News

Misteri Penembakan di Rumah Ferdy Sambo

Pada dinding koridor utama Perpustakaan Harvard Law School (HLS) tergantung beberapa kutipan yang menyuarakan keadilan. Ada tiga kutipan yang ditaruh mencolok, menegaskan bahwa ketiganya sengaja dipilih agar mudah tertangkap pandangan publik. Ketiga kutipan itu datang dari St Augustin, mewakili budaya Yudeo-Kristiani, Al-Quran al-Karim, dan Magna Charta, mewakili peradaban tua Eropa.

Kutipan dari Santo Augustin alias Saint Augustine dari Hippo (354-430 M), penulis gereja generasi awal yang sangat berpengaruh, berbunyi, “Hukum yang tidak adil bukanlah hukum sama sekali”. Yang dikutip dari Magna Charta –perjanjian warga Inggris dengan Raja John pada tahun 1215 untuk membatasi kesewenang-wenangannya, adalah janji Raja John tersebut. “Kami tidak akan menjual kepada siapa pun, kepada siapa pun kami tidak akan menyangkal atau menangguhkan hak atau keadilan.”

Sementara dari Al-Quran al-Karim, Harvard Law School –lembaga kredibel yang didirikan di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat pada 1636– itu mengutip ayat ke-135, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”

Adil adalah hal yang sangat mendasar dalam Islam, dihormati dan amat ditekankan untuk dijadikan perilaku. Tidak kurang dari 29 ayat Al-Quran secara langsung turun berkaitan dengan masalah keadilan. Di luar itu, ada 290 ayat lainnya yang berbicara tentang kezaliman, sesuatu yang menjadi lawan dari ‘keadilan’.

Para fuqaha (teolog) Muslim bahkan berkeyakinan bahwa adil sangat erat bersangkutan dengan tauhid, inti ajaran Islam. Ulama Al-Azhar, Syekh Muhammad Al-Ghazali, mengutip Syekh Murtadha Muthahari, meyakini bahwa keadilan Allah menjadi bagian dari prinsip-prinsip agama, manakala kelompok Muktazilah juga menjadikan keadilan sebagai dasar kedua dari pegangan ushuluddin mereka. Sementara para ahli Ilmu Kalam dari Ahlussunah Waljamaah pun meyakini bahwa adil adalah bagian dari sifat fi’liyah atau sifat-sifat yang senantiasa berkaitan dengan kehendak Allah.

Ulama thabiin, Ja’far ash-Shadiq, yang diakui sebagai guru yang mempengaruhi setidaknya tiga dari empat imam mazhab Ahlussunah, sekaligus masyayikh (guru sufi) terkemuka tarikat Naqsyabandiyah, menegaskan bahwa selain tauhid, keadilan merupakan dasar agama Islam.

Dalam hal ini, meski dengan redaksional lain, Al-Quran menegaskan posisi adil dalam Islam. Pada Surat Al-Maidah ayat 8, Allah berfirman, “…Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Sementara, apakah adil itu? Menurut Muhammad Qadardan Qaramulki, seorang periset ilmu-ilmu teologi, adil memiliki banyak makna, antara lain, keseimbangan dan keteguhan; persamaan dan peniadaan diskriminasi (tab’idh); memberikan dan menjaga hak orang yang berhak; memberikan anugerah sesuai potensi dan kapabilitas; meletakkan segala sesuatu pada tempatnya; memberikan hak setiap orang kepadanya; dan menjaga hak-hak orang lain.

Jadi, hal-hal di atas itulah yang diperintahkan Allah kepada setiap Muslim. Dengan seluruh kemampuan yang dimiliki, setiap Muslim harus memastikan semua orang mendapat perlakuan yang adil, tanpa kecuali. Artinya, Allah pun memerintahkan setiap Muslim untuk tidak membiarkan praktik ketidakadilan diterapkan di lingkungannya. Muslim wajib berusaha semaksimal mungkin menghentikan praktik yang tidak adil. Setelah terbentuk praktik yang lebih baik dan adil, setiap Muslim wajib melindungi kondisi itu, sehingga bisa berlanjut berkesinambungan kepada generasi-generasi berikutnya.

Adil dan kasus gunfight at the Kadiv Propam’s

Karena keadilan harus ditegakkan dalam seluruh kehidupan, maka tentu saja semua urusan pun harus dilakukan atau berjalan dengan adil. Termasuk urusan penyelidikan-penyidikan insiden baku tembak di rumah kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri, yang kini tengah menjadi perhatian khalayak.

Bila pada tulisan sebelumnya saya lebih menyoroti peran pers, karena kewajiban menegakkan keadilan itu terbeban kepada setiap elemen kehidupan, maka aparat Polri –lebih-lebih– harus menegakkan keadilan itu dalam pengungkapan kasus tersebut.

Bagi seorang aparat, berlaku adil akan membuat jiwa dan kehidupannya tenang. Sebab, sebagaimana diyakini filsuf terkemuka Yunani kuno, Plato, keadilan juga definisikan sebagai ‘keharmonisan (dalam) melaksanakan tugas’. Dengan definisi tersebut Plato ingin menjelaskan bahwa segala suatu harus dilakukan secara proporsional. Tidak boleh dilakukan secara berlebihan (ifrath) atau kurang maksimal dari yang seharusnya (tafrith). Bila urusan proporsi saja sudah menjadi penekanan, tentu kita tak lagi harus bicara soal haramnya upaya manipulasi, upaya pengaburan, dan sebagainya.

Ada pegangan wartawan yang barangkali relevan pula untuk dipakai para aparat Polri dalam urusan ini. Karena tugas wartawan pun harus berlandaskan kejujuran dan sikap adil, The Washington Post punya standard sendiri tentang bekerja dengan adil ini. Bagi mereka;

– Berita itu tidak adil bila mengabaikan fakta yang penting. Artinya, adil juga bermakna lengkap.

– Berita tidak adil bila ada informasi-informasi yang tidak relevan. Jadi adil juga adalah relevansi.

– Berita itu tidak adil bila secara sadar maupun tidak membimbing publik ke arah yang salah atau, katakanlah, menipu. Jadi, adil juga adalah jujur.

– Berita itu tidak adil bila wartawan menyembunyikan prasangka atau emosinya di balik kata-kata halus yang merendahkan. Jadi, adil juga menuntut keterusterangan.

Dalam novelnya yang terkenal ‘La Peste’ (Sampar), Albert Camus menulis tentang para pejabat Kota Oran yang lebih senang menyembunyikan kenyataan di belakang kalimat-kalimat birokratis. Media massa, di sisi lain, tanpa sadar berkomplot dan pandai menutupi fakta dengan aneka berita yang menghibur. Para pejabat mengatakan, tak ada tikus di gedung itu, yang membuat penyakit pes tersebar meruak, sementara hewan mati berserakan di mana-mana.

Jika negeri ini telah terperosok ke dalam budaya post-truth yang senang menutupi kebenaran, sebagaimana pesan Camus dalam ‘La Peste’, semua itu harus kita lawan bersama. Lawan dengan gigih, namun dengan hati penuh tulus ikhlas. Hati yang fokus untuk menundukkan ‘wabah’ post-truth itu demi manusia warga negara ini, dan kemanusiaan. Kita semua harus bersatu dalam keinginan untuk lepas dari ‘wabah’ ini, agar bangsa pun terbebas dari bayang-bayang buram yang menggantung di masa depan.

Semoga kita semua bisa menegakkan keadilan, salah satu sila dari dasar negara kita, Pancasila. Bismillah!

Darmawan Sepriyossa

Back to top button