Market

Proyek IKN Picu Alih Fungsi Hutan Alam di Kaltim

Tren deforestasi atau mengubah fungsi hutan di wilayah IKN dalam kurun waktu 3 tahun (2018-2021) mencapai 18 ribu hektare. Sebab, lokasi proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) bukan di lahan kosong.

Sebagian besar hutan tersebut juga berada di fungsi hutan produksi seluas 16,8 ribu hektare dan Area Penggunaan Lain seluas 8,5 ribu hektare, sementara di hutan lindung hanya tersisa seluas 5 hektar.

Hamparan hutan di lahan IKN sebagian besar wilayah tersebut sudah dikuasai industri ekstraktif. Sekitar 51% lahan di IKN sudah dikuasai oleh berbagai korporasi, mulai dari usaha kehutanan berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI), juga termasuk perkebunan kelapa sawit, dan korporasi ekstraktif seperti pertambangan.

Selain itu, tata kelola sumber daya hutan di wilayah Ibukota Negara bermasalah, terdapat temuan silang sengkarut pemanfaatan hutan dan lahan di IKN pada areal dengan luas lebih dari 39 ribu hektare. “Permasalahan silang sengkarut perizinan ini merupakan potret yang mengindikasikan buruknya tata kelola sumber daya hutan dan lahan yang masih mengedepankan pendekatan pengelolaan melalui skema perizinan berusaha,” demikian mengutip data Forest Wacth Indonesia (FEI) bulan Mei 2023 .

Selain itu, di wilayah Ibukota Negara yang meliputi Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara, masih terdapat hutan alam tersisa seluas 26,8 ribu hektare atau hanya meliputi 10% dari luas keseluruhan wilayah IKN Nusantara.

Alih fungsi hutan di lahan IKN tersebut kian kuat dengan hasil revisi Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemprov Kaltim tahun tahun 2022-2042. Perda hasil revisian ini akan mengubah fungsi hutan alam seluas 736.055 hektare menjadi hutan produksi.

Revisi RTRW Kaltim 2022-2042 disepakati menjadi Peraturan Daerah (Perda) oleh Pemprov dan DPRD pada akhir Maret lalu, dan saat ini tengah menunggu harmonisasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Komisi IV DPR-RI, yang membidangi lingkungan hidup.

Analisis data gabungan LSM lingkungan itu menyebutkan, ada empat perusahaan yang diduga menikmati pelepasan dan penurunan status kawasan hutan. Pada sektor tambang, ada empat perusahaan besar. Yaitu Adaro seluas 58.000 hektare (35 persen), Bayan Resources (13 persen), BBE Mining seluas 8.543 hektare (5 persen), dan LX International seluas 4.200 hektare (3 persen). Sisanya seluas 47.898 hektare (29 persen), didapatkan 53 perusahaan pertambangan.

Selain itu, ada empat perusahaan kayu yang diduga menikmati pelepasan status kawasan hutan. Mereka adalah Sinarmas seluas 48.861 hektare (35 persen), Salim Group seluas 24.140 hektare (18 persen), BUMN seluas 8.529 hektare (6 persen), dan Harita seluas 8.248 hektare (6 persen). Sementara sisanya 51.585 hektare (38 persen) didapatkan 15 perusahaan lain.

Hasil temuan pemerhati lingkungan menunjukkan dari total lahan tersebut hanya 13 persen yang memberikan bantuan untuk masyarakat setempat. Namun status hutan tersebut sudah masuk dalam izin konsesi perusahaan pemegang HTI. Jadi berpotensi mengalami sengketa antara masyarakat dengan pemegang konsesi.

Dengan adanya Pembangunan di Ibukota Negara di wilayah Kalimantan Timur semakin mengancam keberadaan hutan alam yang memiliki peran yang vital di Kawasan Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Sebagai negara maritim dan rumah terbesar bagi ekosistem mangrove di dunia.

Teluk Balikpapan menjadi salah satu representasi dari ekosistem mangrove di Indonesia. Hutan Mangrove di wilayah Ibukota Negara (IKN) terletak di pesisir wilayah Penajam Paser Utara dan Sebagian Teluk Balikpapan. Pada tahun 2018, luasan mangrove di Teluk Balikpapan mencapai 16.800 hektare.

Total luas wilayah hutan mangrove yang berada di wilayah Ibukota Negara mencapai 8,6 ribu hektar. Hutan mangrove di Teluk Balikpapan memiliki peran penting untuk melindungi pesisir dari abrasi, mitigasi bencana dan juga sebagai tempat pemijahan ikan.

Back to top button