Ototekno

Pemanfaatan Satelit Satria-1 Butuh Kolaborasi dan Minim Egosentrisme

Guru Besar Universitas Airlangga, Henri Subiakto, meyakini bahwa satelit Satria-1 akan berdampak sangat luar biasa dalam perwujudan transformasi digital di Indonesia, tapi hanya jika dikelola dengan kolaborasi dan minim egosentrisme.

Henri menekankan pentingnya unit yang bertanggung jawab untuk mengoperasionalkan pelayanan dan pemanfaatan Satelit Satria-1 secara kolaboratif. “Dengan demikian, kedaulatan Indonesia di darat dan di angkasa bisa dijaga dengan Satria,” ujarnya dalam acara media update Forwat X Bakti Kominfo di Jakarta Pusat, Senin (31/7/2023).

Namun, egosentrisme dan kolaborasi yang hanya menjadi jargon merupakan tantangan yang harus diatasi. Henri juga menyoroti potensi kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat, BUMN, dan lembaga lainnya.

Menurutnya, dengan 50 ribu terminal yang akan dilayani, Satria-1 tidak hanya akan menopang layanan ekonomi, kesehatan, dan sosial politik, tapi juga untuk menjaga wilayah NKRI, termasuk penegakan hukum di laut dan hutan terpencil, serta jaringan internet bagi administrasi militer.

“Dengan Satria-1 yang merupakan milik RI dan dikendalikan Indonesia, tentu sangat relevan untuk menjaga kedaulatan internet negeri,” jelas Henri, membandingkan keunggulan Satria-1 dengan satelit lain seperti Starlink milik Elon Musk.

Henri juga menyuarakan harapannya bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam menciptakan inovasi dan memanfaatkan layanan tersebut dengan baik. “Masih banyak masyarakat ini belum sampai ke transformasi. Jadi perlu literasi yang benar-benar bahwa nanti jika ada infrastruktur, infrastrukturnya benar-benar dipakai untuk hal yang produktif,” tegasnya.

Satelit Satria-1 ditaksir akan memberikan akses internet gratis kepada sekolah, puskesmas, kantor pemerintah, dan fasilitas publik lainnya di wilayah 3T. Ini akan memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan informasi, pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik secara online, serta membuka peluang bagi partisipasi dalam ekonomi digital.

Back to top button