Kanal

Musim Stres Para Caleg


Supono, dari Rumah Rehabilitasi Mustajab, membagi caleg stres ke dalam dua kelompok yakni stres ringan dan stres berat. Yang ringan jika sang caleg gagal hanya menunjukkan gejala meronta-ronta, menyanyi, berjoget, atau berteriak-teriak. Sementara jika sudah sampai memukul orang-orang di sekitarnya dikategorikan sudah stres berat.

Oleh     :   Akmal Nasery Basral

–Sosiolog, sastrawan. Penerima Anugerah Sastra Andalas 2022, dan Anugerah Penulis Nasional 2021 dari Perhimpunan Penulis Nasional Satupena. 

Sebulan jelang pemilu 14 Februari 2024, bukan hanya tiga pasang calon presiden dan wakil presiden yang mengalami peningkatan hormon kortisol. Produksi hormon penyebab stres itu juga dirasakan oleh 9.917 calon legislatif DPR RI dan 686 caleg DPD RI yang tercantum dalam Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilu 2024.

Sebabnya sederhana: tidak semua caleg akan mendapat kursi yang diincar, sementara mereka sudah begitu banyak mengeluarkan ikhtiar. Dari investasi waktu, stamina, konsentrasi, hingga segala hal yang harus dibayar. Seperti ungkapan ‘tak ada makan siang gratis’, maka ‘tak ada kursi gratis’ juga bagi seorang caleg. Setiap kursi ada harganya,  entah dari kantong sang caleg sendiri atau dari kantong bohir. 

Dari sini pemicu stres utama para caleg bermula. Jika lelah berbulan-bulan kampanye—meski berakhir kalah—bisa dipulihkan dengan istirahat panjang atau liburan, tetapi untuk guyuran cuan yang sudah dicurahkan bagaimana mengumpulkannya kembali? Apalagi jika dana kampanye berasal dari gadai mobil atau rumah, atau utang yang harus segera dikembalikan jika tak ingin bunga-berbunga? 

Maka setiap usai Pileg selalu muncul kabar tentang caleg yang stres, depresi, sampai menunjukkan gejala Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Bentuk stres dan depresi itu marah-marah tak terkontrol di rumah kepada anak dan istri, menjadi pendiam yang mengalahkan bisunya arca batu, keranjingan joget melebihi penyanyi dangdut, mendatangi tempat-tempat keramat, atau bahkan menghilang tak tentu rimbanya karena malu dengan keluarga dan tetangga. 

Penyebabnya? “Karena mereka hanya siap jadi (terpilih) tetapi tidak siap gagal,” ujar Supono, pendiri Rumah Rehabilitasi Mustajab, Purbalingga, Jawa Tengah, yang usai Pileg 2019 menampung 18  orang caleg stres di antara 200-an pasien ODGJ. Caleg stres yang ditampung di Mustajab tak hanya dari Jawa Tengah, bahkan ada yang dari Kalimantan Timur.

Adalah BBC News Indonesia yang membuat dokumenter pendek tentang Rumah Rehab Mustajab dan para caleg stres pasien mereka usai Pileg 2019.  Tayangan singkat 5 menit 35 detik yang bisa ditonton di YouTube tersebut perlu disimak oleh para caleg tahun ini dan keluarga mereka agar tak terjerumus dalam gangguan mental serupa. 

Supono membagi caleg stres ke dalam dua kelompok yakni stres ringan dan stres berat. Yang ringan jika sang caleg gagal hanya menunjukkan gejala meronta-ronta, menyanyi, berjoget, atau berteriak-teriak. Sementara jika sudah sampai memukul orang-orang di sekitarnya dikategorikan sudah stres berat. Untuk penanganan caleg stres berat akanditangani oleh dokter ahli kesehatan jiwa, sedangkan yang stres ringan ditangani Supono dan anak buahnya. 

Para caleg stres dirukyah, diajari membaca Al Qur’an, memperbanyak membaca shalawat Nabi, menegakkan salat, sampai latihan antre agar tidak menyerobot orang lain serta latihan duduk yang benar, tidak mengganggu pasien lain. Mereka pun diajari agar menerima kenyataan hidup. “Setelah itu orang tuanya atau pasangan hidupnya kami panggil ke sini,” ujar Supono. “Jika mereka menangis, meminta maaf kepada orang tua atau pasangan hidup mereka, bersimpuh, maka saya tahu mereka sudah sembuh.”

Salah seorang caleg gagal setelah dua kali pileg adalah Del, ayah dua orang anak, yang berasal dari dapil Jawa Barat. Untuk pileg pertama yang diikutinya pada 2014, Del kehilangan Rp2 miliar. Untuk pileg 2019, Del tak menyebutkan dana kampanye yang habis. Yang jelas, satu mobil dijual dan tabungan dibongkar. Yang membuat Del stres adalah kemarahan luar biasa karena dia merasa dicurangi. 

Untungnya, Del memiliki seorang istri yang penuh pengertian. “Saat saya tahu suami saya gagal, saya hanya tanya lalu setelah ini mau apa? Saya tidak menyalahkan dia,” ujar sang istri kepada video reporter BBC News Indonesia, Rivan Dwiastono dan Oki Budhi, yang mewawancarai. 

Sikap empatetik itu manjur mengurangi tekanan stres bagi Del. “Saya merasakan bahwa bagi keluarga saya kekalahan itu bukan sebuah kehinaan, bukan sebuah kejelekan,” katanya. Dalam konteks ini, Del beruntung karena memiliki dukungan penuh dan belahan jiwa dan keluarganya yang bisa memahami bahwa kalah menang dalam kontestasi politik adalah hal biasa. 

Kisah dramatis tentang caleg stres ini bisa diperpanjang, bahkan dibukukan karena tak akan kehabisan bahan. Tetapi untuk pembaca Inilah.com, satu kisah terakhir ini mungkin bisa mengingatkan kenangan pada pileg satu dekade lalu. Ketika itu seorang caleg berinisial Can dari Pekalongan, Jawa Tengah, buntu pikirannya setelah gagal pileg. Utang menggunung. Selain ratusan juta rupiah dari pinjaman, juga akibat secara nekat menggadaikan tiga mobil yang dia sewa dari sebuah rental

Tersudut tak ada pilihan, Can ke Jakarta dan menggelandang di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat. Tujuannya satu: bertemu Menteri BUMN (saat itu) Dahlan Iskan. Can ingin menawarkan ginjalnya untuk dijual dan minta bantuan Dahlan untuk mencarikan calon pembeli! Untunglah Dahlan tak menggubris ide sableng itu dan memilih membantu melunasi utang-utang Can. 

Lantas bagaimana cara agar para caleg tidak terperangkap dalam tekanan stres berkepanjangan jika kalah? 

Pertama, dalam sebulan terakhir ini harus memperbanyak doa dan ibadah, sesibuk apapun urusan kampanye. Luruskan niat dan pertebal keyakinan bahwa segala yang terjadi adalah seizin Allah. Jika menang atas izin Allah, pun seandainya kalah. 

Kedua, lakukan semua proses dari kampanye sampai memantau penghitungan suara dengan benar tanpa curang sedikit pun. Lebih terhormat kalah dengan benar ketimbang menang dengan curang. 

Ketiga, siapkan mental keluarga inti (pasangan hidup dan anak-anak) agar bisa menerima kenyataan seandainya mimpi tak tercapai. Juga siapkan mental keluarga besar dan kerabat dekat dengan cara serupa. Saling mendukung antarkeluarga untuk siap menang dan siap kalah akan menjadi penenang. 

Keempat, jika kekalahan tak terelakkan, hadapi secara jantan dan lapang dada. Semakin perbanyak ibadah dan tawakal, penyerahan diri kepada Yang Maha Kuasa. Hadapi semua risiko dengan kepala dingin. Jangan melarikan diri dan menghilang. Kalah pileg bukan akhir segalanya. Dunia belum kiamat. 

Meminjam sebuah ungkapan hikmat masyarakat Jepang, “Belajarlah dari pepohonan. Meski daun-daun mereka berguguran, mereka tetap tegak menyambut kedatangan tahun berikutnya.”

Gagal dalam Pileg 2024 masih ada Pileg 2029, bagi yang masih ingin terus berkontestasi. Bagi yang ingin banting setir dan ganti profesi, kekalahan dalam pileg bisa dimaknai sebagai sinyal ilahi bahwa anda mungkin tidak cocok sebagai politisi. Ada 1001 cara untuk tetap membangun negeri tercinta tanpa harus menjadi anggota legislatif.

Selamat berkontestasi. Semoga fenomena caleg stres dan depresi pada pileg kali ini menurun jauh dibandingkan pemilihan-pemilihan sebelumnya. [dsy]

 

Back to top button