Kanal

Sang Pangeran Menyeberang ke Beringin, Banteng Bergeming

“Kalau warnanya berubah semula merah kemudian secara nyata sudah berubah menjadi kuning, maka partai menghormati itu,” ujar Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Krisyanto di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Jumat (27/10/2023) lalu.

Ungkapan tersebut dinilai sebagai sindiran yang ditujukan kepada putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka yang diusung Partai Golkar maju sebagai calon wakil presiden mendampingi calon presiden Prabowo Subianto.

PDIP pun tidak mau ambil pusing dengan anggota keluarga Presiden RI yang ternyata tidak sejalan dan berbeda pandangan. Bahkan tidak ada sanksi tegas apapun terhadap mereka yang membelot.

Sebut saja mulai dari si bungsu, Kaesang Pangarep yang tiba-tiba menjadi Ketum PSI dan mendukung Capres Prabowo pada Pilpres 2024. Kemudian menantunya, Bobby Nasution juga menyatakan dukungan untuk pasangan Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024.

Berbanding terbalik dengan apa yang dialami Budiman Sudjatmiko. Politikus PDIP itu menyatakan dukungan kepada Prabowo Subianto pada Agustus lalu, dan PDIP langsung memberikan sanksi tegas berupa pemecatan keanggotaan melalui sebuah surat.

Surat yang diteken Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekjen PDIP Hasto Krisyanto itu berbunyi, “Memberikan sanksi organisasi berupa pemecatan kepada Sdr. Budiman Sudjatmiko, M.A. M.Phil. dari keanggotaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan”.

Agar tidak ada lagi kader yang membelot dan menjaga anggotanya tetap solid, capres Ganjar Pranowo juga mengajak untuk tetap bersatu dan tidak memecah belah partai. Meski tidak dibeberkan secara gamblang, pernyataan ini juga dinilai menyindir kader-kader PDIP yang sudah hengkang dan lebih memilih partai lain untuk Pilpres 2024.

“Barang siapa memecah partai ini, anda berlawanan dengan banteng. Banteng itu tidak pernah cengeng. Dia akan keras,” ujarnya saat di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta, Jumat (3/11/2023).

Ia menegaskan, siapapun yang memecah belah partai maka akan berhadapan dengan partainya yang berlambang banteng. Banteng itu dapat diasumsikan sebagai hewan bertubuh besar yang dikenal kerap menyerang siapapun yang menggangu. Dengan mengandalkan tubuhnya yang kuat, banteng tak pernah mundur dalam melumpuhkan lawan.

Namun dalam kasus Gibran yang secara terang-terangan memilih menyeberang bersama partai lain untuk bersanding dengan Prabowo di Pilpres 2024, kenyataannya banteng pun bergeming menghadapi keluarga Istana.

Tidak ada reaksi tegas dari kubu banteng terhadap Kanjeng Pangeran Haryo, gelar untuk Gibran yang pernah disematkan Mangkunagoro X pada 1 Maret 2023. 

post-cover

Banteng bermoncong putih itu tidak berkutik melihat sang pangeran menyeberang ke pohon beringin untuk bersiap memenangkan Pilpres 2024.

Tidak hanya Partai Golkar, Gibran maju bersama sejumlah partai lain yang juga tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) yakni Partai Gerindra, PAN, Partai Demokrat, PBB, Partai Gelora, Partai Garuda, Prima, dan PSI.

Diamnya PDIP ternyata bukan tanpa alasan. Ketua Bidang Kehormatan DPP PDIP, Komarudin Watubun menjelaskan pihaknya tidak akan memecat Gibran karena dikhawatirkan akan memunculkan isu dizalimi.

Menurutnya, jika Gibran dipecat saat ini maka hal itu bisa didramatisasi sebagai pihak terzolimi alias playing victim. Alasan itulah yang mendasari PDIP untuk tidak memberikan sanksi tegas kepada cawapres Prabowo tersebut.

“Kita kan tahu itu, kalau kita ambil tindakan tegas pecat, nanti dia gunakan itu, ‘waduh saya dizalimi’ itu sudah lagu lama,” ujar Komarudin.

Meski tidak dipecat, namun ia menjelaskan bahwa keanggotaan Gibran sebagai kader PDIP secara otomatis sudah berakhir setelah mendeklarasikan sebagai cawapres di kubu lain.

Sehingga mantan Wali Kota Solo itu cukup hanya menyerahkan Kartu Tanda Anggota (KTA) ke DPC PDIP Solo, di mana tempat ia mendaftarkan diri sebagai kader pada September 2019 yang kemudian akhirnya ia terpilih sebagai Wali Kota Solo pada tahun 2020.

PDIP Tak Punya Pilihan

Gejala panas-dingin antara keluarga Jokowi dengan partai yang dipimpin Megawati sejatinya sudah terasa sejak lama. Lihat saja ketika Jokowi sebagai presiden yang selalu mempercayakan semua urusan pengelolaan pemerintahan kepada Luhut Binsar Pandjaitan, bukan kepada kadernya yakni PDIP.

Keretakan itu semakin jelas terlihat ketika Gibran memilih maju sebagai cawapres bersama Prabowo. Padahal PDIP sendiri mengusung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD di Pilpres 2024.

Analis Politik dan Direktur Aljabar Strategic, Arifki Chaniago menilai saat ini PDIP tidak berani mengambil sikap kepada Gibran karena ada kekhawatiran pada elektabilitas partai dan juga capres yang diusung yakni Ganjar Pranowo.

Sehingga PDIP harus berhati-hati menjaga ritme politik untuk menjaga suara supaya tidak berpindah ke kubu lain, yang semula masih terbilang saudara, namun kini bersaing menggalang suara.

“Ketika misalnya Gibran dipecat dari kader PDIP itu akan berdampak kepada Bobby atau mungkin ke Jokowi juga. Artinya empati publik Jokowi yang sedang tinggi-tingginya, tentu juga akan mengkhawatirkan bagi PDIP bahwa tren negatifnya akan berdampak pada PDIP. Maka hal ini yang dicemaskan oleh PDIP,” ujarnya.

Ia menilai PDIP sejauh ini masih ingin bermain aman, karena yang dilawan adalah anak Presiden yang berkuasa selama dua periode.

Benci tapi Butuh

Berbeda pandangan dengan apa yang disampaikan Pengamat Politik Yusfitriadi. Ia menduga ada skenario tersembunyi dari PDIP yang terlihat ada pembiaran terhadap keluarga Jokowi yang membelot.

Karena, lanjutnya, PDIP masih butuh Jokowi untuk proses Pemilu 2024 ini, baik proses pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden.

“Misalnya, dalam konteks logistik pemenangan, mobilisasi struktur pemerintah yang didorong untuk membantu pemenangan dan sebagainya,” jelasnya.

Selain itu, kemungkinan besar ada rahasia yang tersimpan jika seseorang atau kelompok membiarkan keluarga atau anggotanya berkhianat. Kemungkinan itu dinilai wajar terpikirkan oleh publik karena terjadi standar ganda di PDIP. Sangat jelas berbeda perlakuan antara keluarga Istana dengan kader lain yang membelot.

“Jika PDIP tidak berani memecat Jokowi dan keluarganya dari keanggotaan PDIP, maka dipastikan ada sesuatu yang menjadi kunci PDIP yang dipegang oleh jokowi, entah apapun itu,” ucapnya.

Sementara itu Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul menilai keluarga Jokowi merupakan kader yang istimewa bagi PDIP. Jika dilakukan pemecatan maka tentu ada rasa simpati dari masyarakat untuk keluarga yang berasal dari Solo tersebut.

Muncul juga dugaan Jokowi yang tengah melancarkan strategi serangan ‘kuda troya’. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu sengaja masuk ke poros di luar PDIP hanya untuk memecah suara Pilpres 2024. Lobi-lobi politik Jokowi akan muncul ketika memasuki putaran kedua Pilpres 2024.

“Jangan-jangan ini bermain dua kaki untuk memecah suara. Ketika putaran kedua, mereka bersatu lagi,” katanya

Dramaturgi PDIP dan Keluarga Jokowi

Publik terus menerus disajikan dengan berbagai sandiwara, baik perpecahan maupun keharmonisan. Kondisi ini kerap muncul di setiap kontestasi politik untuk meraih simpati publik.

Peneliti Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor mengajak publik untuk mengingat pada Pilpres 2014 dan 2019 lalu. Ketika itu Jokowi dua kali berturut-turut mengalahkan Prabowo di pilpres.

Dua sosok yang semula berseberangan, tiba-tiba di ujung cerita, keduanya bisa kembali harmonis. Jokowi sebagai Presiden RI menunjuk Ketum Partai Gerindra, Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan.

Menurutnya, masyarakat Indonesia memiliki dramaturgi politik yang kerap kali timbul karena partai-partainya tidak memiliki ideologi yang jelas. Sehingga sangat mungkin ketika sebuah partai atau individu yang bermusuhan, tiba-tiba dapat dengan mudah menjadi teman.

“Meskipun politik itu art of possibilities (penuh kemungkinan), tapi Indonesia tetap ekstrim dramanya. Karena partai-partai ini tidak didasarkan pada keberpihak ideologi yang kuat, tapi lebih pada mencari kemenangan dengan cara apapun,” ujarnya seperti dikutip BBC.

Konsep dramaturgi milik sosiolog asal Kanada, Erving Goffman ini menganalogikan dunia sosial seperti halnya panggung sandiwara.

Dalam bukunya, The Presentation of Everyday Life (1959) mendefinisikan dramaturgi sebagai sandiwara kehidupan yang mengharuskan manusia memainkan peran dengan menampilkan sisi depan (front stage) dan sisi belakang (backstage).

Manusia memiliki sejumlah peran dalam suatu relasi sosial bersifat sangat cair namun tergantung pada kepentingan yang ingin dicapai.

Konsep ini bisa digunakan untuk melihat bagaimana individu menampilkan diri dalam interaksi sosial sehari-hari. Karena apa yang ditampilkan di depan publik (front stage) belum tentu sama dengan apa yang terjadi di ruang sosial lain (back stage).

Lalu bagaimana dengan isu keretakan antara PDIP dengan keluarga Jokowi? Apakah tampilan di depan layar sama dengan yang di belakang layar? Atau hanya sekadar panggung sandiwara, seperti lagu di bawah ini yang dipopulerkan musisi senior Ahmad Albar?

Panggung Sandiwara

Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah 
Kisah Mahabrata atau tragedi dari Yunani 
Setiap kita dapat satu peranan yang harus kita mainkan 
Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura 
Mengapa kita bersandiwara? 
Mengapa kita bersandiwara? 

Back to top button