Kanal

Racun Demokrasi itu Bernama Wacana Jokowi Tiga Periode

Wacana Jokowi tiga periode belum padam. Masih banyak kelompok masyarakat, para pendukungnya, para elite politik hingga para pembantu presiden menyuarakan isu ini. Wacana ini bisa menjadi racun bagi demokrasi.

Isu perpanjangan masa jabatan selalu muncul di masa akhir jabatan presiden. Seperti biasa, elite partai politiklah yang menghembukan wacana awal memperpanjang masa jabatan presiden. Seperti yang terjadi pada era Presiden Joko Widodo ini.

Wacana Jokowi tiga periode didukung oleh sejumlah menteri dan ketua partai termasuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Menurut Luhut, sesuai big data yang dia punya, ada 110 juta warganet yang menghendaki Indonesia dinakhodai oleh Jokowi satu periode lagi.

Tak ketinggalan wacana ini juga terus digulirkan dari oleh para pendukung Jokowi. Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi mengatakan semua relawan sepakat Presiden Joko Widodo berkeinginan melanjutkan masa jabatan hingga tiga periode.

“Ada dilema mengenai masa jabatan presiden di Indonesia. Mengapa konstitusi membatasi masa jabatan presiden. Demokrasi dan pembatasan masa jabatan adalah dua hal yang harus kita diskusikan lagi,” ujar Budi, dalam sebuah kesempatan.

Alasan yang mendasari perpanjangan masa jabatan ini rata-rata seragam. Para tokoh pendukung wacana ini mengeklaim bahwa perpanjangan masa jabatan memiliki alasan kuat yakni momentum perbaikan ekonomi hingga aspirasi masyarakat.

Sikap Jokowi

Bagaimana sikap Presiden Joko Widodo? Ia kerap angkat suara perihal wacana jabatan presiden tiga periode maupun penambahan masa jabatan kepresidenan yang masih menjadi pokok bahasan publik hingga saat ini.

“Itu kan sudah saya jawab bolak-balik. Saya sudah jawab itu mungkin lebih dari empat kali. Masa dipertanyakan lagi? Yang jelas saya taat pada konstitusi,” ujar Jokowi, pada 18 Agustus 2022.

Sebelumnya, ketika memberikan arahan dalam rapat persiapan Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024, April 2022, Jokowi memberikan penegasan. Ketika itu, Jokowi meminta pada jajaran menteri untuk menjelaskan pada masyarakat mengenai jadwal pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024.

“Ini perlu dijelaskan agar jangan sampai nanti muncul spekulasi-spekulasi yang isunya beredar di masyarakat bahwa pemerintah tengah berupaya untuk melakukan penundaan Pemilu atau spekulasi perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode,” katanya. “Jelas bahwa kita telah sepakat Pemilu ditetapkan 14 Februari 2024 dan Pilkada November 2024,” lanjutnya.

Apa yang terjadi di kalangan elite berbeda dengan di berbagai lapisan masyarakat. Banyak elemen masyarakat yang menolak wacana tiga periode tersebut. Survei SMRC pada Juli lalu menyebutkan, 73 persen responden menyatakan penolakan perubahan masa jabatan presiden dan hanya 5 persen yang ingin presiden lebih dari dua periode.

Sehingga tak heran muncul dugaan terus bergulirnya wacana ini seperti memiliki rencana besar yang sengaja terus dihidupkan oleh elite politik dalam pemerintahan. Seperti sebuah operasi politik yang mendesepsi publik oleh elite-elite di lingkaran dalam kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaan.

Zona Nyaman Bakal Terganggu

Gencarnya para elite politik ini mengembar-gemborkan wacana Jokowi tiga periode tak lepas dari siasat dari mereka sendiri. Para politisi penyokong wacana ini tampaknya sudah asyik berada di zona nyaman. Sementara untuk menghadapi kemungkinan perkembangan politik jika presiden baru tidak sesuai dengan garis politiknya, dia masih belum yakin dan tidak siap.

Perubahan peta politik setelah Pilpres berpotensi mendegradasi kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh partai politik, terutama para pengikut koalisi. Akhirnya ia memilih mempertahankan kemapanan dengan membawa wacana ini.

Tak heran meskipun Presiden Jokowi telah berulang kali menolak wacana tersebut, namun beberapa elite politik dari partai selalu mendorong isu penambahan masa jabatan periode ketiga ini. Tak heran juga Jokowi sempat melontarkan kata-kata agak kesal bahkan curiga ada pihak yang ingin menjerumuskannya dengan mengusulkan wacana tersebut.

“Kalau ada yang usulkan itu, ada tiga (motif) menurut saya, ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan. Itu saja,” kata Jokowi dalam sebuah kesempatan.

Suara dari Kantor Staf Presiden (KSP) muncul tak kalah keras. Ia meminta kelompok masyarakat atau relawan pendukung Jokowi agar menghentikan isu presiden tiga periode maupun perpanjangan masa jabatan presiden. Deputi V KSP Jaleswari Pramowardhani mengatakan isu tersebut kembali mencuat sehingga KSP mengibaratkan mereka yang mendorong Jokowi kembali menjabat seperti memberikan racun.

“Siapa pun yang mendorong isu Presiden Jokowi menjabat kembali setelah 2024, sesungguhnya berusaha mencari muka atau menjerumuskan. Mereka bermain gimik yang membahayakan presiden. Seolah memberi madu padahal racun,” katanya kepada wartawan, 5 September 2022.

Jaleswari menyatakan bahwa wacana tersebut merupakan isu yang sangat tidak produktif dan menegaskan Jokowi sudah menetapkan hanya akan menjabat dua periode sekaligus menepis adanya penundaan pemilu.

“Presiden sudah berulang kali menyatakan yang substansinya hanya menjabat selama dua periode jabatan. Tidak ada perpanjangan jabatan, tidak ada penundaan pemilu, juga tidak tiga periode. Hanya dua periode jabatan,” ujarnya.

Cederai Konstitusi

Perpanjangan masa jabatan presiden hanya akan mencederai dan melanggar konstitusi. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 telah menegaskan bahwa Pemilu dilakukan lima tahun sekali dan pada Pasal 7 UUD 1945 mengatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden bersifat tetap (fix term) yakni lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.

Memang ada celah upaya legal bagi para elite politik untuk memperpanjangan masa jabatan Jokowi untuk ketiga kalinya melalui amandemen UUD 1945. Hanya saja, amandemen konstitusi terkesan berlebihan dan tidak ada urgensi yang memaksa untuk melakukan itu. Perubahan konstitusi tanpa partisipasi publik tentu akan buruk bagi demokrasi.

Perubahan konstitusi dengan tujuan itu, baik melalui jalur formal ataupun informal, menurut Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dalam pernyataannya, adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai demokrasi yang ada dalam konstitusi.

Padahal nilai-nilai konstitusionalisme justru bertujuan untuk membatasi kekuasaan, menjamin hak asasi manusia, dan mengatur struktur fundamental ketatanegaraan.

Sudah seharusnya para elite politik, para pembantu presiden menunjukkan sikap menjungjung tinggi konstitusi dengan memberikan teladan dan menunjukkan etika bernegara. Juga lebih baik fokus pada pekerjaan rumah yang belum selesai dalam waktu 2 tahun ke depan sebelum pemilu dilaksanakan.

Masih banyak pekerjaan rumah untuk mempercepat pemulihan ekonomi setelah terhempas pandemi, mencari solusi dari kesulitan anggaran dan banyak lagi persoalan yang harus dihadapi bangsa ini.

Belajar dari George Washington

Menarik mengungkapkan apa yang dilakukan presiden pertama Amerika Serikat George Washington. Ia secara sukarela menyerahkan jabatannya lebih dari dua abad yang lalu. Pidato yang dia berikan saat mengumumkan kepergiannya masih sangat penting sehingga dibacakan setiap tahun di Senat.

George Washington menulis Pidato Perpisahan pada tahun 1796, menjelang akhir masa jabatan keduanya sebagai presiden. Dia menggunakan momentum itu untuk mengumumkan bahwa dia tidak akan mencari masa jabatan ketiga, melainkan pensiun dan memilih kembali mengurus lahan pertaniannya di Mount Vernon.

Sebenarnya George Washington bisa aja memperpanjang masa jabatannya ketika itu. Barbara Perry, yang memimpin studi kepresidenan di Miller Center Universitas Virginia, mengatakan Washington saat itu sangat populer sehingga dia bisa menjadi presiden selama dia inginkan.

Meskipun tidak ada dalam Konstitusi AS sampai tahun 1951 yang membatasi jumlah masa jabatan seorang presiden, banyak presiden lain mengikuti contoh Washington yang mengundurkan diri setelah dua masa jabatan, yang memperkuat pentingnya negara di atas pemimpin tunggal mana pun.

Sebuah contoh baik dari negara yang katanya menjadi acuan dari demokrasi. Pesan moralnya begitu kuat bagaimana menjunjung tinggi konstitusi dan membatasi keangkuhan dari para elite yang tak pernah puas akan kekuasaan.

Back to top button