News

Menajiskan JIS, Mencerai-berai Publik

Tentang kurang bijaknya para elit mengangkat isu JIS, barangkali ada pepatah kuno kuno yang merangkum hal itu. “Barba non facit philosophum. Cucullus non facit monachum. Janggut tak membuat orang lantas jadi filsuf, dan kerudung pun tidak serta merta menjadikan seorang wanita biarawati,” kata pepatah itu. Orang bisa saja mendaki karier yang tinggi, dengan kesenangan mencatut hak orang, menilep uang negara berbuntal-buntal, tetap menjadi hobi.

Sementara Reformasi telah tertinggal hampir tiga dekade di belakang, sikap mental bangsa ini mungkin saja tak beranjak banyak dari perilaku era feodal. “Kalau bisa dibikin susah, buat apa dipermudah?”kata para pamong di zaman kuda gigit besi itu. Hingga saat ini pun warga melihat masih banyak elit yang senang memelihara mental,”Kalau bisa dibesarkan, buat apa masalah diperkecil?”

Mungkin anda suka

Itu yang tampaknya tengah bergulir dalam ‘sinetron‘ “Menajiskan JIS”, pada episode terbarunya yang mencuat sejak pekan lalu. Pasalnya, urusan Jakarta International Stadium (JIS) ini bukan pertama kalinya muncul mencerai-berai dan memecah belah warga. Begitu Anies Baswedan lengser dari posisi gubernur DKI Jakarta, Oktober 2022 lalu, sebenarnya saat itu pula urusan JIS mulai muncul dengan sekian episode dan beragam angle-nya.

September 2022 lalu, misalnya, polemik JIS muncul setelah Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) mengubah lokasi laga FIFA Matchday antara Timnas Indonesia dengan Curacao. Sebelumnya, PSSI yang sempat menyebut akan menggunakan JIS, meralat karena stadion itu dianggap belum layak untuk menggelar FIFA matchday.

Belakangan, polemik yang di ranah medsos begitu hiruk pikuk dan tajam itu turun tensi ketika Sekretaris Jenderal PSSI, Yunus Nusi, menyatakan JIS adalah graha loka tanding yang megah dan memenuhi standar FIFA. “Kalau soal stadion, harus kita akui (JIS) itu megah, layaknya stadion di Eropa. Demikian juga rumput stadion. Semua berstandar FIFA,” kata Yunus dalam pernyataan pers PSSI, 13 September 2022. Yang menurutnya masih jadi persoalan adalah sarana dan prasarana perimeter stadion yang belum selesai 100 persen.

Kini, hampir setahun berlalu, soal JIS kembali menyeruak dan lagi-lagi menghingarbingarkan dunia maya. Awal bulan ini, usai melakukan inspeksi ke stadion tersebut untuk pengusulan lokasi penyelenggara Piala Dunia U-17, November mendatang, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono sempat menyebut JIS belum memenuhi standar organisasi sepakbola dunia, FIFA.

“Kondisi rumput sekarang, menurut evaluasi ahlinya yang juga mengevaluasi 22 stadion, termasuk memasang rumput GBK untuk Asian Games, jelas tidak masuk standar FIFA. (Itu) kalau dengan kondisi sekarang,” kata Menteri Basuki. Inspeksi ke JIS saat itu dilakukannya bersama Ketua Umum PSSI, Erick Thohir; Pejabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono; Menpora Dito Ariotedjo dan para personel PT Karya Rama Prima (PT KRP), kontraktor rumput yang sering menjadi rekanan Kementerian PUPR.

Tak perlu lama, ternyata yang dimaksud ‘’ahlinya” oleh Menteri PUPR itu tak lain Ir. Qamal Mutaqqien, perintis dan pemilik PT KRP.

Menajiskan JIS, Mencerai-berai Publik
Jakarta International Stadium (JIS) (Inilah.com/Didik Setiawan

Tanpa harus berselang hari, pernyataan Menteri Basuki kontan memantik polemik yang segera berkobar di media massa dan medsos. Medsos, ruang publik paling demokratis buat warga meski dibayang-bayangi -–istilah George Orwell–“Big Brother” Undang-undang ITE, di hari-hari awal polemik itu penuh dengan postingan panas.

“Apakah KemenPUPR sudah berganti menjadi Pekerjaan Umum Penggantian Rumput?” cuit akun @YanHarahap di Twitter. Sementara akun @Yurissa_Sa-mosir bahkan menampik kredibilitas Menteri Basuki untuk urusan yang dikritiknya itu. “Menteri PUPR tidak punya kompetensi apalagi otoritas untuk bicara terkait kelayakan rumput stadion bola. Itu domainnya FIFA,” kata dia.

Tidak kurang dari Profesor Sulfikar Amir, guru besar Nanyang Technological University (NTU), Singapura, melontarkan cuitan panas di akun Twitter-nya @sociotalker, menyentil para menteri Jokowi yang mempersoalkan JIS itu.

“Ada mantan gubernur. Udah berbakti 5 tahun penuh. Banyak perubahan yang terjadi. Kotanya jadi lebih baik dan dinikmati banyak orang. It’s not perfect but he did his best (memang tidak sempurna tetapi dia (Anies) telah melakukan yang terbaik). Karyanya kini jadi milik kota. Lalu orang-orang itu datang. Bawa puluhan wartawan. Mencari-cari kesalahan. Dan rumput pun jadi terdakwa,” kata Prof Sulfikar, Rabu (5/7/2023).

Polemik—katakanlah begitu—kian panas dan seolah mulai kehilangan akal sehat. Misalnya, satu respons atas cuitan Prof Sulfikar mengatakan, “Kekurangan elementer JIS itu cuma satu: tidak ada patung pakde sedang menggiring bola,” kata akun @ZulkiflyYunus2. Atau, “Pildun U-17 tidak usah digelar di JIS. JIS tidak usah direnovasi, pakai stadion lain saja yang sudah standar Jokowi. Tidak usah buang-buang uang rakyat hanya untuk membully Anies,”cuit akun @AlnilamOmar. Dengan segera kita bisa merasakan urusan Cebong-Kampret yang mewabah pada 2014 dan 2019 lalu seperti akan kembali hadir merusak harmoni kehidupan kita.

Kuatir warga akan kembali tercerai-berainya dalam pertentangan diametral khas 2014 dan 2019 itu yang tampaknya membuat para pemangku kepentingan pun akhirnya urun rembuk. Pengamat sepakbola, Kusnaeni, mengatakan soal layak- tidaknya JIS untuk penggunaan Piala Dunia U-17, sepenuhnya merupakan kewenangan FIFA. “Menurut saya, biarkanlah FIFA menilai ini layak atau tidak. Orang di luar itu tidak berkompeten bicara terkait standar FIFA,” kata Mohamad Kusaeni ketika duhubungi Inilah.com.

Menurut Kusaeni, tak benar juga bila setiap orang merasa punya kompetensi untuk menilai kelayakan JIS sebagai venue Piala Dunia. “Karena ini event FIFA, mereka punya personel untuk menilai kelayakan itu,” kata dia. Dengan demikian, kalau bicara standar FIFA, Menteri PUPR jelas tidak berhak bicara apakah rumputnya sesuai dengan standar FIFA atau tidak. “Karena pasti akan jadi polemik yang tidak produktif.”

Kesimpulan Kusaeni itu diaminkan tiga pengamat sepakbola lainnya, yakni Mahfuddin Nigara, Tommy Welly (Bung Towel) dan Akmal Marhali. “Fasilitas JIS itu semua memenuhi persyaratan. Kalau ada yang bilang nggak, itu pasti (karena) politik,” kata Nigara, mantan direktur operasional PT Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno (PPK-GBK) tersebut, pada siaran talk-show “Good Talk” di Good Radio Jakarta, 5 Juli lalu. Ia menambahkan, bahkan banyak fasilitas yang disebutnya “sunnah” alias pelengkap yang dimiliki JIS jauh lebih baik disbanding Gelora Bung Karno (GBK). “Kamar ganti JIS itu top, GBK kalah. Bahgkan ada jacuzy, meski itu “sunnah”.”

“Kata siapa (tidak memenuhi standar FIFA)?” tanya Tommy Welly, seolah menyergah. Menurut Bung Towel, justru JIS adalah stadion paling realistis untuk dijadikan arena event olah raga mondial seperti Piala Dunia U-17. Bagi Tommy, bukti bahwa konsultan perancang desain stadion yang dipakai adalah Buro Happold, perusahaan konsultan kelas dunia, menunjukkan lemahnya tudingan itu. “Buro Happold itu konsultan Inggris yang membangun stadion Tottenham Hotspurs, juga konsultan stadion Piala Dunia Qatar 2022. Jadi logikanya kurang nyambung kalau dibilang (JIS) belum memenuhi standar,” kata dia.

Menajiskan JIS, Mencerai-berai Publik
Suasana Stadion Jakarta International Stadium (JIS) di Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara, (Foto:Inilah.com/Didik Setiawan).

Akmal Marhali juga menunjuk fakta soal penggunaan konsultan FIFA dalam pembangunan stadion tersebut. “Wong JIS dibangun dengan konsultan dari FIFA,”kata Akmal. Ia bahkan menyebut beberapa fasilitas JIS tergolong luar biasa. “Di atas, di rooftop, itu ada jogging track. Itu luar biasa,” kata dia. Akmal bahkan tak tanggung-tanggung menyebut JIS sebagai stadion terbaik Indonesia saat ini. Ia mengakui ada beberapa hal yang harus diperbaiki dan menjadi sisi lemah JIS. Tetapi menurut dia hal itu harusnya diperbaiki, diperbagus, bukan dijadikan bahan polemik yang mengarah ke pertentangan.

Menurut Kusaeni, kalaupun JIS dianggap memiliki masalah terkait transportasi dan kemacetan, sejatinya itu bukan salah pembangun stadion tersebut. Ia mengatakan dirinya hadir pada acara Expo JIS—saat itu masih bernama BMW Stadium– yang diadakan di Balai Kota, 2018 lalu. Kusaeni mengatakan, konsep JIS adalah stadion moderen. “Apa itu stadion modern? Itu stadion yang memaksimalkan mobilisasi penonton dengan menggunakan akses transportasi publik,”kata Kusaeni bertanya dan menjawabnya sendiri.

Jadi lumrah saja bila JIS tidak menyediakan lahan parkir yang luas. Yang ada, sebagaimana stadion-stadion dunia lainnya, orang diharapkan datang ke JIS dengan berkendaraan umum, transportasi publik. Bukan sepeda motor atau mobil pribadi yang makan tempat.“Kalau sekarang JIS bermasalah, itu karena sekarang akses transportasi publiknya belum banyak,”kata Kusaeni. Dan urusan itu jelas bukan sepenuhnya tanggung jawab pembangun dan pengelola JIS, karena melibatkan pemangku kepentingan bernegara lainnya di republik ini. Paling tidak, kalau melibatkan perkeretaapian tentu mengikutsertakan PT KAI, Kementerian Perhubungan, dan sebagainya.

Merujuk pada desain awal JIS, kata dia, JIS semestinya didukung penuh beragam moda transportasi, seperti Lintas Raya Terpadu (LRT), Moda Raya Terpadu (MRT), transportasi berbasis Bus Rapid Transit (BRT), djuga KRL Commuter Line. Akan tetapi hingga setahun lebih disahkan, dukungan transportasi publik itu tak kunjung terwujud.

Karena itu wajar kalau di menyeruak kuat di tengah warga, polemik JIS adalah urusan politik.“Ini ribut politik sajalah, pikiran kita nggak normal,” kata Nigara. “Ini memang soal 2024.” Karena itu Nigara meminta urusan polemik itu segera dihentikan tuntas. Ia kuatir debat kusir itu justru menimbulkan gesekan dan inharmoni dalam kehidupan warga. “JIS ini persoalan politik, jadi nggak akan selesai,” kata dia.

Nigara bahkan mewanti-wanti, negara sebesar Uni Sovyet dan Yugoslavia saja bisa terpecah karena gesekan warganya. “Pikirkan, apa ini justru skenario internasional agar Indonesia bubar? Janganlah segalanya itu dibawa ke politik. Berat. Apa kita akan terus membiarkan rakyat terpecah? Ingat lho, ada pertanggungjawaban di akherat,”kata Nigara.

Sebagaimana Nigara, Bung Towel juga meminta agar persoalan JIS itu tidak dicampuradukkan dengan masalah politik. “Biarkan FIFA yang memverifikasi ketimbang belum-belum ngomong kurang inilah, kurang itulah. Jangan sok tahu,” kata dia.

Rata-rata pengamat bola itu mempertanyakan hadirnya polemik keras tidak produktif untuk soal yang menurut mereka ‘kecil’ dan remeh. Menurut Akmal, dengan enam stadion yang sudah sesuai verifikasi, tak mencolek JIS pun penyelenggaraan bisa terlaksana. Kalau pun GBK, misalnya, dipakai konser Coldplay pun, masih ada lima stadion lagi yang siap. Stadion-stadion itu adalah Stadion Si Jalak Harupat Bandung, Stadion Manahan Solo, Stadion Gelora Bung Tomo Surabaya, Stadion Gelora Sriwijaya Palembang, dan Stadion Kapten I Wayan Dipta Bali.

“India, waktu menggelar Piala Dunia U-17 Wanita pada 2022 lalu hanya perlu memakai tiga stadion,” kata Kusaeni. Masalahnya, salah satu stadion mengalami problem, rumputnya tak berstandar FIFA. FIFA saat itu memutuskan mengasistensi panitia lokal menanam rumput hybrid supaya bisa dipakai untuk pertandingan. “Sukses, cuma dua minggu FIFA dan panitia berhasil menanam rumput hybrid di Stadion Jawaharlal Nehru di Kota Goa itu.”

Tetapi dari sisi pemerintah pun, umumnya menolak adanya manuver politik seiring polemik JIS tersebut. Juru Bicara Menteri PUPR, Endra S. Atmawidjaja, menolak tudingan adanya politisasi JIS. Ia menjelaskan, rencana perbaikan JIS itu dilakukan demi kepentingan nasional. “Perlunya perbaikan itu bukan berarti stadionnya jelek. Ini stadion yang bagus. Cuma untuk memenuhi standar FIFA ada beberapa yang sangat strict, terutama field of play-nya, yaitu rumput,” kata Endra.

Endra mengajak publik untuk melihat urusan itu dari kacamata kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar. “Jadi, saya lihatnya kalau JIS ini bukan urusan politik. Ini urusan negara, urusan bangsa,” kata dia.

Menajiskan JIS, Mencerai-berai Publik
Suasana lapangan utama Stadion Jakarta International Stadium (JIS) di Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara (inilah.com/Didik Setiawan)

Ketua Umum PSSI dan Menteri BUMN, Erick Thohir (Etho), juga membantah hal itu. Berbicara kepada wartawan di Hotel Shalva, Jakarta Pusat, Jumat (7/7/2023), Erick menyanyangkan tudingan politisasi itu. Seraya mengutip pernyataan Anies Baswedan yang menegaskan bahwa JIS adalah milik bangsa Indonesia, dirinya dan beberapa pejabat lain yang datang ke sana sedikit pun tak punya maksud mempolitisasi.

“Kami (Erick mengatakan “kita”) ini datang ke sana bukan mempolitisasi aset yang ingin diperbaiki. Itu bukan hanya JIS, ada 22 stadion yang akan diperbaiki,”kata Menteri BUMN itu. Ia juga tampaknya kecewa dengan berbagai rumors yang berseliweran di medsos, di antaranya soal biaya renovasi JIS yang disebut-sebut mencapai Rp 5 triliun. “Kalau dibilang anggaran JIS saja Rp 5 triliun, itu salah. Ke-22 stadion itu anggarannya Rp 1,9 triliun.”

Erick tak lupa menyebut perdebatan soal JIS itu tak bermanfaat. “Saya mohon rekan-rekan media membantu (mengakhiri) polemik yang tidak penting (ini). Kan kita ingin perbaiki ini sama-sama agar Piala Dunia U-17 2023 sukses,”kata dia.

Sayangnya, perkembangan mutakhir justru kembali mengarahkan benak warga pada politisasi. Tanpa jelas alasannya, sejak Sabtu (8/7/2023) situs Buro Happold, konsultan dunia yang berperan dalam pembangunan JIS, seperti menghapus JIS dari daftar portofolio proyek mereka. Hal itu pertama kali diangkat situs berita detik.com, Sabtu (8/7/ 2023) pukul 08:52 WIB. “DetikProperti mencoba mengakses situs tersebut, dan benar saja, laman yang menampilkan JIS sudah tidak ada,”tulis detik.com. Pada layar hanya terdapat tulisan,”The page you require is currently not available, please contact one of our specialists on this page for more information. Halaman yang Anda tuju sementara tak tersedia, silakan hubungi salah satu spesialis kami dalam halaman ini untuk informasi lebih lanjut,” tulis keterangan di situs tersebut.

Dua hari sebelumnya detikProperti mengaku masih bisa mengakses laman JIS di situs tersebut. “Di situs itu pun, nama JIS bertengger di deretan proyek-proyek besar lain yang digarap oleh Buro Happold,” tulis detik.

Segera saja hal itu dipersepsi macam-macam. “Males kali punya klien Indonesia, lapangan bola dijadikan objek politik,” tulis seseorang di sebuah grup WA. Lebih jauh ia bahkan menyatakan curiga. “Siapa yang menyuruh menghapus? Saya kira orang Indonesia,” tulisnya, seraya menyebut cepatnya isu Stadion Kanjuruhan hilang setelah adanya satu pertemuan antara pejabat FIFA dengan seorang elit.

Tentang kurang bijaknya para elit mengangkat isu JIS, barangkali ada pepatah kuno kuno yang merangkum hal itu. “Barba non facit philosophum. Cucullus non facit monachum. Janggut tak membuat orang lantas jadi filsuf, dan kerudung pun tidak serta merta menjadikan seorang wanita biarawati,”kata pepatah itu. Orang bisa saja mendaki karier yang tinggi, dengan kesenangan mencatut hal orang, menilep uang negara berbuntal-buntal, tetap menjadi hobi.

Tapi tentu saja, seiring mendinginnya isu JIS, tak banyak pula manfaatnya mempersoalkan hal itu sebuah politisasi atau bukan. Hanya, bagi kalangan warga pesantren, fenomena itu sangat mungkin membawa ingatan mereka akan satu firman Tuhan dalam Alquran. “…Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa…”, bunyi Surat Al-Maidah ayat 8.

Hanya, sebagai warga negeri ini, sangatlah layak bila kita semua berharap agar politik di negeri ini terperosok hanya menjadi permainan yang di mata Tuhan dan moral sebagai sikap terkutuk. “”Laknatullah alas siyasah,” sabda Nabi Muhammad SAW, suatu ketika. “Laknat Allah kepada politik.” Tentu, yang Nabi maksudkan adalah manuver politik yang kotor dan tak terpuji.

Memangnya masih adakah politik yang ‘bersih’, manakala Machiavelli pun berfatwa bahwa hanya omong kosong seseorang berani masuk ke dalam permainan kekuasaan tanpa mau menyentuh hal-hal ‘najis’? “Harus mau kotor,”kata penulis “Il Principe” itu, “bahkan kalau perlu, berlumur darah.” Dalam naskah drama yang ditulis sastrawan pemenang Nobel, Jean-Paul Sartre,”La Mains Sales”, seorang tokohnya bernama Hoederer bertanya retoris,”Bisakah kau bayangkan mengatur kekuasaan tanpa dosa?”

Saya kira jawabannya sangat bergantung pada iman kita.[dsy/harris muda/vonita]

Back to top button