Hangout

Penutupan Toko Buku Gunung Agung dan Keterpurukan Literasi

Dalam iklim bisnis yang semakin sulit, PT GA Tiga Belas atau lebih dikenal dengan Toko Buku Gunung Agung, mengumumkan penutupannya di semua gerai di Indonesia pada akhir tahun 2023. Perusahaan yang telah beroperasi selama 70 tahun ini mengepakkan sayapnya dalam industri buku, namun kerugian operasional yang meningkat tiap bulan memaksa mereka untuk menutup bisnis.

Toko Buku Gunung Agung telah mencoba bertahan sejak tahun 2013, saat biaya operasional mulai melonjak dan tak sebanding dengan pendapatan. Situasi ini semakin memburuk dengan munculnya pandemi COVID-19 di awal 2020, yang berdampak besar terhadap industri perbukuan secara keseluruhan.

Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilman Nugraha melihat penutupan ini sebagai alarm bagi industri buku nasional dan tingkat literasi Indonesia. “Ketika sebuah toko berusia 70 tahun yang menyediakan buku-buku berkualitas dan melibatkan para tokoh bangsa tutup, bangsa ini seharusnya merasa terpukul,” ujarnya kepada inilah.com, Kamis (25/5/2023).

Menurut Arys, gerakan literasi nasional yang memfokuskan pada kebiasaan membaca seharusnya menjadi suatu agenda yang diprioritaskan. “Buku-buku yang menarik itu harus diberikan kepada anak-anak sejak mereka masih muda, membuat mereka mencintai buku,” saran Arys. “Setidaknya, dalam 10 tahun ke depan, indeks literasi kita akan lebih baik dan minat baca masyarakat kita juga akan terdorong.”

Dia juga menegaskan bahwa kualitas buku yang beredar di masyarakat harus baik. “Perpustakaan tidak hanya diisi dengan koleksi buku yang banyak tapi sebenarnya tidak menarik,” ujar Arys yang juga CEO PT Pustaka Abdi Bangsa (Republika Penerbit). “Buku yang bagus tapi sudah lama dan tidak menjadi bahan perbincangan anak-anak kita ketika bertemu dengan teman-temannya, adalah salah satu masalah yang harus ditangani,” tambahnya.

Pandemi telah mendorong transformasi di banyak sektor, termasuk industri buku. Arys menyinggung tentang bagaimana teknologi digital memberi dampak pada dunia perbukuan. “Dari hulu sampai hilir proses penerbitan buku ada aspek digitalnya,” jelas Arys. “Penerbitan dan penjualan buku digital, proses akuisisi dari media digital, serta pemasaran digital, semua ini menimbulkan peluang-peluang baru,” katanya.

Pemerintah juga memiliki peran penting dalam menciptakan iklim literasi yang lebih baik di masyarakat. “Pemerintah harus mampu mendukung pameran buku agar buku itu sampai ke tangan masyarakat, harus lebih serius dalam menangani perpustakaan, dan membuat buku-buku menarik bisa sampai ke sekolah,” ujar Arys.

Namun, di tengah segala tantangan dan perubahan, penutupan Toko Buku Gunung Agung menjadi simbol bahwa literasi di Indonesia masih membutuhkan perhatian lebih. Ini adalah alarm bagi semua pihak untuk bekerja sama dalam upaya menguatkan literasi di negeri ini, untuk generasi masa depan.

Back to top button