Kanal

Seandainya Kita Menjadi Advokat Ferdy Sambo

Karier Ferdy Sambo tamat sudah. Dia yang sebelumnya bagaikan hidup di awang-awang, kini justru menukik memasuki fase paling nadir dalam kehidupan dan penghidupannya. Dan itu terjadi sedemikian cepat.

Dua bintang yang menempel di pundak Sambo sudah dicopot. Jabatan mentereng Kadiv Propam pun sudah melayang. Keanggotaannya di Polri telah pula diberhentikan dengan tidak hormat. Sebelumnya, telunjuk Sambo yang begitu berkuasa menentukan seorang polisi dapat digiring ke dalam sebuah sidang etik, masuk sel atau tidak, kini justru Sambo sendirilah yang duduk di kursi pesakitan sidang etik, dan harus meringkuk dalam jeruji besi.

Sambo juga masih harus menghadapi azab yang tak kalah keras. Dia dapat diancam hukuman mati atau seumur hidup. Sekurang-kurangnya 20 tahun penjara. Tak heran jika para “loyalisnya” yang selama ini mengerubunginya dan memberikan puja-puji, sudah menjauhinya, terang-terangan atau secara terselubung.

Tak hanya itu, orang-orang atau polisi yang pernah dibantu pun tak lagi mengingat pertolongan yang pernah diberikan oleh Sambo kepada mereka. Kalau pun bertemu, mereka cuma berbasa-basi sebagai mantan atasan atau orang yang pernah menolong. Selebihnya, Sambo dililit sepi yang sejati.

Kesengsaraan yang Sempurna

Sementara di luar urusan hukum formal, masyarakat mencela dan menghujatnya. Sambo menjadi sasaran kemarahan masyarakat. Sambo dijadikan contoh manusia yang tidak bersyukur karena walaupun telah diberikan kekuasaan, kesejahteran, istri yang telah memberikan tiga anak, bukan merawat amanah yang diberikan itu, tetapi malah melakukan dugaan pembunuhan yang meluntuhlantakan harkat dan martabatnya, dan keluarganya.

Maka di tulisan atau percapakan sehari-hari maupun media sosial kita dapat mendengar, ”Dasar Sambo kelewat batas!” atau “Karena tak dapat menjaga amanah, Sambo memang wajar dikasih hukuman kontan oleh Tuhan” dan sebagainya. Sambo yang sebelumnya sedemikian berwibawa, saat ini menjadi bahan olok-olok. Tindakan polisional atau atas nama hukum dia sebelumnya, lantas mulai banyak dikulik dan dimaki. Sudah tak jelas lagi mana yang benar dan mana yang sekedar kabar atau fitnah.

Dia menjadi semacam “musuh bersama” yang menjadi “sah” dilaknat apapun. Celakanya, Sang Istri, Putri Candrawati, juga ikut senasib dan sepenanggungan. Dia sudah ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan yang ancaman hukuman sama dengan suami: hukuman mati, seumur hidup atau sekurang-kurangnya 20 tahun. Sosialita kelas atas dengan barang-barang branded itu, harus hidup berdampingan dengan para pencuri di super market, penipu dan juga pembunuh lainnya.

Kurang apa lagi derita Sambo? Kesengsaraan yang nampaknya sudah sempurna. Sambo oh, sambo!

Konsukuensi Advokat Sambo

Nah, jika Sambo dalam keadaan demikian, dia lantas meminta bantuan kita menjadi avokat, pengacara atau penasehat hukumnya, akankah kita bersedia membelanya? Tidakkah kita takut juga bakal dihujat hebat oleh masyarakat? Ini menyangkut konsukuensi yang berat bagi siapapun yang bersedia menjadi advokatnya. Jika kita sekedar dianggap mata duitan karena bersedia membelanya, itu sih tak seberapa dan tak mengapa. Konsukuensi lebih berat menunggu, kita bakal menerima caci maki, hinaan dan berbagai cap negatif lainnya.

Ngapain membela orang bejad? Apa cuma mau cari popularitas saja? Apa gak mengerti perasaan rakyat? Gak sadar membela “musuh” rakyat? Apa tak pikir hati anggota keluarga korban. Belum lagi ada kemungkinan jika kita membela Sambo, advokartya malah disamakan dengan Sambo. Wah, ini orang sama juga dengan Si Sambo. Avdokatnya dapat dicap tak tahu diri. Sombong. Advokat tak mensyukuri nikmat dari Tuhan. Apa gak ada cara lain mencari rezeki, dan sebagainya dan sebaginya.

Beranikah kita, terutama para lawyer, advokat, menerima permintaan itu?

Kisah Yap Thiam Hien

Advokat kawakan almarhum Yap Thiam Hien dalam karier profesinya hampir selalu bersikap berani. Ketika awal Orde Baru (Orba) PKI (Partai Komunis Indonesia) masih jadi momok menakutkan. Siapa yang diidentifikasikan atau dituding terafiliasi dengan PKI, selain bakal dijauhi masyarakat, juga nyawanya pun setiap saat dapat terancam. Begitu pula hubungan Indonesia dengan RRC kala itu sedang panas dan regang. Dampaknya etnis keturunan Cina di Indonesia pun sering menjadi sasaran rasial.

Tapi Yap Thiam Hien sebagai orang keturunan etnis Cina, dan dari agama minoritas pula, tidak takut untuk membela anggota bahkan gembong PKI yang sedang terjerat problem hukum. Sebagai advokat, Yap sama sekali tidak tidak gentar untuk membela para terdakwa anggota atau pengurus PKI. Padahal Yap menghadapi resiko yang besar. Dia dari etnis keturunan Cina yag saat itu masih sangat sensitif. Apalagi pembelaanya terkait orang-orang PKI. Dengan atau tanpa alasan mereka yang “berbau” PKI dapat “dibantai” begitu saja.

Kasusnya dapat menguap atau diuapkan tanpa jejak. Namun, kesemua itu, tak membuat Yap surut. Dalam lingkungan yang peka dan penuh ancaman bahaya bagi dirinya, Yap tak mundur selangkah pun untuk terus membela anggota PKI yang sedang berhadapan dengan hukum.

Menurut Yap, yang dibela advokat adalah unsur kemanusiaan dari manusia. Siapa pun yang menjadi terdakwa, dari kalangan mana pun, dari suku bangsa manapun, dari profesi apapun, kalau perlu dibela, harus dibela.

Penjahat seberat apapun, bagi seorang advokat kalau diminta menjadi avokat, harus rela dan berani membelanya. Jangan takut. Jangan jadi advokat pengecut. Seorang advokat dalam menjalankan profesinya, menurut Yap, sudah jamak bakal menghadapi tantangan dan ancaman. Itu biasa. Kode Etik Advokat hanya tidak memperbolehkan seorang advokat menjanjikan kemenangan.

“Kalau Anda mengharapkan kemenangan, jangan menunjukkan saya sebagai advokat. Tapi kalau ada menginginkan pelayanan terbaik, bolehlah menunjuk diri saya,” kata Yap. Memang yang boleh dan harus dilakukan advokat ialah memberikan layanan terbaik buat kliennya.

Maka kalau Sambo meminta kita atau advokat manapun menjadi pembelanya, kita harus berani menerimanya.

Advokat yang bersedia membela Sambo, bukan berarti setuju perbuatan Sambo. Bukan pula untuk membenarkan tindakan Sambo, apalagi kita menjanjikan “kemenangan” bagi Sambo dan para pendukungnya. Para advokat menerima permintan Sambo lantaran amanah dari profesi advokat. Profesi yang dituntut untuk bersedia dan berani membela siapapun, termasuk klien yang memiliki beban sosial berat, terlepas dari orang itu kaya atau miskin, salah atau benar.

Jadi, seandainya kelak ada yang berani menjadi advokat Sambo di pengadilan, janganlah kita menghujatnya. Jangan pula kita memakinya. Bahkan kita harus salut kepada advokat yang berani menerimanya kasus Sambo, karena dia bersedia mendapat banyak tentangan dari masyarakat.

Siasat Pembelaan untuk Sambo

Jika kita ditunjuk oleh Sambo menjadi advokatnya, kira-kira startegi atau siasat apakah yang bakal kita pakai di pengadilan? Bukankah Sambo sudah secara terus terang mengatakan, dia memang pelaku utama penembakan. Pembunuhan. Saksi-saksi sudah menguatkannya. Barang bukti yang diolah secara ilmiah menambah jelas peristiwa itu. Lantas, apalagi yang dapat kita lakukan?

Setiap lawyer, pengacara atau advokat pastilah masing-masing mempunyai pilihan penerapan siasat sendiri-sendiri. Meski begitu bagi advokat yang cerdas ada siasat bagus yang dapat dipilih. Sang advokat dapat membagi dua bagian dalam membedah perkara ini. Pembagian ini agar dapat terhindar dari aspek yang paling krusial dari tuduhan jaksa penuntut umum, yakni pembunuhan berencana. Selain itu siasat ini juga bertujuan untuk memperingan vonis yang bakal dijatuhkan kepada Sambo.

Klaster Batin Terluka

Sebaiknya advokat yang membela Sambo, pertama-tama membuat klaster peristiwa pembunuhan pada urutan pertama. Pada bagian ini, advokat harus fokus, dan mati-matian menyakinkan Majelis Hakim, segala tindakan Sambo dilakukan benar-benar karena jiwanya tergoncang hebat menghadapi problematik martabat keluarga.

Advokat harus menggiring peristiwanya merupakan rangkaian dari batin Sambo yang terluka parah dan seluruhnya berada di luar kendali normal dirinya, sehingga perbuatan Sambo tidak dapat dihukum. Advokat sambo perlu merujuk, antara lain kepada Pasal 49 ayat (2) yang pada intinya menyatakan, orang yang melakukan tindak pidana karena jiwanya tergoncang tidak dapat dihukum.

Tentu jaksa akan membantahnya. Jaksa bakal mengemukakan bukti, sebelum melaksanakan tindakannya, Sambo sudah lebih dahulu melakukan serangkaian perencanaan untuk membunuh. Bagi jaksa, kenyataan Sambo masih dapat berpikir dan melakukan perencanaan merupakan bukti kuat jiwa Sambo sesungguhnya tidaklah dalam keadaan terguncang hebat. Kemampuan berpikir dan perencaan yang dilakukan Sambo akan dipandang jaksa menghilangkan unsur “jiwa yang terguncang hebat.”

Disinilah advokat harus mampu membuktikan sebaliknya. Semua tindakan Sambo membunuh itu terjadi dalam suatu rangkaian yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya pada saat jiwa Sambo sudah dan masih luluh lantah. Pada saat batinnya sudah hampa. Kehampaan batin dan kehampaan jiwa merupakan bagian dari jiwa yang terguncang. Kegoncangan jiwa yang dialami Sambo terjadi terus menerus pada suatu rangkian waktu. Bukan hanya seketika saja.

Pembuktian Soal “Goncangan Jiwa”

Para advokat Sambo dalam hal ini harus mampu membuktikan dengan ilmiah, “goncangan jiwa” yang dialami seaeorang setelah mengetahui suatu peristiwa yang merendahkan dan menghina dirinya tidak hanya “berlangsung sesaat”, tetapi juga dapat berlangsung beberapa jam dan bahkan beberapa hari. Advokat harus dapat menunjukkan referensi buku-buku ilmu jiwa yang membuktikan hal tersebut.

Selain itu advokat Sambo harus mampu menghadirkan Ahli Psikologi yang menerangkan dan mengungkap fenomena ini. Kalau diperlukan cari Ahli Psikologi dari luar negeri yang telah memiliki track record seperti itu. Sang Ahli diminta advokat Sambo untuk menyakinkan Majelis Hakim guncangan yang dialami Sambo memang tidak seketika lenyap, tapi berkepanjangan beberapa jam atau beberapa hari. Hal ini penting lantaran bakal dapat menjadi salah satu fokus debat di pengadilan yang hasilnya dapat mempengaruhi vonis hakim.

Bukti Perencanaan Amatiran

Bukti lain untuk mendukung argumentasi ini, advokat dapat menunjuk kepada perencanaan yang tidak matang, tidak cermat dan mengabaikan detail untuk memperoleh alibi. Advokat perlu membuktikan, Sambo bukanlah periwara yang bodoh dan tidak cermat. Begitu pula jabatan Kadiv Propam yang pernah disandang Sambo, sudah menunjukkan betapa Sambo telah mempunyai pengalaman makan asam garam dunia seperti itu.

Maka, jika dalam keadaan jiwa yang normal, Sambo pastilah akan mampu membuat rancangan perencanaan yang sangat canggih, sulit dibuktikan dan menjadikan Sambo memiliki seribu alibi untuk mengelak. Bukan perencanaan amatiran. Bukan rekayasa kaleng-kaleng. Nah, hanya saja lantaran jiwa Sambo masih lunglai, masih digelajuti bayang-bayang baur hidupnya sendiri, di bawah jiwa yang terguncang hebat, dia mengambil tindakan yang tidak diperhitungkan matang. Bukan sebuah tindakan yang dibungkus kecanggihan dan kelihaian seorang perwira tinggi.

Tindakannya diambil dalam kerangka batin yang perih dan rongga jiwa yang mengangga, sehingga tindakannya juga apa adanya saja sebagaimana yang saat itu terbayang oleh Sambo. Ini membuktikan Sambo masih dalam tekanan jiwa yang tergoncang hebat. Bukan jiwanya yang normal.

Lantas jaksa akan mengejar lagi, kenapa setelah itu Sambo mencoba merekayasa kejadian dan menghilangkan barang bukti? Bukankah ini merupakan upaya menghalang-halangi terhadap penegakkan hukum atau obstruction of justice.

Mengakui Terus Terang

Disinilah advokat harus merendahkan pembelaaanya untuk memperoleh penilaian yang tinggi. Pembelaan advokat harus mengakui dengan terus terang Sambo telah melakukan obstruction of justice. Cuma advokat harus memberikan argumentasi pendukung yang dapat diterima hukum.

Advokat dapat membuat konstruksi hukum, setelah Sambo dalam keadaan jiwa terguncang melakukan penembakan, melaporkan ke para petinggi Polri, barulah Sambo belakangan tersadar. Dia teranjur nian. Lalu dihantui rasa bersalah atau takut.

Dari sanalah baru kemudian timbul berbagai rekayasa terhadap peristiwa ini. Adanya justice engineering atau rekayasa terhadap peristiwa hukum benar ada. Tapi itu didorong oleh motiv bersalah dan ketakutan. Jadi, para advokat Sambo perlu menyakinkan, rekayasa yang dilakukan Sambo bukankah dilakukan dari awal, melainkan setelah rasa jiwa terguncang. Setelah batin dan jiwa Sambo tersadarkan, barulah timbul rencana-rencana membuat rekayasa.

Dalam hal ini advokat harus menekankan Sambo dalam hal yang belakangan ini memang bersalah. Dengan membagi kasus Sambo dalam dua klaster yang berbeda, advokat harus dapat menyakinkan, antara penembakan yang dilakukan Sambo di satu pihak, bukanlah satu kesatuan dengan rekayasa membelokkan kasusnya. Perbuatan menembak dan rekayasa kasus merupakan dua hal yang terpisah satu dengan lainnya. Ada pembeda nyata antara peristiwa melakukan penembakan dan peristiwa upaya menghilangkan alat bukti lewat rakayasa kisah.

Berharap Vonis Minimal

Dari sini advokat harus menyadari, tak mungkin Sambo dibebaskan murni, tetapi masih dapat berharap hukuman Sambo bukanlah hukum maksimal. Ekspektasi terbaik pada tingkat Pengadilan Negeri (PN) Sambo hanya akan dihukum lima tahun penjara. Sedangkan ekspetasi terburuk, boleh jadi Sambo kena 18 tahun penjara. Ini jauh lebih baik ketimbang dikenakan hukuman mati atau seumur hidup.

Kendati demikian hal itu belum pasti. Semua ini masih analisis di atas kertas. Dalam kenyataan, bisa saja sama, namun bukan tidak mungkin pula berbeda sangat lebar. Majelis hakim akan menilai lalu lintas bukti, data, saksi dan ahli di pengadilan. Majelis hakim bukan hanya memimpin bagaimana mekanisme dan persidangan dapat berlangsung lancar dan tertib, tetapi juga akan mengali kebenaran materiil, kebenaran sejati dari kasus ini.

Peradilan pidana berbeda dengan peradilan perdata. Dalam kasus perdata yang dicari cuma kebenaran formal. Sedangkan dalam kasus pidana yang dicari kebenaran sejati. Itulah sebabnnya, seperti apa kira-kira akhir vonis kasus Sambo? Belum dapat kita prediksi. Semua kembali kepada keyakinan hakim.

Usulan Pembelaan Versi Sambo

Selain pembelaan oleh advokat, dalam menjalankan siasat pembelaan untuk Sambo, advokat ada baiknya juga minta Sambo menulis sendiri pembelaannya yang bersifat human interest. Tujuannya, agar lebih memperoleh simpatik majelis hakim, setidaknya tak ada kebencian kepada Sambo. Lebih khusus lagi untuk membawa Majelis Hakim memahami latar belakang tindakan Sambo. Isinya kurang lebih intinya sebagai berikut.

Majelis hakim yang Mulia,

Sejak kecil saya sudah bercita-cita menjadi polisi. Dari daerah kelahiran saya Barru, Toraja, Sulawesi Selatan, saya senantiasa membayangkan bangganya menjadi polisi. Oleh sebab itu selepas SMA tanpa ragu saya langsung masuk ke Akademi Kepolisian. Betapa bangganya saya diterima di lembaga penegak hukum itu. Sesudah saya lulus tahun 1994, saya mengabdikan seluruh hidup saya hanya kepada kepolisian.

Tugas apapun, saya kerjakan dengan optimal, betapapun muskil dan bahayanya tugas itu. Dalam menjalankan tugas polisi, saya tak pernah mengenal rasa takut kepada manusia manapun. Nyawa dan keselamatan saya serahkan demi penegakan hukum. Pengabdian saya kepada polisi total tanpa reserve sedikitpun.

Dalam menjalankan tugas, saya hanya tunduk dan taat kepada atasan saya. Soal kepercayaan saya kepada Tuhan tentu tak diragukan. Secara keagamaan saya menyerahkan seluruh jalan hidup saya sejak awal kepada Tuhan. Tapi dalam tataran hubungan antara manusia, dalam tugas-tugas kepolisian, saya tegak lurus mengabdi kepada polisi. Atasan selalu menjadi panutan saya.

Maka, saya bersyukur jika kemudian saya dilapangkan jalan dapat meraih bintang dua, bahkan pemangku bintang dua termuda di lingkungan Polri. Saya juga diberikan kepercayaan sebagai Kepala Propam. Jabatan yang saya pangku dengan bangga, dan menegakkan etika dan hukum secara konsisten, tegas dan keras. Tetapi saya juga manusia ciptaan Tuhan. Manusia yang diberikan kekuatan dan kelemahan. Bahkan kelemahan yang semula sama sekali tidak saya sadari sendiri. Kelemahan mahluk ciptaan Tuhan yang bukan hanya terdiri dari darah daging, melainkan juga dari jiwa manusiawi.

Begitu mengalami kejadian di keluarga saya, jiwa saya terguncang hebat. Jiwa saya seperti hancur berantakan seketika. Ada rasa luka batin yang tidak terhingga. Betapa hancurnya harga diri saya. Rasanya sedemikian perih di hati ini. Jiwa hamba Tuhan ini bagaikan melayang-layang.

Didorong rasa kecewa yang sangat luar biasa, yang membuat diri saya sebenarnya sudah hancur, boleh dibilang tanpa direncanakan tanpa saya sadari, tapi karena jiwa yang masih terlilit keping-keping keperihan, saya mengambil serangkaian tindakan di bawah bayang-bayang kehampaan jiwa.

Terjadilah peristiwa yang membuat gaduh negeri ini. Peristiwa yang mencoreng Polri. Semua saya lakukan ketika jiwa saya luluh lantak. Jiwa yang kosong. Jiwa yang sudah berada di luar kendali saya. Bayangkanlah kalau peristiwa yang saya alami terjadi di keluarga, majelis hakim. Terjadi pada keluarga kita semua.

Seluruh proses rangkaian tindakan tersebut, terjadi karena jiwa saya sedang dibalut luka maha perih. Itu merupakan jeritan hati saya yang tidak dapat saya tahan lagi. Dengan kata lain, perbuatan tersebut merupakan perbuatan di bawah sadar saya. Di bawah tekanan kejiwaan yang maha hebat. Itu tindakan dari jiwa yang terguncang! Waktu itu saya dilingkari perasaan harkat dan martabat saya tidak dapat diganti dengan apapun.

Majelis yang Mulia,

Setelah saya melakukannya, barulah saya tersadar. Saya terhentak. Betapa terkejutnya saya. Betapa shocknya saya. Maka betapa paniknya saya. Dari sanalah kemudian saya mulai secara sadar mengatur cerita agar saya dapat bebas dari hukuman. Manakala sehari setelah kejadian saya melaporkan kepada pimpinan tertinggi Polri, saya masih membeberkan cerita yang saya buat. Bukan kejadian yang sesungguhnya.

Saya mengakui hal tersebut merupakan rekayasa untuk menghalang-halangi penyidikan. Dengan sadar saya melakukan berbagai skenario mengenai apa yang terjadi. Saya seorang ksatria. Seorang yang tak mau lari dari tanggung jawab. Tangan kita yang berbuat, bahu kita yang memikul. Saya dengan besar hati mengakui perbuatan tersebut.

Majelis hakim yang Mulia,

Pada kesempatan ini saya sekali lagi ingin mohon maaf sebesar-besarnya kepada pimpinan Polri beserta seluruh anggota Polri atas tindakan saya menghebohkan dan mencoreng citra polisi. Dari dalam hati saya yang mendalam, saya juga mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada masyarakat luas terhadap semua perbuatan saya.

Saya mengharapkan majelis hakim yang Mulia dapat memahami tidakan di bawah sadar saya. Dapat melihat kejadian dalam kontes yang relevan dan tidak terlepas dari goncangan jiwa manusia ciptaan dan hamba Tuhan.

Saya juga berharap agar Majelis Hakim juga masih menghargai keterbukaan dan kejujuran saya. Saya percaya Majelis Hakim yang mulia masih memiliki hati nurani.

Saya percaya majelis Hakim Yang mulia dalam memeriksa perkara ini tidak terpengaruh tekanan yang mungkin ada dari masyarakat. Saya juga percaya Majelis Hakim hanya akan menjatuhkan vonis dengan menjunjung tinggi keadilan berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Terima kasih

Wina Armada Sukardi, advokat

Back to top button