News

Ogah Tanggapi Amicus Curiae Megawati, Airlangga Pilih Tunggu Putusan MK


Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Airlangga Hartarto enggan menanggapi sikap Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, yang mengajukan diri sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan, terkait sengketa Pilpres 2024.

“Kita tunggu saja keputusan dari MK (Mahkamah Konstitusi),” kata Airlangga di Hotel Double Tree, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (16/4/2024) malam.

Tak hanya itu, Airlangga juga lebih memilih untuk menghormati proses yang ada, daripada memikirkan isi surat Megawati, yang menyebutkan Pemilu 2024 sebagai puncak kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

“Kita tunggu hasil keputusan MK, jadi kita menghormati proses yang sedang berjalan,” tandasnya.

Sebelumnya, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengajukan diri sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan dalam sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah ini dilakukan sebagai bentuk keprihatinan atas pelaksanaan Pilpres 2024 yang dirasakannya penuh dengan kecurangan terstruktur, sistematis dan masif (TSM).

Pengajuan diri itu diungkapkan Megawati dalam surat yang dititipkan kepada Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto dan Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat.

“Saya adalah seorang warga negara Indonesia yang juga menaruh perhatian khusus pada Mahkamah Konstitusi (MK), sang anak kandung reformasi,” kata Megawati dalam surat tersebut, Jakarta, Selasa (16/4/2024).

Megawati Resah Atas Penyelenggaraan Pemilu 2024

Keresahan terhadap kondisi demokrasi saat ini, tulis Megawati, tampak dari penyelenggaraan Pilpres 2024 yang kental akan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Dia pun mengungkit turunnya indeks demokrasi Indonesia dari posisi 52 ke 54 dalam kurun waktu satu tahun.

“Dengan mencermati pelbagai laporan tersebut, kemampuan Mahkamah Konstitusi di dalam menyelesaikan sengketa pemilihan umum tentu menjadi tolak ukur bagi peningkatan kualitas demokrasi. Sebab, kecurangan tanpa efek jera akan semakin mematikan demokrasi,” ujarnya.

Selanjutnya, Presiden RI Ke-5 ini kembali menyinggung kerumitan Pemilu yang dimulai pada tahun 1971 yang melibatkan aparat negara dalam proses penyelenggaraannya. Kemudian, hal ini semakin menguat manakala kepentingan geopolitik global turut terlibat di dalamnya.

“Politik bantuan sosial diterapkan secara masif pada tahun 2009 seiring dengan meningkatkan populisme. Sementara penggunaan aparat penegak hukum, termasuk Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia, dipraktikkan pada Pemilihan Umum Tahun 2009 dan 2019,” ujarnya.

Tak berhenti sampai di situ, Megawati kembali menyoroti keterlibatan pemerintah, yakni Jaksa Agung RI, dalam menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan elektoral. Akibatnya, evolusi kecurangan terus terjadi dan tidak memiliki efek jera bagi siapa pun hingga saat ini.

“Pilpres 2024 merupakan puncak evolusi hingga bisa dikategorikan sebagai kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Ditambah motif nepotisme yang mendorong penyalahgunaan kekuasaan Presiden,” tuturnya.

Namun disorti Megawati, nepotisme ini berbeda dengan zaman Presiden Soeharto. Padahal, penyelenggaraan pemilu masih tetap dijalankan oleh seluruh lembaga dan pemerintah.

“Lalu, pertanyaan kritis kita: apa dan siapa yang salah? Dengan tegas saya menjawab sendiri, bukan sistem hukum Indonesia yang salah. Pelaksanaan hukum yang menjadi tanggung jawab pemimpin itulah yang salah,” ujarnya. 

Back to top button