Market

SBN Jadi Instrumen Pembiayaan Inovatif untuk Pembangunan


Kepala Seksi Pengelolaan Risiko Pasar, Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Ardhitya Kurniartanto menilai, banyak manfaat pembangunan dari pembiayaan inovatif.

Dia menjelaskan, salah satu instrumen yang digunakan untuk membiayai APBN itu adalah Surat Berharga Negara (SBN), baik yang konvensional maupun syariah. “Melalui instrumen ini, pemerintah mampu memanfaatkan potensi dalam negeri, sekaligus mengurangi ketergantungan pada pinjaman luar negeri,” kata Ardhitya, Jakarta, dikutip Minggu (31/12/2023).

Berdasarkan data Kemenkeu, posisi utang pemerintah secara keseluruhan per 30 November 2023, senilai Rp8.041,01 triliun. Didominasi Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp7.124,98 triliun, atau 88,61 persen dari total utang. Dan, pinjaman sebesar Rp916,03 triliun, atau 11,39 persen dari total utang.

Khusus SBN, sebesar 71,54 persen berasal dari domestik atau setara Rp 5.752,25 triliun. Sisanya sebesar 17,07 persen atau setara Rp1.372,73 triliun, berupa valuta asing valas). 
“Pemerintah senantiasa berhati-hati dalam mengambil kebijakan utang, baik berupa obligasi maupun pinjaman,” terangnya.

Menurut Ardhitya, pembiayaan inovatif yang dikembangkan Kemenkeu itu telah berhasil membiayai berbagai proyek infrastruktur. Hal ini menjadi salah satu upaya untuk mengatasi anggaran pemerintah yang terbatas dalam mendorong percepatan pembangunan infrastruktur.

“Dari SBN syariah (Sukuk), ada pembangunan proyek kereta api di Makasar. Lalu dari pinjaman, seperti pembangunan Rumah Sakit UI, pembangunan MRT, atau pembangunan berbagai rumah sakit di daerah, dan masih banyak lagi,” jelasnya.

Head of Industry Regional Bank Mandiri, Dendy Ramdani menyarankan agar pemerintah menempatkan utang-utang ini pada sektor yang produktif. Sehingga, ekspansi belanja itu mampu memutar aktivitas ekonomi dan mendorong penerimaan negara yang lebih besar lewat pajak.

“Pos-pos yang dibelanjakan itu harus memiliki multipler effect yang tinggi, supaya ekonomi bergerak kencang, kemudian pemerintah bisa menangkap potensi pajak yang lebih besar sehingga bisa menutupi biaya bunga,” katanya.

Dendy juga menyoroti agar pemerintah bekerja keras menangkap potensi pajak. Pasalnya, Indonesia termasuk negara dengan rasio pajak (tax ratio) paling rendah dibanding negara tetangga.

“Berikutnya harus ada perbaikan sistem perpajakan kita sehingga tax ratio-nya meningkat. Diantaranya melalui perbaikan institusi dan penegakan hukum,” sambungnya.
 

Back to top button