Kanal

Multi-Interpretasi Seragam Relawan Ganjar

Kalau, misalnya, relawan Ganjar memaknai—katakan—‘’seragam tahanan Yahudi” itu sebagai simbol kaum tertindas (the oppressed), bukankah setiap agama pun meminta penganutnya membela dan memerdekakan kaum tertindas? Alih-alih hanya menjadikan ritual-ritual agama sebagai tujuan, ikrar Muslim bahwa tiada Tuhan selain Allah berarti ikrar bahwa setiap penindasan harus dihancurkan, karena penindasan adalah bentuk pengingkaran terhadap kekuasaan Allah.

Oleh: Darmawan Sepriyossa

Mungkin anda suka

Barangkali, meski belum mendeklarasikan siapa calon wakilnya, Ganjar Pranowo adalah calon presiden yang  paling siap menyongsong kontestasi Pilpres 2024 mendatang. Setidaknya, Ganjar adalah calon presiden pertama dari tiga tokoh yang sering disebut-sebut sebagai bakal kontestan Pilpres 2024, yang telah memilih dengan tegas seragam kampanyenya.

Seragam tersebut adalah kemeja bermotif garis-garis hitam putih vertikal. Konon, kata Ganjar saat mengenalkan seragam itu kepada para pendukungnya, Rabu (19/7/2023) lalu, ide motif seragam tersebut datang dari Presiden Joko Widodo. “Saya bukan orang abu-abu,”kata Ganjar pada acara yang bertajuk “Silaturahmi 1 Muharam 1445H-Relawan Ganjar Pranowo” di Wisma Serbaguna Senayan, Jakarta, tersebut. Itulah tampaknya filosofi dari motif dan warna yang dipilihnya itu.

Ganjar mengurai lebih rinci filosofi tersebut saat menyampaikan sambutan untuk dukungan para simpul massa pendukungnya itu. Menurut Ganjar, motif tersebut merepresentasikan ketegasan sikap yang–dalam istilahnya–menjauhi sikap “abu-abu”. Tidak hanya itu, garis yang vertikal pun menunjukkan sikap tegak lurus khususnya untuk para relawan. Vertikal adalah simbol keteguhan sikap untuk satu dukungan terhadap satu kandidat pada Pilpres 2024, yaitu Ganjar sendiri.

Tetapi tentu saja itu tafsir dari sisi Ganjar dan pendukungnya untuk motif dan warna tersebut. Karena garis-garis hitam putih khas zebra itu telah ada jauh sebelum Ganjar dan kawan-kawan mendeklarasikannya sebagai seragam mereka, tentu saja motif yang sama pun bisa dianggap memiliki simbol lain oleh kalangan lian.

Misalnya, seiring kebangkitan gerakan lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) yang memilih simbol bendera pelangi untuk gerakan mereka, kalangan heteroseksual, terutama mereka yang sengaja bergabung untuk menentang gerakan LGBT, memilih bendera sendiri. Mereka mengganti garis warna bendera pelangi LGBT dengan garis hitam dan putih bergantian. Garis hitam-putih itu tentu mendatar (horizontal).

Namun, kata Wikipedia dalam entry-nya, sebagian orang mungkin keberatan dengan bendera yang akan sangat mengingatkan mereka pada garis-garis Zebra atau seragam penjara di masa lalu itu. Bagi kalangan generasi X atau sebelumnya, bendera seperti itu memang akan otomatis mengingatkan mereka akan bacaan masa lalu tentang sekelompok figur antagonis dalam Disney’s Comic, “Gerombolan Si Berat” atau di dunia Barat dikenal sebagai “Beagle Boys”.

Ada pula kejadian nyata yang melibatkan motif yang serupa benar dengan seragam kaum Ganjaris. Menurut situs FashionNetwork.com, baru-baru ini label mewah Spanyol, Loewe, telah meminta maaf dan menarik dua jenis pakaian dari penjualan mereka. Kedua jenis pakaian yang dibandrol masing-masing seharga 1.840 dolar AS atau sekitar Rp 27.600.000 pada kurs 15 ribu itu dikritik keras karena mirip dengan seragam yang dikenakan para tahanan Yahudi di kamp konsentrasi Nazi, Kamp Auschwitz.

Tak ada angin apa pun yang menghembus kedua potong pakaian mahal yang juga diiklankan di majalah mode Vogue edisi Inggris itu sebelum akun Instagram Diet Prada yang memiliki lebih dari 1,6 juta pengikut mempersoalkannya.

“Tidak dapat melihat apa pun kecuali seragam kamp konsentrasi dalam ansambel seharga $1.840 dari kapsul William De Morgan milik Loewe ini, sebuah koleksi yang dimaksudkan untuk ‘menangkap kebebasan berimajinasi [sic]’,” kata Diet Prada dalam postingannya. Di hari yang sama Loewe kontan mengaplod permintaan maaf melalui fitur Stories di akun Instagram-nya, dan menarik koleksi itu.

Loewe ternyata bukan label pertama yang terlibat dalam kontroversi semacam ini. Pada 2014 lalu, raksasa mode Spanyol lainnya, Zara, menarik dari penjualannya sebuah kaos dengan garis horizontal dan bintang kuning di bagian dada. Kaos itu dituduh terlalu mirip dengan seragam yang dikenakan oleh narapidana di kamp konsentrasi Yahudi.

Tetapi tentu saja hal itu tak harus mengganggu relawan Ganjar. Tidak sebagaimana di Eropa dan AS, urusan Yahudi di sini tak sesensitif itu. Selain bisa dijawab tegas,”Kalau memang itu seragam tahanan di kamp konsentrasi Yahudi, lalu apa?”, bukankah pemaknaannya sangat tergantung pada sisi relawan sendiri?

Kalau, misalnya, relawan Ganjar memaknai—katakan—‘’seragam tahanan Yahudi” itu sebagai simbol kaum tertindas (the oppressed), bukankah setiap agama pun meminta penganutnya membela dan memerdekakan kaum tertindas?  Dari sekian banyak ayat Alquran yang mengharuskan kaum Muslim membela mustadháfin (kaum tertindas), ada ayat ke-177 Surat Al Baqarah ini:

“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

Intinya, dalam Islam definisi kebajikan (al birri) adalah keterpaduan antara keimanan (transendesi) dengan praksis gerakan. Islam bukan hanya masalah kalkulasi dosa dan pahala. Islam juga bukan sekedar mengiming-imingi manusia dengan surga dan menakut-nakutinya dengan neraka. Islam adalah ajaran rahmat bagi seluruh alam, cara Ilahiyah untuk melakukan transformasi dari zaman penindasan menuju zaman pembebasan.

Selain para pemikir Islam seperti Asghar Ali dan Hasan Hanafi sebagai contoh, intelektual Islam Indonesia, alm Kuntowijoyo, percaya bahwa pada dasarnya Islam memiliki perangkat yang cukup untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan. Alih-alih hanya menjadikan ritual-ritual agama sebagai tujuan, ikrar Muslim bahwa tiada Tuhan selain Allah berarti ikrar bahwa setiap penindasan harus dihancurkan. Karena penindasan adalah bentuk pengingkaran terhadap kekuasaan Allah.

Alhasil, kaum Ganjaris bisa mengatakan bahwa seragamnya adalah tanda pembebasan manusia dari ketertindasan. Akan halnya di masa lalu seragam itu dipakai tahanan Yahudi, tak jadi masalah, karena lain dari saat ini di saat mereka pongah, sombong dan justru penindas, di masa penyiksaan Nazi, Yahudi adalah si tertindas yang harus dibela.

Atau mungkin, kalau pun dihubungkan dengan seragam tahanan Nazi dan Kamp Auschwitz, kaum Ganjaris sejatinya bisa mengambil sisi positif atas fakta itu. Kita tahu, di kamp tersebut, sebelum kemudian dibunuh secara massal di kamar gas, para tahanan itu menjalani kerja paksa.

Dalam film box-office dunia, “Life Is Beautiful”, yang dibintangi dan disutradarai actor Italia, Roberto Benigni, kita menyaksikan betapa para tahanan itu bekerja keras setiap hari. Bolehlah kita katakan, itu kan hanya karena paksaan dan risiko berat bila bekerja setengah hati.

Tetapi yang jelas, para tahanan itu memang bekerja mati-matian. Seolah, memang benar mereka menghayati satu slogan berbahasa Jerman yang dilas kuat di gerbang Auschwitz,” Arbeit macht frei—Kerja itu membebaskan!”

Artinya, ke dalam, bagi para Ganjaris, seragam itu menegaskan bahwa mereka akan bekerja keras menuju tujuan, menempatkan Ganjar pada sukses yang diinginkan.

Nah, bukankah jelas sudah, satu fakta, sebuah fenomena, bisa memunculkan aneka tafsir dan interpretasi? Kepala sama berbulu, tetapi kan pendapat mah bisa lain-lain…. [dsy]

Lihat Juga
Close
Back to top button