Market

Menuju Net Zero Emission, Pemerintah Minta Bantuan Industri Sawit

Untuk mensukseskan Net Zero Emissions (NZE) pada 2060, atau lebih cepat, pemerintah mendorong peran aktif industri kelapa sawit.

“Kelapa sawit ini membantu penyerapan emisi karbon. Dalam berbagai literatur, tanaman ini menyerap karbon lebih besar dibandingkan tanaman lain,” ujar Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal (Dirjen) Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM dalam diskusi virtual Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) di Jakarta, dikutip Kamis (25/5/2023).

Dadan mengatakan, kelapa sawit mampu menyerap 25 ton CO2 per tahun, sedangkan pohon lainnya hanya 6 ton CO2 per tahun. Karena itulah, kelapa sawit merupakan penyerap CO2 sama dengan kayu hutan.

Mengutip data Henson (1999), proses fotosintesis kelapa sawit menyerap 161 ton CO2 per ha per tahun. Bila dikurangi CO2 proses respirasi, maka secara netto, kelapa sawit mampu menyerap CO2 sebesar 64,5 ton CO2 per tahun,

Saat ini, kata Dadan, kontribusi sawit dalam menekan emisi karbon sudah diwujudkan melalui implementasi program mandatori biodiesel. Saat ini, Indonesia menjadi negara terbesar dalam penggunaan biodiesel dibandingkan Malaysia.

Direktur Tunas Sawa Erma (TSE) Group, Luwy Leunufna berkomitmen untuk mengikuti semua aturan dan ketentuan pemerintah terkait pengurangan emisi gas rumah kaca. Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam, TSE Group menyadari pentingnya berkontribusi dalam upaya untuk atau upaya global untuk mencapai Net Zero Emission.

Sebagai wujud nyata komitmen tersebut, TSE Group menggunakan Science Based Targets initiative (SBTi) sebagai standar untuk menetapkan target net zero emissions. SBTi adalah inisiatif untuk mengembangkan dan mempromosikan metodologi ilmiah dalam rangka menetapkan target emisi sesuai dengan Perjanjian Paris.

Luwy menjelaskan, TSE Group mendukung upaya pemerintah mencapai NDC dan siap berkolaborasi untuk mendukung transisi menuju ekonomi rendah karbon. Rencananya, TSE Group membangun pembangkit listrik tenaga biogas untuk mengurangi gas rumah kaca dengan mencegah pelepasan gas metana ke atmosfer.

Kapasitas listrik pembangkit ini mencapai 8 Mega Watt (MW) yang dibangun sampai 2030. “Kami berencana memanfaatkan listrik dan gas yang dihasilkan dapat digunakan penduduk setempat untuk meningkatkan kualitas hidup,” ujar Luwy.

Direktur Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) IPB, Meika Syahbana Rusli mengatakan, sawit mampu secara signifikan menyerap CO2 yang ada di atmosfer.

“Jadi kalau kita mensubtitusi solar yang semata-mata memproduksi gas rumah kaca atau CO2, subtitusi tersebut membuat pengurangan signifikan karena diserap oleh kebun-kebun sawit yang tumbuh,” kata dia.

Subkoordinator Direktorat Perlindungan Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan), Dwimas Suryanata Nugraha mengatakan, perkebunan sawit tidak bisa dikatakan sepenuhnya penyebab dari kenaikan gas rumah kaca.

“Banyak isu yang timbul di masyarakat ini terkait dengan sawit ini salah satu penyebab sawit deforestasi lahan dan penyebab kenaikan emisi gas rumah kaca. Perkebunan kelapa sawit ini tidak bisa juga dikatakan penyebab dari kenaikan gas rumah kaca,” pungkasnya.

Back to top button