kolor putus tali, Indeks Demokrasi Indonesia terus turun. Bahkan pada 2020 lalu, The Economist Intelligence Unit (EIU) dalam Laporan Indeks Demokrasi 2020, menempatkan Indonesia di bawah Malaysia, Filipna, bahkan Timor Leste! Skor itu juga menegaskan indeks demokrasi terburuk Indonesia selama kurun 15 tahun terakhir. Tidak hanya harus menanggung malu berada di belakang Timor Leste, angka-angka dalam satu dekade terakhir itu menjerumuskan Indonesia sebagai negara dengan “flawed democracy” atau “demokrasi yang cacat”, dengan angka cenderung stagnan. Ada lima indikator yang digunakan EIU untuk menentukan indeks demokrasi suatu negara, antara lain proses Pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan sipil.

Data itu relevan dengan temuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komnas HAM. Data kedua lembaga kampiun HAM itu  menunjukan setidaknya 52 orang meninggal dan ratusan lainnya ditangkap dalam demonstrasi sepanjang 2019.

Pada sisi reforma agraria—salah satu program unggulan Jokowi– menjelang sembilan tahun Jokowi berkuasa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan telah terjadi 2.710 kejadian konflik agraria, yang tak hanya berdampak pada 5,8 juta hektare lahan. Ada 1.615 warga ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak mereka atas tanah. Yang menarik, dari sekian banyak konflik agraria itu, ada 77 kasus penembakan yang dampaknya menyebabkan 32 orang meninggal karena mempertahankan tanah garapan mereka.

Namun, boleh-boleh saja sekian kondisi tersebut membuat sebagian kalangan kuatir dengan bangkitnya kembali apa yang mereka sebut ‘Neo-Orde Baru’. Presiden Jokowi sendiri tampaknya tenang dan selow saja. Persis ibarat meme-meme yang muncul sebagai kritik di lima tahun pertama kepemimpinannya, yang menerakan kalimat “Bukan urusan saya” tersebut.

Kepada media adal Inggris, BBC, yang diberi kesempatan melakukan wawancara khusus dengannya Presiden membantah banyak tudingan kepada diri dan keluarganya.

Presiden menjawab tudingan politik dinasti yang beredar kencang dengan santai. “Ya, itu kan masyarakat yang menilai,” kata Presiden Jokowi. Ia bahkan menyangkal semua itu bagian dari dinasti politik.”Kalau ada keluarga, misalnya anak, yang berpartisipasi dalam Pilkada di daerah, itu rakyat yang menentukan, bukan Jokowi,” kata Presiden.

Pada kesempatan lain, Jokowi mengatakan, dalam setiap Pemilu masyarakatlah yang menentukan siapa calon yang akan mereka pilih.“Itu semuanya yang memilih itu rakyat. Yang menentukan itu rakyat. Yang mencoblos juga rakyat. Bukan kita, bukan elit, bukan partai. Itulah demokrasi,” kata Jokowi.

Dalam satu wawancara eksklusif lainnya, kepada BBC Jokowi mengaku dirinya masih seperti yang dulu. Jawaban itu keluar saat ditanya BBC tentang apakah dirinya masih menempatkan diri dekat atau bahkan sebagai ‘wong cilik’, serta tokoh yang pernah didaulat sebagai ikon demokrasi.

“Ya. Sampai saat ini Jokowi masih tetap seperti ini, tidak berubah. Terserah juga penilaian dari masyarakat,”kata Jokowi. Ia tertawa.[dsy/diana rizky/ vonita betalia/syahidan/clara anna]

Back to top button