Kanal

Nepotisme pada Kepemimpinan Anak Muda: Bisakah Berjalan dan Ancaman Taruhannya

Tidak ada plus atau kelebihan dari nepotisme, yang ada hanya kekurangan yang berlebih.

Belakangan kembali mencuat istilah nepotisme setelah putra dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), yaitu Gibran Rakabuming Raka maju sebagai salah satu bakal calon wakil presiden (bacawapres) pada Pemilu 2024.  

Bisa melenggangnya Gibran yang baru berusia 36 tahun dinilai oleh publik penuh kontroversi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Persoalannya, Ketua MK yang mengeluarkan putusan tersebut adalah Anwar Usman yang merupakan paman dari Gibran. Dua hal yang disoroti publik dalam hal ini adalah soal nepotisme dan usia muda Gibran sebagai bacawapres. Nepotisme sendiri dapat diartikan sebagai perilaku atau tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.

Lantas bagaimanakah plus minus nepotisme pada kepemimpinan muda?

Terlepas dari status Gibran adalah putra Presiden Jokowi dan keponakan dari Ketua MK Anwar Usman, Ketua Umum DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) M. Ryano Panjaitan memandang keputusan MK tersebut tidak hanya merobohkan stigma bahwa pemuda tidak dapat memimpin, tetapi juga membuka peluang bagi generasi muda untuk terlibat aktif dalam proses politik.

Bagi Ryano, dengan terbitnya keputusan MK tersebut, maka pemuda sudah bisa menjadi subjek dalam proses politik 2024 di mana potensi suara pemuda mencapai 56% pada saat ini.

Dengan begitu, Pemilu 2024 menjadi panggung pemuda Indonesia untuk dapat membuktikan kemampuan mereka sebagai pemimpin masa depan. Kehadiran pemimpin muda bisa membawa semangat baru, inovasi, dan kreativitas, serta kepedulian pada kepentingan rakyat.

“Konteksnya mungkin bukan soal ujug-ujug atau nepotisme, tapi pada sejauh mana anak muda siap atau menyiapkan diri jika ada kesempatan untuk unjuk diri tampil sebagai pemimpin. Toh di tangan rakyat atau masyarakatlah yang menentukan pada akhirnya,” kata Ryano dalam keterangannya kepada Inilah.com di Jakarta, Minggu (29/10/2023).

Menyinggung soal rakyat menjadi taruhan, Ryano juga berpandangan sepertinya tidak akan seperti itu. Menurutnya, pengalaman dari pemilu ke pemilu malah jumlah partisipasi dalam pemilu yang terus naik. “Jika sudah seperti ini kita sendiri atau rakyat yang juga ikut berkontribusi dalam keterpilihan pemimpin,” tuturnya.

“Kita sebagai rakyat juga harus benar-benar ikut serta dalam proses pemilu ini. Sebab jika tidak, kita telah benar-benar mempertaruhkan nasib kita pada orang yang kita tidak ketahui latar dan riwayat kepemimpinannya,” kata Ryano, menambahkan.

Adapun mengenai contohnya, dia menyebut banyak kepala daerah muda yang juga prestatif, di Sumatera, Kalimantan, sampai Papua. “Cuma kesempatannya saja yang memang belum ada, maka kita bersyukur juga sebenarnya dengan keadaan saat ini, saat kepemimpinan nasional terbuka bagi pemimpin daerah muda. Saya melihat ini positif bagi masa depan republik ini.”

Nepotisme adalah Kejahatan

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai tidak ada plus atau kelebihan dari nepotisme, dan yang ada hanya kekurangan yang berlebih. Bagi Dedi, nepotisme tidak mendahulukan kapasitas, hanya untuk kepentingan keluarga dan mengeruk sebanyaknya kekuasaan. “Itulah sebab nepotisme merupakan kriminal, kejahatan ekstra,” ujar Dedi dalam keterangannya kepada Inilah.com di Jakarta, Minggu (29/10/2023).

Menurut Dedi, meskipun konstitusi memberikan ruang dari sisi teknis, yakni melalui pemilihan, tetapi akses untuk mendapatkan peluang dengan mudah, dan potensi adanya kekuasaan dijadikan alat untuk mewujudkan kepentingan sedikit orang, maka hal ini menimbulkan masalah.

Untuk itu, dia menekankan bahwa publik perlu menyadari dan menghindari memilih pemimpin yang secara terang muncul karena akses kekuasaan, bukan karena kapasitas. “Bagaimanapun, sebuah negara bisa dipertaruhkan hanya demi kepentingan keluarga, itu risiko yang sangat besar.”

Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina Putut Widjanarko berpendapat tidak semua masyarakat mempersoalkan secara keseluruhan putusan MK yang membuat warga yang berusia 35 tahun bisa menjadi bakal capres atau cawapres. Namun yang jadi masalah, menurut Putut, adalah caranya, yaitu kenapa diputuskan sekarang.

Sementara itu, ada pula masyarakat yang tidak sepakat dengan putusan MK karena sudah memiliki sentimen negatif terhadap satu tokoh politik tertentu. “Itu harus dibedakan dengan orang yang merasa secara politik jalannya menjadi terhambat karena adanya putusan ini,” katanya, di Jakarta, Minggu (29/10/2023).

Ia menggarisbawahi, dengan memahami spektrum pendapat masyarakat terhadap suatu peristiwa, misalnya terhadap putusan MK terkait batas usia capres dan cawapres, maka polarisasi dapat dihindari. “Kalau kita mengenali bahwa pandangan masyarakat ada spektrumnya, kita tidak gebyah uyah, tidak memasukkan satu orang ke dalam satu kategori besar yang berpotensi menimbulkan polarisasi,” ujarnya.

Back to top button