News

Puskapol UI: PKPU 10/2023 Beri Dampak Kemunduran bagi Demokrasi

Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI) Hurriyah menilai dengan hadirnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Legislatif, khususnya pada Pasal 8 ayat 2, menjadi sebuah kemunduran bagi demokrasi.

“KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu yang lahir dari rahim Reformasi, bisa menjadi champion di dalam menegakkan keterwakilan politik perempuan di lembaga penyelenggara pemilu,” kata Hurriyah dalam diskusi yang digelar Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Keterwakilan Perempuan bertajuk ‘Ancaman terhadap Keterwakilan Politik Perempuan Pasca PKPU Nomor 10 Tahun 2023’ secara virtual, Minggu (7/5/2023).

Namun, sambung Hurriyah, pihaknya justru melihat bagaimana kemunduran itu diduga terjadi di penyelenggara pemilu, dari mulai regulasinya sampai ke penyusunan regulasi yang jauh dari aspirasi publik. “Lalu juga proses dan mekanisme yang berjalan di dalam penyelenggara pemilu,” tambah dia.

Ia menyinggung kemunduran ini bukan hanya terjadi pada PKPU Nomor 10 Tahun 2023, namun juga sudah mulai terlihat sejak hadirnya PKPU Nomor 4 Tahun 2022 terkait kepengurusan parpol di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

“Di situ ada dihapuskannya syarat keterwakilan perempuan di dalam kepengurusan parpol di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Lalu ini kemudian berlanjut lagi ketika kemudian KPU melalui regulasinya Nomor 4 Tahun 2023 menghapuskan penindakan afirmasi di dalam seleksi,” ungkap Hurriyah.

Padahal, lanjut dia, di PKPU sebelumnya itu ada pasal-pasal afirmasi yang bisa mendorong keterpilihan perempuan di tahapan-tahapan seleksi. ”Nah ini dihapuskan,” ucapnya menegaskan.

Oleh karena itu, ia kemudian memaparkan data hasil pantauan Puskapol UI yang sejak 2021 memusatkan secara khusus mengenai  bagaimana proses seleksi penyelenggara pemilu baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota.

Pada penyususnan tim seleksi (timsel) KPU Provinsi ini, Hurriyah menyebut hanya 5 persen keterwakilan perempuan, bahkan beberapa daerah belum memiliki keterwakilan perempuan di dalamnya.

“Nah di tingkat kabupaten/kota ini menjadi jauh lebih tinggi hanya 14,8 persen dari 115 anggota tim seleksi kabupaten/kota, hanya ada 17 perempuan,” jelasnya.

“Dan jumlah kabupaten/kota yang tidak punya keterwakilan perempuan jauh lebih banyak, di DKI Jakarta, Gorontalo, Kalimantan Barat 1, 2, di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan 1, 2, Sumatra Barat 1 dan 2,” lanjut Hurriyah.

Tentunya, tegas dia, hal ini menjadi kemunduran bagi demokrasi jika angka keterwakilan perempuan sebegitu rendahnya. Misalnya, yang coba dilakukan oleh masyarakat sipil, dengan perhitungan desimal ke bawah, maka jumlah perempuan yang ada dalam pencalonan itu tidak akan mencapai 30 persen.

“Secara regulasi tentu ini menjadi kemunduran. Kenapa penting menyikapi PKPU ini, sekarang kita bisa melihat bahwa dari data partisipasi perempuan di dalam ini, keterwakilan 30 persen selama 2014-2019 ini berhasil memaksa parpol memenuhi keterwakilan perempuan,” terangnya.

Oleh karena itu, tambah Hurriyah, tentu penting bagi masyarakat untuk dapat mendorong semakin besarnya tingkat keterwakilan perempuan untuk dapat terjun ke dunia politik.

“Jadi bayangkan kalau kemudian regulasinya tidak punya dasar daya paksa kepada parpol, maka pencalonan perempuan ini akan makin menurun. Nah ini yang menurut kami perlu didorong bersama,” pungkas Hurriyah.

Back to top button