News

Negara-Negara Barat Mulai Berbalik Kecam Agresi Israel

Negara-negara Barat mulai berbalik arah mengkritik dan mengecam Israel atas agresinya di Jalur Gaza, Palestina, yang telah menewaskan belasan ribu orang.

AS, yang merupakan sekutu terdekat Israel, kini mulai melontarkan kritik paling kerasnya kepada Tel Aviv lantaran banyak warga sipil Gaza yang berjatuhan imbas serangan brutal pasukan Zionis.

“Terlalu banyak warga Palestina yang terbunuh, terlalu banyak yang menderita di masa lalu,” kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken saat berkunjung ke India, Jumat (10/11/2023), seperti dikutip Reuters.

Blinken menyerukan Israel agar tetap melindungi warga sipil di Gaza dan tidak menewaskan lebih banyak korban jiwa yang tak bersalah.

Meski demikian, dalam kesempatan tersebut, Blinken tetap menegaskan kembali dukungan AS terhadap aksi militer Israel untuk memastikan Gaza ‘tidak dapat lagi digunakan sebagai wadah meluncurkan aksi terorisme’.

Prancis juga mulai mengkritik agresi Israel di Gaza. Presiden Emmanuel Macron mengatakan Israel harus berhenti membombardir Gaza dan membunuh warga sipil.

“Bayi-bayi ini, para perempuan ini, orang-orang lanjut usia ini dibom dan dibunuh. Jadi tidak ada alasan untuk itu dan tidak ada legitimasi. Kami mendesak Israel untuk berhenti,” kata Macron dalam wawancaranya dengan BBC akhir pekan lalu.

Ia menyatakan bahwa Prancis mengutuk tindakan ‘terorisme’ Hamas ke Israel. Kendati begitu, dia tidak setuju Israel membombardir warga sipil di Gaza.

“Namun, meski mengakui hak Israel untuk melindungi diri, kami mendesak mereka [Israel] untuk menghentikan pengeboman di Gaza ini,” kata Macron.

Spanyol juga mulai lantang bersuara terkait agresi Israel ke Jalur Gaza. Menteri Sosial Ione Belarra menyerukan komunitas internasional untuk menjatuhkan sanksi ke Israel yang dinilai tengah ‘merencanakan genosida’ di Gaza.

“Israel harus menghentikan genosida terencana ini terhadap warga Palestina,” kata Belarra pada Rabu pekan lalu (8/11/2023), seperti dikutip Al Jazeera.

“Mengapa kita bisa memberikan pelajaran tentang hak asasi manusia dalam konflik lain dan tidak di sini ketika dunia menyaksikan kengerian ini? Kematian ribuan anak, para ibu-ibu berteriak putus asa karena menyaksikan pembunuhan anak-anaknya,” ucapnya lagi.

Belarra bahkan menyindir negara-negara besar yang seakan tutup mata atas kebrutalan yang terjadi di Jalur Gaza.

“Ada keheningan yang memekakkan telinga di banyak negara dan begitu banyak pemimpin politik yang bisa melakukan sesuatu. Saya berbicara tentang apa yang saya ketahui dengan baik, yaitu Uni Eropa. Tampaknya kemunafikan yang ditunjukkan oleh Komisi Eropa tidak dapat diterima,” kata dia.

Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau juga akhirnya mendesak Israel melakukan jeda sementara atas agresinya di daerah kantong tersebut. Meski tetap menyinggung kecamannya terhadap Hamas, Trudeau juga menyerukan agar Israel memberikan waktu untuk meredakan situasi di Gaza.

Hal itu, menurut dia, diperlukan untuk membebaskan semua sandera hingga menyediakan koridor aman bagi bantuan dan medis memasuki Gaza.

“Dan saat kita benar-benar melakukan pekerjaan berat yang diperlukan untuk kembali ke jalur solusi dua negara, untuk mulai membayangkan seperti apa masa depan jangka panjang negara Palestina yang layak, aman. Dan di samping negara Israel yang aman, terjamin, maju, dan sukses,” kata Trudeau, seperti dikutip CTV News.

Norwegia juga mendesak agar jeda kemanusiaan segera dilakukan di Gaza. Perdana Menteri Jonas Gahr Store mengatakan hal itu diperlukan di tengah eskalasi konflik yang sudah makin membuat warga sipil menderita akibat kelangkaan kebutuhan pokok seperti makanan, obat-obatan, dan bahan bakar.

“Norwegia mendukung jeda kemanusiaan (di Gaza). Kebutuhan kemanusiaan sangat besar,” kata Store, seperti dikutip kantor berita Xinhua.

Jumlah korban tewas imbas agresi Israel di Jalur Gaza, Palestina, sudah melampaui 11.100 orang hingga Minggu (12/11/2023). Dari total tersebut, lebih dari 8.000 di antaranya adalah anak-anak dan perempuan.

Kantor media pemerintah Gaza melaporkan serangan terhadap rumah sakit di Gaza, serta upaya Israel mencegah ambulans keluar masuk rumah sakit untuk mengantar pasien dan jenazah, membuat Kementerian Kesehatan sejak Sabtu (11/11/2023) tidak bisa mengeluarkan statistik akurat mengenai jumlah korban tewas dan luka-luka dalam beberapa jam terakhir.

“Kami ingat bahwa pasukan pendudukan (Israel) melakukan lebih dari 1.130 pembantaian dan jumlah korban mencapai lebih dari 11.100 orang tewas, termasuk lebih dari 8.000 anak dan perempuan, dan jumlah korban luka lebih dari 28 ribu orang,” tulis media tersebut, seperti dikutip Anadolu Agency.

Dalam beberapa waktu terakhir, militer Israel mengintensifkan serangan darat dan udara di rumah sakit-rumah sakit Gaza utara, khususnya RS Al Shifa.

Kendaraan militer Israel ditempatkan di dekat gerbang utama Al Shifa, yang secara langsung menargetkannya di tengah baku tembak serta serangan drone tiada henti.

Tiga badan PBB yang terdiri dari UNFPA, UNICEF, dan WHO telah mengecam situasi horor yang dialami fasilitas kesehatan di Gaza selama lebih dari sebulan agresi Israel tersebut.

“Dunia tak bisa diam di saat rumah sakit, yang seharusnya menjadi tempat aman, bertransformasi menjadi tempat kematian, ketakutan, dan keputusasaan,” demikian pernyataan bersama tiga badan PBB tersebut.

Warga sipil Gaza sendiri hingga kini masih kesulitan mendapat kebutuhan pokok seperti makanan dan air bersih. Sebagian besar rumah sakit juga sudah mulai kolaps karena kehabisan bahan bakar sehingga tak bisa lagi beroperasi.

Bayi-bayi prematur pun harus meregang nyawa akibat inkubator di rumah sakit tak bisa lagi berfungsi.
 

Back to top button