News

Puan Tunda Pembahasan RUU Pekerja Rumah Tangga, Anggota DPR Fraksi Nasdem Meradang

Ketua DPR RI Puan Maharani memastikan penundaan pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Penundaan diambil berdasarkan keputusan dalam rapat pimpinan DPR yang merupakan hasil kesepakatan bersama.

“Surat Badan Legislasi tentang RUU PPRT sudah dibahas dalam rapat pimpinan DPR tanggal 21 Agustus 2021,” kata Puan dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (9/3/2023).

Menurut dia, keputusan rapim DPR atas kesepakatan bersama pimpinan DPR itu memutuskan untuk menunda membawa RUU PPRT ke Rapat Badan Musyawarah.

“Keputusan rapim saat itu menyetujui untuk melihat situasi dan kondisi terlebih dahulu. Saat itu dirasa belum tepat untuk diagendakan dalam rapat Bamus dan masih memerlukan pendalaman,” ujarnya.

Atas keputusan tersebut, Puan menyebut RUU PPRT belum dapat dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disahkan sebagai RUU inisiatif DPR karena belum dibahas dalam rapat Bamus.

“Oleh karenanya, RUU PPRT belum diagendakan dalam rapat Bamus untuk dijadwalkan dalam rapat paripurna untuk menyetujui RUU tersebut sebagai RUU usul inisiatif DPR,” tuturnya.

Puan menjelaskan bahwa pembahasan legislasi harus mengikuti mekanisme yang ada, di mana untuk bisa dibawa ke rapat paripurna maka RUU PPRT harus terlebih dahulu dibahas di dalam rapat badan musyawarah.

“Sesuai aturan, sebelum dibawa ke rapat paripurna harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dalam rapat Bamus,” ucapnya.

Meski begitu, Puan menyebut DPR akan mempertimbangkan masukan masyarakat dan senantiasa mendengarkan aspirasi rakyat, termasuk dalam pembentukan legislasi.

Sebelumnya, Senin (27/2/2023), Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan RUU PPRT dibahas kembali setelah masa reses selesai.

“Reses berakhir 13 Maret 2023, kami akan agendakan rapat pimpinan dan badan musyawarah,” kata Dasco di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta.

20160317komisi Ix - inilah.com
Anggota Komisi IX DPR Fraksi Nasdem Irma Suryani Chaniago. (Foto: Antara)

Mandeg 15 Tahun

Sementara itu Anggota Komisi IX DPR Irma Suryani Chaniago mempertanyakan alasan rapat pimpinan DPR menunda RUU PPRT ke Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR.

“Miris saya mendengar, sekali lagi RUU PPRT dijegal bahkan oleh para pimpinan yang diamanahkan untuk memberikan keberpihakannya pada rakyat yang mengantarkan mereka pada kursi kekuasaan. Masa untuk kepentingan perlindungan pada hak rakyat kecil saja mereka tunda-tunda,” kata Irma dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (9/3/2023).

Irma mempertanyakan apakah alasan penundaan tersebut karena pimpinan DPR menganggap RUU PPRT tidak seksi dan tidak komersial dibandingkan sejumlah undang-undang lain yang telah mampu direvisi DPR.

“Dibanding revisi UU Kesehatan, Omnibus Ciptaker yang dibahas ngebut sampai-sampai tidak melibatkan komisi terkait,” imbuhnya.

Ia mengaku tidak terima perlakuan wakil rakyat yang semena-mena atas penundaan RUU PPRT, yang sudah sekitar tiga kali masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR sehingga memberikan harapan palsu kepada rakyat.

“Artinya sudah lebih dari 15 tahun bolak balik kayak setrikaan,” tuturnya.

Irma menyebut seharusnya draf pasal-pasal RUU PPRT disusun oleh komisi terkait di DPR karena Badan Legislasi (Baleg) DPR fungsinya sinkronisasi pasal-pasal dari DPR dan pemerintah untuk kemudian disahkan di Rapat Paripurna DPR.

“Setelah didraf oleh komisi lalu dibawa ke paripurna, baru kemudian diputuskan di bamus,” jelasnya.

Untuk itu, Irma menyebut pimpinan DPR tidak melakukan fungsinya sebagai wakil rakyat karena menunda membawa RUU PPRT ke Rapat Bamus DPR sehingga belum bisa disahkan menjadi RUU inisiatif DPR pada Rapat Paripurna.

Dia mempertanyakan urgensi penundaan yang dilakukan pimpinan DPR karena mengabaikan keadilan dan hak para PRT yang sejatinya memilih dan mendudukkan mereka sebagai wakil rakyat di parlemen.

Menurut dia, perlindungan dan hak pekerja rumah tangga sama dengan warga negara Indonesia lainnya sehingga belum adanya payung hukum bagi perlindungan pekerja rumah tangga merupakan bentuk diskriminasi.

“‘Apakah mereka tidak dianggap sebagai warga negara yang harus dilindungi hak dan kewajibannya?’ Dalam hal ini pimpinan DPR bisa dinyatakan telah melanggar hak asasi manusia dan hak konstitusi warga negara,” tuturnya.

Back to top button