Market

Pesta Pora Tambang Nikel IWIP Tinggalkan Kerusakan di Halteng

Operasional tambang nikel acapkali meninggalkan kerusakan lingkungan, ketimbang manfaat ekonomi. Termasuk PT Indonesia Weda-Bay Industrial Park (IWIP) yang lima tahun beroperasi di Halmahera Tengah (Halteng), Maluku Utara.

Dinamisator Save Sagea, Adlun Fiqri mengatakan, ekspansi kawasan yang dilakukan IWIP, mengubah desa-desa dan kawasan di sekitarnya. Termasuk kualitas air sungai dan air laut.

Saat ini, kata dia, sejumlah sungai di desa lingkar tambang, airnya mampet, tak lagi mengalir ke laut. Karena terbendung limbah tambang nikel yang dibuang sembarangan. Terbaru, Sungai Sagea dan mata air Boki Maruru di Desa Sagea, tercemar akibat material tanah dari kerukan tambang di akhir Juli 2023.

“Perayaan hari jadi IWIP kelima secara mewah dan meriah, dilakukan di atas penderitaan masyarakat yang tinggal di sekitar IWIP. Selama 5 tahun ini, warga Sagea hidup di tengah kerusakan lingkungan yang parah. Di mana, air, sungai dan udara tercemar,” tutur Adlun dalam konferensi pers daring, Jakarta, dikutip Jumat (1/9/2023).

“Sungai-sungai besar di Teluk Weda seperti Sungai Kobe dan Sungai Sagea kini tercemar akibat dari operasi sejumlah perusahaan pertambangan nikel, yang semuanya terintegrasi dengan IWIP,” imbuhnya.

Bagi Adlun, Kampung Sagea bukan sekedar tempat tinggal, namun bagian dari identitas karena di sana para leluhurnya hidup dan tinggal dari generasi ke generasi. Yang hidup tinggal di sana dan yang meninggal pun dikubur di Sagea.

Adlun bersyukur lahir dan besar di Sagea yang sungai dan mata airnya, tak pernah kering sepanjang masa. Tanahnya subur dan menumbuhkan beragam tanaman endemik. Telaga dan lautnya menyediakan protein kehidupan.

Telaga Sagea sangat lekat dengan kehidupan perempuan. Para perempuan biasanya berbondong-bondong mengambil kerang dan memancing ikan di telaga Sagea jika terjadi musim ombak di laut. “Dari dulu lagi torang biasa rame-rame ambe bia di talaga. Jadi so turun temurun,” ucap Fifa, warga Sagea.

Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat, Pius Ginting mengatakan, daya tampung dan daya dukung Sungai Sagea, dan sungai-sungai di kawasan PT IWIP, telah terlampaui.

Pemerintah dan perusahaan kendaraan listrik sebagai calon pembeli, perlu mengaudit tata kelola aspek sosial serta lingkungan yang sejauh ini dijalankan oleh PT IWIP. Salah satu instrumen yang dapat digunakan ialah kriteria Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) yang telah diluncurkan pada Juni 2018. “Kriteria IRMA dapat melengkapi produk hukum nasional dalam mengawasi kualitas air sungai-sungai di sekitar kawasan industri PT IWIP,” kata Pius.

Sebenarnya, lanjut Pius, pengembangan kawasan industri nikel di Halmahera Tengah, harus sejalan dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang dirumuskan pemerintah daerah.

Persoalannya, sejauh mana kajian ini telah dipertimbangkan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan RPJMD.

“Jika sudah dipertimbangkan, apakah KLHS mereka telah mempertimbangkan daya tampung dan daya dukung lingkungan perairan yang turun akibat adanya kawasan industri nikel? Perlu ada evaluasi instrumen pengelolaan lingkungan,” jelas Pius.

Perbedaan antara Halmahera dan pulau-pulau kecil sekitarnya dengan pulau-pulau besar adalah karena memiliki karakteristik berupa das yang sempit dan pendek,

Manager Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra memaparkan, perbedaan antara Halmahera dan pulau-pulau kecil sekitarnya, dengan pulau-pulau besar adalah karena memiliki karakteristik berupa DAS (Daerah Aliran Sungai) yang sempit dan pendek,

Pendekatan pemanfaatannya, kata dia, perlu kehati-hatian dan tidak bisa digeneralisasi. Sayangnya, izin tambang nikel seluas 201 ribu hektare, telah diberikan kepada 43 perusahaan yang justru membebani Halmahera, dan pulau-pulau kecil sekitarnya.

Sementara lahan seluas 180.587 hektare, justru berada di hutan lindung dan hutan produksi. Kondisi ini berdampak kepada memburuknya situasi di Halmahera dan pulau-pulau kecil sekitarnya.

“Total hutan yang rusak dalam konsesi pertambangan nikel dari 2017 hingga 2021, seluas 7.565 hektare. Diproyeksikan kerusakan hutan akan semakin parah hingga mencapai 157 ribu hektare,” kata Anggi.

Ke depannya, lanjut Anggi, dari ulah pertambangan nikel ini. “Tumpang tindih perizinan pertambangan nikel dengan konsesi HPH, HTI, dan Kebun menunjukan kinerja buruk dalam tata kelola sumber daya alam sebagai eksklusifitas tambang dalam kawasan hutan. Hal ini menunjukan lemahnya implementasi transparansi sumber daya alam dalam tata kelola perizinan tambang sebagai potret asimetris informasi,” kata Anggi.

Back to top button