Kanal

Pelanggaran Konstitusi Jokowi, Bisakah Dimakzulkan?


Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai tak malu-malu lagi menunjukkan pelanggaran-pelanggaran konstitusi dan etika bernegara. Gerakan masyarakat sipil protes keras menyerukan berbagai tuntutan. Apakah bakal berujung dengan pelengseran Jokowi?

 

Di tahun politik ini, tepatnya dua pekan menjelang pencoblosan Pemilu 2024 pada 14 Februari mendatang, muncul gelombang protes dari berbagai perguruan tinggi terhadap penyelenggara negara, utamanya Presiden Jokowi. Bermula dari Sivitas Akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, yang menyuarakan petisi mengenai berbagai penyimpangan yang terjadi dalam dinamika politik nasional saat ini.

Dalam pernyataannya sikapnya yang dikenal dengan Petisi Bulaksumur UGM, sejumlah penyelenggara negara, termasuk Presiden Jokowi dinilai sudah menyimpang dari nilai-nilai Pancasila serta prinsip demokrasi kerakyatan.

Guru Besar Psikologi UGM Koentjoro yang membacakan isi petisi menyesalkan berbagai pelanggaran yang justru terjadi pada masa Pemerintahan Presiden Jokowi, yang juga merupakan bagian dari keluarga besar UGM.

“Semestinya berjalan sesuai standar moral yang tinggi dan dapat mencapai tujuan pembentukan pemerintahan yang sah atau legitimate,” ujar Koentjoro dikutip Inilah.com di Jakarta, Rabu (31/1/2024).

Berbagai penyimpangan yang dimaksud, yakni pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi (MK), keterlibatan sejumlah aparat penegak hukum dalam kegiatan demokrasi, dan pernyataan kontradiktif dari presiden terkait akan keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik, serta persoalan netralitas dan keberpihakan. Termasuk di dalamnya masalah penyaluran bantuan sosial (bansos) yang dipolitisasi.

Melalui petisi ini, mereka mendesak segenap aparat penegak hukum dan semua pejabat negara dan aktor politik yang berada di belakang presiden, termasuk presiden sendiri untuk segera kembali pada koridor demokrasi. Petisi tersebut juga ditujukan kepada DPR dan MPR untuk segera mengambil sikap dan langkah konkret terkait Pemilu 2024 agar berlangsung dengan baik, lebih berkualitas, dan bermartabat.

Petisi UGM lantas diikuti oleh berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta yang menyuarakan sikap serupa. Mereka di antaranya Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Indonesia (UI), Universitas Andalas (Unand), Universitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Brawijaya (UB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah, serta sejumlah Universitas Muhammadiyah.

Aspirasi kalangan akademisi itu sejalan dengan pernyataan sikap para aktivis dan tokoh yang tergabung dalam Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat pada Desember 2023. Lebih dari sekadar desakan untuk segera kembali pada koridor demokrasi dan konstitusi, Petisi 100 juga menuntut pemakzulan Presiden Jokowi.

Petisi 100 menyatakan, ada 10 alasan pemakzulan Jokowi yang telah disampaikan di Gedung DPR/MPR, Jakarta pada 20 Juli 2023. “Pemakzulan semakin relevan setelah adanya pelanggaran-pelanggaran konstitusional baru yang dilakukan Jokowi,” sebagaimana yang tertulis dalam siaran pers Petisi 100 di Jakarta, Kamis (7/12/2023).

Pelanggaran konstitusional itu antara lain keterlibatan Presiden Jokowi sebagai ipar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam pengambilan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai batas usia capres-cawapres. Majelis Kehormatan MK memutuskan Anwar Usman telah melanggar etik berat, sehingga diberhentikan sebagai Ketua MK.

Nepotisme Jokowi, menurut Petisi 100, jelas melanggar Pasal 22 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara. “Dengan pelanggaran ini, Petisi 100 akan segera melaporkan tindak pidana yang telah dilakukan oleh Jokowi, Anwar Usman, dan Gibran,” kata Petisi 100.

Petisi 100 juga menyinggung pengakuan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo yang menjelaskan adanya intervensi Jokowi terhadap KPK. “Kemudian merevisi UU KPK untuk memperlemah KPK dengan diadakannya SP3 dan menjadikan lembaga rasuah berada di bawah Presiden.”

Petisi 100 menyepakati akar masalah semua persoalan bangsa adalah Jokowi. Untuk itu, menuntut pemakzulan Presiden Jokowi sesegera mungkin dan diadili. Mereka mengaku berkewajiban terhadap upaya menyelamatkan bangsa dan negara.

Sejumlah tokoh dan ativis yang terlibat dalam Petisi 100 di antaranya mantan KSAD Jenderal TNI Purn. Tyasno Sudarto, mantan Ketua MPR Amien Rais, Guru Besar UGM Zainal Arifin Mochtar, pengajar UNS M. Taufiq, Ketua FUI DIY Syukri Fadholi serta perwakilan Petisi 100 Marwan Batubara.

Hanya Bisa Melalui DPR

Dari sejumlah penyimpangan etik dan pelanggaran konstitusi yang dinilai telah dilakukan Presiden Jokowi, pernyataan soal presiden boleh ikut berkampanye dan memihak, menjadi pemantik desakan pemakzulan Presiden Jokowi. Lalu bagaimana mekanisme pemakzulan?

Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menyebut mekanisme pemakzulan Presiden Jokowi berada di DPR. Oleh sebab itu, ia meminta masyarakat agar mendorong DPR untuk segera melaksanakan proses tersebut dengan memanfaatkan perubahan konfigurasi politik yang sekarang sudah terjadi karena koalisi-koalisi sudah berubah.

“Harusnya begitu, tapi kita tahu tantangannya. Satu, semua politisi itu kan pragmatis, parpol kita tidak ada yang ideologis sebenarnya,” kata Bivitri dalam diskusi mengenai pemilu curang menyoal netralitas presiden, di Jakarta, Kamis (25/1/2024).

Ia mencermati parpol akan memperhitungkan langkah jika menyerang Jokowi apa yang akan terjadi nantinya. Kemudian kendala kedua, yaitu karena pilpres dan pileg serentak, maka para anggota dewan pun kini sedang sibuk kampanye. “Tapi wacana ini tetap mesti kita dorong karena kita masyarakat sipil yang bisa bekerja di ruang-ruang yang sifatnya informal, diskusi,” ujarnya, menekankan.

Dalam pandangan Bivitri, demokrasi Indonesia saat ini sudah berada di tepi jurang, sehingga rakyat harus memakai segala cara untuk menjatuhkan Jokowi. “Jadi sudah melanggar belum? Sudah, jadi apakah itu kemudian bisa kita dorong sampai pemakzulan, menurut saya bisa. Cuma bolanya memang secara ruang politik formal bukan di tangan kita, tapi DPR. Harus didorong, bisa dimulai dengan interpelasi dan angket misalnya.”

Pemakzulan ini merujuk pada UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 282 dan 283, yang menyebutkan pejabat negara tidak boleh melakukan tindakan, kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta selama kampanye.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari mengamati pernyataan sensasional Presiden Jokowi itu setidaknya telah menggambarkan bahwa cawe-cawe yang dilakukan kepala negara bukan sekadar isu belaka. Namun sudah menjadi kenyataan dengan bukti pernyataan dari Jokowi. “Presiden bahkan sama sekali tanpa malu-malu mem-print out Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 299,” kata Feri dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (28/1/2024).

“Tapi Presiden tidak baca undang-undang yang lain. Misalnya Pasal 5 Undang-Undang 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, yaitu Korupsi, Kolusi, Nepotisme,” ujar dia, menambahkan.

Sebagaimana diamanatkan Pasal 5 tersebut, Jokowi dilarang melakukan tindakan yang tidak bertanggung jawab, dan melakukan tindakan yang akan menguntungkan keluarganya sendiri.

Merespons tuntutan kelompok masyarakat sipil untuk memakzulkan Presiden Jokowi, DPR menampung desakan tersebut dan juga menggarisbawahi, yaitu harus disertai bukti pelanggaran hukum yang dilakukan Jokowi. ”Jadi kita lihat apa urgensinya. Namun, namanya aspirasi, ya harus kami terima,” kata Ketua DPR Puan Maharani di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/1/2024).

Sikap Tiga Kubu Capres

Kubu calon Presiden-calon Wakil Presiden nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) dan kubu Capres-Cawapres nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud Md sependapat dengan tuntuan gerakan Petisi 100 dan desakan kalangan perguruan tinggi tersebut. Namun berbeda dengan kubu Capres-Cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Tim Pemenangan Nasional Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN) merespons positif sejumlah petisi dari kalangan kampus yang menyampaikan kekhawatiran terhadap tindak tanduk Presiden Jokowi di Pilpres 2024.

Kapten Timnas AMIN, M. Syaugi Alaydrus menyatakan mendukung penuh pernyataan sikap sivitas akademika. Terlebih, menurutnya, dengan situasi negara saat ini yang diwarnai berbagai penyimpangan oleh penyelenggara negara, termasuk oleh Presiden Jokowi.

“Kan kita selama ini kan sudah tahu kita bagaimana situasi negara ini makanya ada tagline dari Pak Anies-Muhaimin perubahan itu. Kita menginginkan perubahan yang menjadi lebih baik,” kata Syaugi di Jakarta, Kamis (1/2/2024).

Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud Md, Todung Mulya Lubis mengatakan pernyataan Presiden Jokowi soal boleh berkampanye dan memihak memperkuat alasan memakzulkan orang nomor satu di Indonesia itu. Pasalnya, dia menilai Jokowi melanggar sumpah jabatan yang tertuang dalam Pasal 9 UUD 1945.

“Kalau presiden tidak melaksanakan tugasnya, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, maka bisa saja hal ini ditafsirkan sebagai perbuatan tercela. Kalau ini disimpulkan sebagai perbuatan tercela, maka ini bisa dijadikan sebagai alasan untuk pemakzulan,” kata Todung di Jakarta, Kamis (25/1/2024).

Todung kembali memperkuat alasan pemakzulan Jokowi dengan merujuk pada Pasal 7a UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden yang terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya dapat dimakzulkan.

Sedangkan Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran justru menuding kalangan sivitas akademika pembuat petisi adalah pendukung capres tertentu. Juru Bicara (Jubir) TKN Prabowo-Gibran Hasan Nasbi, mengklaim dirinya pada akhir Desember 2023 sudah menebak akan ada orang-orang yang seolah-olah bukan tim pasangan calon presiden-wakil presiden tertentu akan menggerakkan mosi ketidakpercayaan terhadap Presiden Jokowi.

“Mereka akan menyuarakan pemakzulan atau apapun itu untuk mendegradasi Pak Jokowi, padahal mereka pendukung paslon tertentu,” ujar Hasan dikutip dari tayangan YouTube Liputan6, Minggu (4/2/2024).

Adapun Presiden Jokowi dalam menanggapi banyaknya sorotan lewat pernyataan sikap dan petisi oleh sivitas akademika menilai sebagai bagian dari hak demokrasi dan mesti dihargai. “Ya, itu sebagai bagian dari hak demokrasi yang harus kita hargai,” ucap Jokowi dalam tayangan akun YouTube Sekretariat Presiden di Jakarta, Sabtu (3/2/2024).(Obes/Diana/Syahidan)

Back to top button