Hangout

Pemberian ASI Eksklusif di Tempat Kerja Perlu Dukungan Semua Pihak

Merujuk pada data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI),  sebanyak 45 persen ibu berhenti menyusui karena harus kembali bekerja setelah cuti melahirkan. 

Sementara menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), salah satu dukungan utama yang diperlukan ibu agar tetap dapat memberikan Air Susu Ibu (ASI) pada bayinya adalah pemberian cuti melahirkan selama 18 minggu atau sekitar 4-5 bulan, dengan waktu ideal lebih dari 6 bulan. Hal ini diperlukan untuk memastikan ibu bisa menyusui anak secara maksimal.

Pemberian ASI kepada bayi yang baru lahir memerlukan dukungan semua pihak. Dukungan tersebut, terutama perlu diberikan kepada kaum wanita yang bekerja. 

Pemberian ASI oleh ibu pekerja sering mengalami kendala karena keterbatasan waktu dan ketersediaan fasilitas untuk menyusui di tempat kerja.

Seperti diketahui, ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi yang baru lahir. Kandungannya yang spesifik, membuat ASI banyak memberikan manfaat, mulai dari  membantu mengurangi risiko alergi pada bayi, menunjang pertumbuhan dan perkembangan fisik serta kecerdasan, hingga dapat menjadi sumber antibodi pada bayi.

Hal itu menjadi salah satu bahasan yang disorot pada perayaan Pekan ASI Sedunia 2023 yang mengangkat tema Enabling Breastfeeding: Making a Difference for Working Parents. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan menerjemahkan tema ini menjadi “Dukung Ibu Bekerja Tetap Menyusui”.

Saat ini, Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan hak cuti kepada pekerja selama tiga bulan. Satu setengah bulan sebelum dan satu setengah bulan setelah melahirkan. Tentunya periode cuti ini tidak selaras dengan periode pemberian ASI Eksklusif selama enam bulan.

IDAI menilai, masih tingginya ibu yang harus berhenti memberikan ASI pada anak setelah melahirkan disebabkan oleh multifaktor. 

“Hal itu terjadi karena kurangnya dukungan keluarga, dukungan tenaga medis, hingga karena harus kembali bekerja,” ucap Ketua Satgas ASI IDAI Dr. dr. Naomi Esthernita F Dewanto, SpA(K), Jakarta, Sabtu (30/09/2023).

Naomi menambahkan, salah satu faktor terbesar yang membuat ibu terpaksa menghentikan pemberian ASI pada bayi adalah karena ibu harus kembali bekerja setelah cuti melahirkan selesai. 

Karena itu, perlu dukungan yang besar untuk ibu agar bisa menyusui anaknya secara maksimal, dimana dukungan terbesar diharapkan didapat dari  tempat kerja.

Dengan keterbatasan dukungan menyusui di tempat kerja, kata Naomi, membuat banyak ibu berhenti menyusui lebih awal. Padahal, wanita membutuhkan waktu dan dukungan cukup dari lingkungannya agar bisa tetap menyusui dengan optimal. 

“Cuti yang hanya  3 bulan itu bisa berakibat tingkat ibu menyusui rendah. Ibu yang kembali bekerja terlalu dini dapat memberikan efek negatif terhadap berlangsungnya masa menyusui. Hal ini tentu membuat ibu tidak bisa memberikan ASI eksklusif selama enam bulan,” ujarnya.

Selain memberikan cuti yang lebih baik, dr Naomi juga mendorong perusahaan untuk bisa menyediakan ruang laktasi yang memadai. Dengan begitu ibu bisa menyusui atau memompa ASI dengan nyaman dan aman.

Dukungan itu tidak hanya waktu atau jeda bekerja untuk memompa ASI, dukungan bisa berupa penyediaan ruangan laktasi untuk menyusui atau untuk memompa ASI. Dukungan fasilitas tersebut, harus bersih, nyaman, aman, dan private untuk ibu.

Fasilitas Ruang Laktasi di Tempat Kerja 

Berdasarkan data studi kualitatif terkait implementasi kebijakan ramah menyusui di pabrik, kesuksesan dukungan program laktasi di tempat kerja terutama pabrik di Indonesia memang masih rendah dan hanya mencakup standar penyediaan ruang laktasi minimal tanpa ada dukungan fasilitas pendamping apalagi dukungan program dan promosi laktasi.     

Meskipun demikian, studi narrative review yang dipublikasikan di The Indonesian Journal of Community and Occupational Medicine (IJCOM) tahun 2022 menunjukkan bahwa dukungan kebijakan ramah laktasi di perkantoran sudah meningkat signifikan, bahkan di beberapa perkantoran multinasional tercatat adanya dukungan cuti melahirkan hingga 6 bulan serta keberadaan konselor laktasi di tempat kerja yang sudah menjadi standar aturan ketenagakerjaan bagi seluruh karyawan.

Selain kedua tantangan di atas, tantangan lain adalah masih kurangnya bukti ilmiah yang mendukung bahwa dukungan fasilitas, kebijakan dan promosi laktasi di tempat kerja adalah investasi dan bukan cost atau pembiayaan. 

Hal ini disampaikan oleh Dr. dr. Ray W Basrowi, MKK, praktisi kesehatan komunitas dan kedokteran kerja dari Health Collaborative Center.

“Salah satu faktor penting di Indonesia dalam melindungi pemberian ASI Eksklusif adalah terkait kebijakan-kebijakan perlindungan ASI Eksklusif di lingkungan kerja,” ujar Ray.

Mengutip expert judgement di editorial The Indonesian Journal of Community and Occupational Medicine (IJCOM) edisi 2023, Ray menegaskan bahwa bukti klinis terkait dampak dukungan laktasi terhadap produktivitas pekerja sebenarnya telah tersedia tetapi belum diedukasikan dengan optimal ke perusahaan, sehingga diperlukan suatu pedoman sederhana untuk meyakinkan tempat kerja bahwa investasi laktasi di perusahaan akan memberikan return of investment.

Meskipun peraturan dukungan untuk ibu menyusui masih membutuhkan penguatan, beberapa perusahaan telah melakukan inisiatif untuk mendukung pemberian ASI eksklusif. Contohnya perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Produk Bernutrisi untuk Ibu dan Anak (APPNIA).

“APPNIA menyadari pentingnya manfaat ASI Eksklusif dan dan nutrisi pada 1000 hari pertama kehidupan, serta mendukung  ibu, khususnya yang bekerja, agar dapat memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan bayinya,” ucap Poppy Kumala, Direktur Eksekutif APPNIA.

Back to top button