Kanal

Runtuhnya Istana Sang Paman, Suhartoyo Kembalikan Maruah MK

Terpilihnya Suhartoyo memimpin Mahkamah Konsitusi (MK) yang sebelumnya dijabat Anwar Usman, memberikan harapan baru. Bahwa lembaga yang sempat hampir roboh ini, kembali tegak. Independen dalam memperjuangkan konstitusi.

Intinya, mampukah hakim kelahiran Sleman pada 15 November 1959, merobohkan stigma MK sebagai ‘Mahkamah Keluarga’. Gara-gara,  ketua MK lama yang juga adik ipar Presiden Jokowi. Dan, paman dari Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep.

Saat kepemimpinan Usman, muncul putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Pengujian UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang bermasalah. Belakangan terkuat adanya conflict of interest.

Majelis Kehormatan MK atau MKMK yang diketuai Jimly Asshiddiqie didampingi dua anggota yakni Wahiduddin Adams dan Bintan R Saragih, memutuskan Usman Anwar diberhentikan dari Ketua MK. Melalui keputusan bernomor 02/MKMK/L/11/2023

Usman Anwar terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.

Selain posisi sebagai ketua MK dicopot, Usman juga harus gantung palu. Dia tidak diperkenankan lagi terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan perkara perselisihan hasil Pilpres, Pileg dan Pilkada.

Mungkin baru kali ini, ada hakim MK yang tidak diperbolehkan memutuskan perkara namun masih menikmati gaji. Kalau benar negarawan, Anwar Usman seharusnya malu dan mundur dari MK. Toh tidak ada gunanya bertahan. Kata anak sekarang, makan gaji buta alias magabut.

Bayangkan saja, jika Anwar Usman masih menjabat Ketua MK atau masih diberi wewenang tangani perkara, masalah yang sama bakal terulang.

Karena, dua keponakannya yakni Gibran dan Kaesang sama-sama ikut di Pemilu 2014. Gibran adalah cawapres Koalisi Indonesia Maju (KIM), sedangkan Kaesang adalah Ketum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang tahun ini pasang target perolehan suara 9 persen.

Ketika Gibran atau Kaesang (PSI) berkasus di MK, potensi konflik kepentingan antara keponakan dan paman, sangat terbuka. Tapi kini, semuanya sudah diputus MKMK. 

Kini MK punya pimpinan baru. Di mana, MKMK menunjuk Wakil Ketua MK, Saldi Isra untuk memimpin proses pemilihan ketua MK baru. Hasilnya, ya itu tadi, hakim konstitusi Suhartoyo yang terpilih.

Menko Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), Mahfud MD meyakini, sosok Suhartoyo mampu mengembalikan maruah MK yang sempat terkoyak beberapa waktu lalu.

Tugas berat Suhartoyo, adalah mengembalikan kepercayaan publik bahwa MK adalah lembaga penegak konstitusi, bukan mahkamah keluarga. Suara minor itu sempat hingar bingar di media sosial (medsos) dan pemberitaan.

“Sampai saat ini, rasanya teman saya ini, masih bisa diharapkan. Mudah-mudahan tidak terkontaminasi. Tidak membiarkan MK rusak. Harus diperbaiki dan memperbaiki,” kata Mahfud.

Mahfud mengaku sangat mengenal Suhartoyo, karena pernah sekelas saat kuliah S1 di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Keyakinan pria berdarah Madura ini, didukung pakar hukum tata negara dan dosen STHI, Jentera Bivitri Susanti. Dia merasa lega dengan keputusan para hakim konstitusi yang menunjuk Suhartoyo sebagai Ketua MK.

“Saya punya harapan kepada beliu. Saya kira Suhartoyo punya integritas. Sudah cukup teruji dan saya juga akan mengaitkannya dengan pendapat berbeda (dissenting opinion) yang pernah ia lakukan,” kata Bivitri, dikutip Sabtu (11/11/2023).

Dijelaskan Bivitri, MK memiliki sembilan hakim konstitusi yang diusulkan tiga lembaga, yakni Mahkamah Agung (MA), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Presiden. Masing-masing mengajukan tiga nama. Di mana, Suhartoyo merupakan salah satu hakim konstitusi yang diajukan MA.

Selama menjadi hakim konstitusi, kata Bivitri, Suhartoyo kerap memberikan pendapat hukum yang berbeda atau dissenting opinion. Khususnya untuk masalah yang berat-berat, termasuk putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Posisi Suhartoyo adalah dissenting opinion. “Jadi dissenting opinion Pak Suhartoyo memang seringkali berguna sekali dan baik untuk dikaji,” jelas Bivitri.

Dalam putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia capres-cawapres, Suhartoyo termasuk salah satu dari 4 hakim konstitusi yang memberikan dissenting opinion.

Bivitri mengatakan, duet Suhartoyo dengan Saldi Isra, cukup ideal untuk membawa MK menuju perbaikan. Serta yang lebih penting adalah mengembalikan kepercayaan publik.

“Kami sering amati keputusan MK. Pasti ikon kami Saldi Isra dan Suhartoyo; Kami melihat konsistensi di keduanya. Mudah-mudahan mereka berdua bisa mendorong perbaikan, terutama dalam hal pengawasan dan akuntabilitas hakim konstitusi di MK,” pungkas Bivitri.

Mudah-mudahan keyakinan Mahfud dan Bivitri, benar. Bahwa, Suhartoyo dianggap punya modal kuat untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap MK.

Apalagi, ke depan, bakal banyak kasus politik yang harus ditangani MK. Karena, ada pemilihan presiden (Pilpres), pemilihan legistlatif (Pileg) dan pemilihan kepada daerah (Pilkada) serentak.

Mampukah Suhartoyo melawan godaan, atau tantangan dari banyak pihak, termasuk penguasa. Memang tak ada yang bisa menjamin. Hanya saja, rekam jejak Suhartoyo cukup menjanjikan.

Umur Capres/Cawapres

Suhartoyo adalah salah satu hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan MK yang mengabulkan permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden.

Keputusan ini, membuat syarat minimal usia capres-cawapres minimal 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pilkada.

Putusan ini, memuluskan jalan Gibran, anak Presiden Jokowi yang masih 36 tahun, bisa lolos menjadi cawapres Prabowo Subianto. Saat ini, Gibran masih menjabat Wali Kota Solo yang belum genap tiga tahun.

Suhartoyo didukung 3 hakim konstitusi lainnya, yakni Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Wahiddudin Adams. Namun, 5 hakim konstitusi, termasuk Usman Anwar berada di kubu sebrang. Kalahlah Suhartoyo cs.

UU Cipta Kerja

Yang menarik adalah putusan MK terkait gugatan judicial review UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, diputus inkonstitusional bersyarat, pada 25 November 2021.

Keputusan itu disokong lima hakim konstitusi yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo dan Aswanto.

Tiba-tiba, pada 29 september 2022, Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto yang akrab disapa Bambang Pacul mengumumkan bahwa Hakim Konstitusi Aswanto dicopot.

Alasannya, sangat subyektif. Karena Aswanto dinilai suka menganulir keputusan DPR. “Tentu mengecewakan dong. Ya gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Kan gitu toh,” kata kader PDIP.

Selanjutnya, Aswanto digantikan Sekretaris Jenderal MK, Guntur Hamzah. Strategi ini, ternyata untuk memuluskan Perppu nomor 2 tahun 2022 menjadi UU Cipta Kerja nomor 6/2023.

Ya, karena komposisi hakim konstitusinya telah berubah dengan masuknya Guntur Hamzah ke kubu pembela UU Cipta Kerja. Dan, PDIP juga harusnya menyesal dengan keputusan mencopot Aswanto. Karena keputusan MK-lah yang justru memuluskan langkah Gibran menjadi Cawapresnya Prabowo di Pilpres 2024.

Perpanjangan Jabatan KPK

Dalam uji materi atau judicial review (JR) pasal 34 UU KPK terkait masa jabatan pimpinan KPK yang diajukan Nurul Gufron, salah satu pimpinan KPK, MK menyetujuinya.

Keputusan yang dibacakan Anwar Usman pada Kamis (25/5/2023) itu, memperpanjang masa jabatan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK, dari empat tahun menjadi lima tahun.

Sontak, kalangan pegiat antikorupsi mencium, keputusan ini sebagai ‘operasi khusus’ untuk memperlemah KPK. Sejak itulah, KPK akan kehilangan independensinya.

Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti mencium adanya keanehan bin ganjil. Gugatan ini, tak seharusnya dikabulkan karena tak ada kaitannya dengan konstitusi.

Kata dia, materi gugatan yang diajukan Ghufron ini, kategorinya open legal policy atau kebijakan hukum terbuka. Seharusnya, hakim konstitusi menolak gugatan tersebut, dan menyerahkannya kepada DPR selaku pembuat undang-undang.

Pun demikian dengan Ferry Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, sepakat dengan Bivitri. Kali ini, Feri menuding, keputusan ini berkaitan dengan kepentingan politik menjelang Pemilu 2024. Bentuk cawe-cawe dari Istana Presiden.

Dalam perkara ini, ada 4 hakim konstitusi yang menyatakan pendapat hukum berbada atau dissenting opinion, terhadap putusan MK. Mereka adalah Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo.

Namun semua kalah dengan lima konstitusi ketika MK masih dipimpin Anwar Usman, adik ipar Presiden Jokowi.

Presidential Threshold

Pada Februari 2022, MK menolak enam permohonan uji materi pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden, atau presidential threshold 20 persen.

Namun, ada 4 hakim konstitusi yang melakukan disenting opinion. Mereka adalah Manahan MP Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, dan Saldi Isra.

Baik Saldi maupun Suhartoyo sepakat bahwa pemohon memiliki kedudukan hukum dan dalam pokok permohonan beralasan menurut hukum.

Back to top button