Hangout

Perjalanan Palu-Poso-Kolonodale-Lende: Siang Kami Tenggak Saguer, Malam Menyeruput Sarabba

Berkendara menempuh seribuan kilometer mengubek-ubek Sulawesi Tengah akan kurang afdhal tanpa menceritakan bagaimana tanki kami urusi. Tentu bukan sekadar urusan tanki Innova yang kami tunggangi.

Tanki mobil itu, sepanjang perjalanan Palu-Poso-Kolonodale, kembali lagi ke Palu hingga kemudian menyusur Pantai Barat untuk mendatangi Desa Lende di Kecamatan Sirenja, lebih sering kami isi bensin eceran yang penjualnya gampang ditemui di setiap kelok pinggiran jalan. Lebih efektif, sekalian menenangkan jiwa, mengisi hati dengan perasaan sok berguna, seolah jadi pahlawan pembantu sesama.

Ini lebih pada cerita bagaimana tanpa rencana kami mengisi tanki, buntalan besar di perut dengan satu demi satu kuliner khas Sulawesi Tengah yang kami cicipi sepanjang perjalanan.

Kaledo di terik Palu

Maha Kasih Tuhan kepada hamba-hamba-Nya yang kelaparan. Kurang dari dua jam setelah mendarat di Bandara Mutiara SIS Al-Jufry, kami telah bisa menikmati makanan khas Sulawesi Tengah: kaledo. Tepatnya mungkin makanan khas wilayah Donggala. Setidaknya, warga Kaili–suku bangsa mayoritas penduduk Sulteng– kerap menghubungkan kuliner khas tersebut dengan Donggala. Bahkan tidak sedikit yang percaya, kaledo itu kependekan dari “kaki lembu Donggala”.

Kecuali kaledo-nya, buat saya Donggala sendiri tidaklah asing. Setidaknya untuk kepala dan telinga. Sejak SD–tahun 1970-an–nama itu sudah sudah terekam kuat di benak lewat komik “Si Buta dari Gua Hantu”, karangan Ganes TH. Ada seri pengalaman Si Buta menghancurkan karaman (gerombolan penyamun–Sunda) di wilayah ini, dalam cerita “Prahara di Donggala”. Hebat memang mendiang Ganes TH, yang di tahun 1960-an itu pun sudah tak lagi berkutat menulis kisah yang Jawa centris.

Terkait bisa menikmati kaledo secepat itu, tampaknya kami harus berterima kasih kepada **tik Air yang kami tumpangi. Sepanjang dua jam 15 menit penerbangan pagi itu, alhamdulillah hanya sepotong roti, sebongkah muffin dan air minum segelas kertas yang bisa kami nikmati sebagai sajian. Alhasil, begitu mendarat, perut kami kontan menagih minta diisi.

Kaledo sendiri lebih semacam sop tulang kaki sapi. Tulang kaki lembu berisikan sumsum yang lezat itu dipotong untuk membuka lubang ‘tabung’nya, sebelum dimasak berjam-jam. Untuk menikmatinya, selain diberi pisau untuk menyayat serpihan daging yang masih menempel di kaki, pelanggan diberi sedotan plastik—barang yang di Jakarta mulai terasa ‘haram’. Dengan sedotan itulah, sumsum tulang yang relatif cair karena panas itu bisa dihirup. Gurih!

Sayang, karena cabai yang digunakan sebagai bumbu itu dicampurkan langsung, tidak dijadikan opsi, kuahnya yang pasti enak itu tak bisa saya nikmati. Saya kurang suka pedas. Usai makan siang, kontan wajah saya berleleran lemak yang seolah mengucur keluar pori-pori terdorong makanan yang barusan saya nikmati itu. Mungkin pula karena saya tidak menikmatinya di udara malam, melainkan di tengah hari, di saat rata-rata cuaca harian Palu pekan itu menyentuh 37 derajat Celcius, mungkin lebih!

Whatsapp Image 2022 08 11 At 08.51.31 - inilah.com

Persoalannya, kami datang siang karena banyak warung kaledo di Palu, termasuk Warung Kaledo Stereo yang kami kunjungi, justru tutup saat petang datang. Itu juga yang berlaku di sekian banyak warung kopi tradisional di kota itu. Kata Darlis Muhammad, mantan koresponden Majalah TEMPO dan orang yang dituakan di Palu, alasannya lebih kepada para pemilik sekaligus pengelola warung tak ingin menyia-nyiakan waktu malam mereka, baik untuk menjalin kedekatan antaranggota keluarga, maupun merangkai keintiman dengan Sang Khalik. Bagi saya terbiasa menyaksikan bagaimana para pedagang di Jakarta berperilaku laiknya economic animal, tentu saja penjelasan Pak Darlis sangat memancing simpati.

Ikan bakar segar dan uta kelo

Direncanakan atau tidak, ikan laut adalah menu utama yang gampang kami dapatkan di warung-warung makan di Palu, Poso dan kota-kota kecil lain di Sulteng. Kita tidak harus mendatangi rumah makan seafood untuk bisa menikmati olahan makanan laut yang rata-rata masih segar itu. Datang ke rumah makan Padang pun, olahan ikan, baik digoreng begitu saja atau pun sudah dimasak yang lebih rumit, gampang didapatkan.

Ada beberapa rumah makan hasil laut yang kami sambangi selama perjalanan. Di Palu, Pak Darlis membawa kami ke Rumah Makan “Tinaku”, yang dalam Bahasa Kaili berarti “Ibuku”. Rumah makan yang berada di Jalan Sungai Sausu, Palu, itu memang menyatakan diri dengan bangga sebagai ‘rumah makan khas Kaili’, yang ditulis jelas dalam spanduk yang dibentang di bawah atap depan.

Whatsapp Image 2022 08 11 At 08.51.32 (1) - inilah.com

Di sana, ikut arahan Pak Darlis, kami memesan Baronang bakar di antara banyak bau ntasi (ikan-ikan laut) yang ada. Pak Darlis memilih sejenis ikan laut—kalau tak salah cakala atau cakalang– untuk dimasak kuah. Diambilnya dua ekor. “Satu diasam manis, satu dimasak woku, ya,”kata dia kepada yang melayani kami. Eh, saat matang, yang datang keduanya hanya dimasak sebagai woku. Woku sendiri adalah sejenis bumbu yang terbuat dari cabai, bawang, kunyit, jahe, daun jeruk, dan daun bawang. Woku tampaknya tidak asli Kaili, karena orang-orang Minahasa pun dikenal menggunakan woku ini untuk memasak hasil laut.

Yang menarik, saat penyajian, saya melihat ada sayur lain yang datang tanpa dipesan. Tadinya saya mau bilang kepada pelayan yang menyajikannya, seorang semangkuk buat kami. Urung, karena Pak Darlis langsung bilang,”Itu buat masing-masing, disajikan gratis,”kata dia. Sama seperti manakala kemudian di warung-warung lain kami selalu disajikan sejenis sop, meski tak minta.

Menurut Pak Darlis, sayur yang disajikan itu uta kelo atau sayur kelor, sayur khas Palu. Kuahnya bersantan hingga rasanya sangat gurih, pas dengan lidah saya. “Lebih enak ditambahkan ini,”kata Pak Darlis, memberikan sebotol plastik berisikan ikan-ikan teri putih kering. Besar dan warnanya seperti teri Medan. “Ini ikan rono, juga khas Palu,”kata dia. Saya coba, benar saja, rasanya jadi kian enak.

Yang menarik, ikan-ikan di “Tinaku” dibakar di atas bara batok kemiri. Saya teringat kebiasaan para pemilik warung nasi Padang yang selalu membakar ikan dengan bara batok kelapa.

Karena Pak Darlis bilang istri pemilik berasal dari Bandung, maka usai makan saya menyambanginya. Benar, ternyata si Ibu berasal dari Cibangkong, nama ndeso untuk wilayah pusat kota, sekitar Jalan Gatot Subroto, Bandung. Kami pun bercakap sebentar, menggunakan basa Sunda. Karena usia si Ibu tampaknya di atas saya, saya tak ragu menggunakan basa Sunda dengan pilihan kata yang kian jarang digunakan oleh anak-anak muda Sunda saat ini. Si Ibu menimpalinya dengan lancar, membuat pembicaraan berkembang. Sekelebat timbul sedikit sesal di hati saya, ngapain juga tadi bersegera membayar bon makan? Mungkin saja kalau bayar setelah percakapan ini akan ada diskon lumayan, kan? He he…

Selain “Tinaku”, saya masih bisa mengingat dua-tiga rumah makan hasil laut lainnya sepanjang perjalanan. Yang lainnya, yang rata-rata juga menyajikan hasil laut, tidak terlalu menonjol. Mungkin karena mereka juga tidak menerakan dengan pasti nama rumah makan mereka.

Di Morowali Utara, kami sempat mengunjungi Rumah Makan “Aroma Laut” yang letaknya persis di pinggiran Teluk Tomori. Hanya 50-an meter di depan rumah makan tersebut terletak Tempat Pelelangan Ikan (TPA), yang sangat ramai di waktu pagi, saat pelelangan berlangsung. Alhasil, ikan-ikan yang dimasak di “Aroma Laut” dipastikan merupakan bau ntasi yang masih segar. Paling lama, hasil tangkap-an pagi harinya.

Di “Aroma Laut”, tidak hanya ikan Baronang besar yang kami pesan untuk dibakar. Kami juga memesan seekor ikan yang disebut penjualnya sebagai ikan Deho, seekor ikan Ekor Kuning besar dan seekor Kakap Bobara. Semua kami minta dimasak woku untuk dibagi rata ke dalam empat mangkok besar, jumlah ‘tim’ kami saat itu.

Waktu akan meninggalkan Morut untuk kembali ke Palu, kami sempat mampir makan siang di Rumah Makan “Wahyu”, yang berada di pinggiran jalan Trans Sulawesi di kota Beteleme. Beteleme yang berada di wilayah Kabupaten Morowali ini terasa lebih ‘kota’ dibanding ibukota Kabupaten Morut, Kolonodale. Selain lebih banyak memiliki lahan-lahan datar, fasilitas umum di Beteleme pun terlihat lebih lengkap.

Mungkin karena letaknya lebih menjorok ke pedalaman, ikan-ikan yang kami nikmati di Beteleme tampaknya lebih lama berada di kotak pendingin. Kembali, kami memesan Baronang. Tampaknya tanpa disadari Baronang telah menjadi ikan favorit kami untuk dibakar.

Mencicip lalampa di Toboli

Sebagaimana saya tulis sebelumnya, pertama kali saya mencicipi lalampa (lemper isi ikan) khas Sulteng adalah di kota kecil Toboli, dalam perjalanan menuju Kolonodale. Toboli adalah kota kecil di pinggir Teluk Tomini, jaraknya menurut Google maps, sekitar 60-an kilometer dari Palu. Toboli berada di Kabupaten Parigi Moutong, merupakan kota kecil pertama yang kita temui setelah melintas Uentiro (Wentiro), kawasan yang sering disebut-sebut sebagai wilayah kerajaan makhluk halus terbesar di Sulawesi tersebut. Jarak 60-an kilometer tersebut, dengan kondisi jalan raya dan medan yang berkelok-kelok, kami tempuh sekitar 1,5 jam perjalanan.

Whatsapp Image 2022 08 11 At 08.51.32 - inilah.com

Menurut saya, rasa lemper yang dimasak dengan cara dibakar di depan kita sebelum disajikan itu nikmat sekali. Hanya tentu validitasnya sedikit bisa diragukan, mengingat saat kami berangkat dari Palu masih tergolong waktu subuh. Resto hotel belum buka, dan kami pun alpa menyiapkan baik teh panas atau apa pun sarapan seadanya. Kami berangkat dengan perut kosong. Itu yang membuat penilaian kami tentang cita rasa lalampa ini mungkin kurang fair. Bagaimana pun perut kosong mungkin akan membuat apa pun makanan yang masuk akan dinilai lebih dari sewajarnya.

Di kedai sekaligus toko “Raja Lalampa” itu kami juga disediakan piring-piring kecil berisikan sambal ikan roa untuk dicocol. Saya mencicipnya juga. Sedap! Persoalannya, saya tak suka pedas, dan rasa sambal itu teramat pedasnya! Namun tanpa sambal roa itu pun saya sempat menghabiskan lima batang lalampa, segelas kopi susu dan satu gelas teh tawar panas. Sarapan ‘sekadarnya’ itu cukup membuat perut saya bertahan sampai menemui makan siang di Desa Lembontonara, Mori, Kabupaten Morut. Di desa-desa sebelumnya, antara lain, Saojo, Taripa, Kamba, Fauzi yang menyopiri kami menolak berhenti.

“Susah cari makan di sini,”kata dia, setiap kami minta berhenti. Daerah-daerah itu memang tampaknya daerah tempat warga non-Muslim dominan. Sesekali, dari kaca jendela mobil, bisa saya lihat babi-babi peliharaan bermain di pekarangan rumah.

Sarabba melawan angin Teluk Tomori

Pada malam terakhir di Morut, kami menyempatkan diri jalan-jalan di pinggir Teluk Tomori. Meski sesekali tercium ruap asin, udaranya lumayan enak buat melemaskan kaki, sekalian melewatkan malam. Di pinggiran teluk, warung-warung berderet, berlomba menarik perhatian pengunjung untuk singgah. Di samping menyediakan makan sederhana: nasi goreng, mie instan yang dimasak langsung, rata-rata mereka menyediakan layanan karaoke sederhana.

Namun jangan salah, kemajuan teknologinya telah melampaui saya, orang kota yang datang dari generasi yang perlahan menjadi laiknya dinosaurus. Untuk memilih lagu, rata-rata mereka menyilakan kita membuka kanal Youtube di ponsel masing-masing, yang disambungkan via Bluetooth ke perangkat audio. Jadilah kita bisa berkaraoke ria dengan menu lagu-lagu yang komplet! Persoalannya, di Morut sinyal kadang datang dan pergi seenak perutnya sendiri. Akibatnya, sering kita dengan keras menyanyikan lagu tanpa musik pengiring, akibat sinyal mati.

Atas saran Asruddin Rongga, pemandu kami sejak dari Palu yang asli Morut, kami memesan sarabba, minuman khas Palu yang pas untuk melawan angin malam. Minuman yang dibuat dari jahe merah, kayu manis, gula aren, telur ayam dan mungkin satu dua bahan rahasia itu, tercium wangi manakala disajikan panas-panas ke depan kami. Saya menciumi asapnya, seolah takut menyia-nyiakan baunya yang khas itu. Menurut hidung saya, baunya jauh lebih harum dibanding wedang jahe.

Rasanya enak, rasa jahenya jauh lebih kuat daripada wedang ronde atau pun sekoteng. Benar saja, khasiatnya pun nyata. Dua jam lebih diterjang angin Teluk Tomori, kami adem-ayem saja. Oh ya, yang membuat kami kaget, ternyata sajian karaoke itu gratis, tak perlu bayar. Yang kami bayar, yakni empat gelas sarabba, dua nasi goreng, satu mangkok mie instan rebus dengan telur, tiga gelas teh manis panas, serta beberapa bungkus kecil kacang asin, hanya sekitar Rp 90 ribu! Alhasil, suasana malam di pinggiran Teluk Tomori, orang-orang yang bercengkerama dalam gembira, para buruh tambang nikel atau buruh kebun sawit yang rehat setelah seharian memeras peluh, sepenuhnya gratis kami nikmati.

Saguer dan jagung gami di Desa Batusuya

Sebagaimana keberangkatan ke Kolonodale, pada perjalanan dari Palu ke Desa Lende, Kecamatan Sirenja di Kawasan Pantai Barat, pun kami tak sempat sarapan sebelum berangkat. Bukan karena berangkat terlalu dini, sebelum resto hotel buka. Memang di hotel pinggiran pantai itu kami tak memesan kamar plus sarapan.

Niatnya, dengan begitu kami bisa menikmati sarapan di jalan, yang mungkin variasi lokalnya lebih kuat. Bagaimana pun, makanan hotel, menurut kami, ya begitu-begitu saja. Kalau pun ada makanan khas lokal, cawe-cawe chef hotel yang bisa jadi telah sangat dipengaruhi unsur-unsur mondial, akan mengubah rasa asli makanan tersebut. Itu alasan gagahnya. Alasan sejatinya bisa saja terkait penghematan alias hematisasi isi dompet.

Entah setelah berapa jam berkendara, dan tampaknya sih sudah pula mengisi tanki dengan sarapan, setelah melewati wilayah Tibo kami tiba di wilayah Desa Batusuya. Karena hujan yang mulai turun sejak melintas Desa Enu, Kabupaten Donggala, perut tiba-tiba kembali mengetuk. Fauzi pun kami minta minggir manakala ada warung, sesederhana apapun.

Whatsapp Image 2022 08 11 At 08.51.30 - inilah.com

“Sebentar, di depan ada warung yang menyediakan saguer, minuman khas daerah ini,”kata dia. Saya tak berani sok tahu. Kalau memang ada makanan-minuman baru, mengapa tidak untuk mencobanya, kan?

Pilihan Fauzi tepat. Setidaknya menurut saya. Pasalnya, Akbar, salah seorang anggota tim, ternyata tidak berjodoh dengan saguer. Hanya mampu minum seteguk, Akbar segera angkat tangan. Baginya, minuman sepat-sepat asam yang terbuat dari nira aren itu tak cocok di lidahnya. Saya berharap, ketidakcocokan itu tak sampai pada perut. Saya tak bisa membayangkan andai dalam perjalanan ini salah seorang di antara kami terkena diare!

Saya sendiri minum dua botol saguer yang dikemas dalam botol-botol bekas air mineral itu. Menurut lidah saya, saguer adalah nira aren yang telah ditambah air dan dibiarkan terfermentasi waktu. Karena sudah ditambah air, manisnya berkurang dan rasa asam datang seiring waktu fermentasi ‘tak sengaja’ itu. Sekitar 10 tahun lalu saya sempat menenggak nira aren asli, lahang kata orang Sunda, diminum langsung dari bumbung bambu tempat penampungannya. Sekian banyak sisanya yang telah dibayar, saya tampung di dua botol besar air mineral.

Sejam lebih berkendara, isi satu botol besar tandas masuk perut dan saya merasa sedikit pusing. Untung bukan saya yang menyetir. Sementara satu botol lainnya tak bisa diselamatkan. Terguncang-guncang selama perjalanan, isi botol itu dengan cepat mengalami fermentasi. Tidak hanya baunya jadi menyengat, rasanya pun agak berubah.

Menurut saya, rasa saguer mungkin dekat dengan tuak-tuak lontar yang dijual orang di sepanjang jalan pantai utara Tuban. Sedikit asam, dan menyegarkan bila diminum dingin.

Di antara jajanan di warung Faiz itu ada jagung pulut rebus. Tertarik karena namanya, saya mengambil langsung dua tongkol dan memakan setelah membuka klobot-nya. Memang, ada rasa-rasa lekat seolah pulut (ketan) yang saya makan.

“Pakai ini,”kata ibu yang punya warung, menyodorkan sepiring parutan kelapa yang tampak sudah ditambahi irisan cabai merah, dan mungkin pula garam. Rasanya memang makin enak. Saya teringat makanan Sunda, jagong ura. Bedanya, jagong ura adalah jagung pipil rebus yang dimakan bersama kelapa parut, asin atau manis.

Sorenya, di perjalanan pulang kami masih sempat mampir di satu warung di perbatasan Tonipa-Landangan, manakala sekelebat saya melihat spanduknya: Nasi Bambu Sambal Roa. Ternyata yang dimaksud adalah semacam lemang, benar lemang karena terbuat dari nasi ketan. Tak ada isinya, hanya diberi rasa asin dari garam. Sambal Roa itulah yang memberi sensasi rasa Nasi Bambu tersebut. Kembali, meski tanpa dibarengi sambal roa yang pasti sedap, saya yang tak kuat pedasnya sanggup menghabiskan sekitar lima potong penganan tersebut.

Menurut penjaga warung, Mbak Fitri Tararopo, nasi dalam buluh bambu itu dimasak dengan api yang renggang. “Perlu setidaknya dua jam memasaknya,”kata Fitri. Kalau api sampai melahap batang bambu, menurut dia, alih-alih matang, bambu akan terbakar dan isinya jadi terbuang mubazir.

Jenis bambu yang digunakan, menurut nama setempat adalah bambu air, semacam bambu tali di Jawa Barat. “Baiknya yang sudah tua. Kalau masih muda, seperti ini,”kata Fitri, memperlihatkan ujung buluh yang jadi peot setelah pembakaran.

Menurut Asruddin, ada masakan dalam buluh lainnya yang tak kalah enak, ayam buluh. Sayang, sepanjang perjalanan, tak satu pun kami menemukan warung yang menjualnya. Mungkin kami bisa mencarinya di rumah-rumah makan di Palu. Tapi, mungkin, rasanya tak akan seenak di pinggir jalan, setelah mengalami hal-hal unik yang tak pernah ada di perjalanan lain mana pun. [dsy]

Darmawan Sepriyossa

Back to top button