News

Serangan Brutal Israel di Gaza Tak Akan Membuat Warga Yahudi Hidup Tenang

Sudah memasuki minggu ketiga, perang Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 5.600 warga Palestina, melukai ribuan lainnya, dan membuat lebih dari satu juta orang mengungsi. Meskipun ada seruan gencatan senjata, tampaknya penderitaan dua juta penduduk Gaza belum akan berakhir.

Setelah lama menerima dehumanisasi warga Palestina, masyarakat Israel dipenuhi dengan kemarahan dan dorongan primordial untuk membalas dendam atas pembunuhan warga  Israel oleh pejuang Hamas pada tanggal 7 Oktober.

“Kemarahan buta ini kini disalurkan ke dalam gerakan genosida melalui narsisme dan ekstremisme yang dilakukan oleh satu orang yakni Benjamin Netanyahu (Perdana Menteri Israel), seorang pembohong patologis yang bermuka dua, yang telah melakukan segalanya untuk tetap berkuasa,” tandas Marwan Bishara, analis politik senior di Al Jazeera, dalam tulisannya, kemarin.

Menurut Marwan, kesombongan, korupsi, dan sikap tidak berperasaan Netanyahu patut disalahkan atas kegagalan politik dan militer negara tersebut yang berujung pada serangan 7 Oktober. “Dia pikir dia bisa mengubah seluruh wilayah Palestina yang bersejarah menjadi Tanah Besar Israel. Tentunya dengan menjadikan wilayah pendudukan menjadi permanen dan menahan jutaan warga Palestina di penjara terbuka di Gaza,” tambah Marwan yang juga profesor Hubungan Internasional di American University of Paris.

Marwan melanjutkan, pada tanggal 7 Oktober ketika terjadi serangan Hamas terhadap Israel, kesombongan akhirnya melahirkan kebodohan. Keangkuhan berubah menjadi penghinaan, dan kegagalan menjadi lelucon, atau seperti kata orang Israel, dalam bahasa Arab, fashla (kegagalan) berubah menjadi fadiha (skandal).

Meskipun para pemimpin militer dan intelijen Israel telah menerima tanggung jawab atas kegagalan mereka mencegah serangan tersebut, Netanyahu menahan diri untuk tidak mengambil tanggung jawab apa pun, meskipun sebagian besar warga Israel menyalahkan dia atas tragedi nasional yang mereka alami.

Alih-alih mengundurkan diri, perdana menteri sekaligus pemimpin masa perang tanpa malu malah melancarkan serangan balasan yang sadis tanpa strategi atau tujuan akhir yang jelas. Dalam serangan genosidanya, Netanyahu dibantu dan bersekongkol dengan mantan pengkritiknya di Barat, yang sampai saat ini menyatakan “keprihatinan” mengenai rencananya melemahkan sistem peradilan Israel, melalui koalisi fanatik dan fasisnya, agar tidak dipenjara.

Sikap Aneh Joe Biden

Yang pertama dan terpenting di antara mereka adalah Presiden AS Joe Biden, yang awalnya menghina Netanyahu hampir sepanjang tahun kemudian berubah menjadi mendukung dan melindunginya dari kemarahan Israel dan Arab.

Biden telah berkomitmen dalam perang genosida Netanyahu di Gaza, menawarkan senjata, bantuan taktis dalam perang perkotaan, dan pengaruh diplomatik. Dia telah memerintahkan penempatan dua kapal induk di Mediterania Timur untuk melindungi Israel dan mencegah Iran melakukan intervensi dalam konflik tersebut.

Demikian pula para pemimpin Eropa, yang selama ini bersikap acuh tak acuh terhadap Netanyahu, kini berteriak-teriak untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap pemerintahannya dan perangnya di Gaza. Mereka menolak menyerukan gencatan senjata dan terus membenarkan meningkatnya kejahatan perang Israel sebagai bentuk “hak untuk membela diri”.

Antek-antek Israel di Barat seringkali menerapkan hukum internasional dengan cara yang salah. Israel memang berhak untuk membela diri, namun tidak berhak mempertahankan pendudukan militer brutalnya yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Sebaliknya, rakyat Palestina yang terjajah dan menjadi korban dengan hidup di bawah sistem apartheid rasis Israellah yang mempunyai hak untuk melawan penyiksa mereka berdasarkan hukum internasional.

Pukulan Balik Regional Membahayakan Israel

Perang genosida yang sedang berlangsung bukanlah perang untuk membela diri. Sebaliknya, ini adalah perang yang menipu diri sendiri. Israel secara keliru percaya bahwa mereka dapat memperoleh keamanan melalui pedang. Namun kapan pembunuhan lebih banyak warga Palestina bisa menghasilkan keamanan, ketenangan yang lebih baik bagi masyarakat Israel? Tidak pernah dan tidak akan pernah terjadi.

Dengan menerapkan blokade ketat terhadap Gaza dan melancarkan serangan bom untuk membuka jalan bagi invasi darat, Israel akan menghadapi pukulan balik regional yang berbahaya. Dalam upaya genosidanya, hal ini mungkin, seperti ditakutkan beberapa orang, akan menyeret Amerika Serikat ke dalam Perang Dunia III.

Membandingkan serangan Hamas terhadap Israel dengan serangan yang dilakukan oleh al-Qaeda terhadap Amerika Serikat pada tahun 2001 secara sensasional adalah salah besar. Perang melawan teror yang dilancarkan AS di seluruh dunia telah membunuh lebih banyak orang dibandingkan serangan 9/11, serta ratusan ribu korban yang sebagian besar adalah warga Muslim. Hal ini menimbulkan kekacauan sehingga lebih banyak perang dan lebih banyak pasukan tidak dapat dihentikan selama dua dekade terakhir.

Bahkan, perang melawan teror membuktikan bahwa kejahatan perang, hukuman kolektif, dan pelanggaran hukum internasional lainnya tidak mengurangi ekstremisme. Mereka bahkan melanggengkannya dengan memicu siklus kekerasan – sesuatu yang ditekankan oleh Pelapor Khusus PBB untuk Kontra-Terorisme Fionnuala Ni Aolain dalam konferensi pers baru-baru ini yang berfokus pada perang Israel di Gaza.

Ketika melakukan lebih banyak kejahatan perang terhadap warga Palestina di Gaza, Israel perlu melihat dengan baik dampak kolonialisme dan pendudukan terhadap mereka. Penindasan, rasisme, dan pembunuhan yang terus-menerus oleh Israel terhadap warga Palestina telah menciptakan kondisi ketidakstabilan, ekstremisme, dan kekerasan yang lebih besar di Palestina dan kawasan.

Back to top button