Kanal

Media Dunia Pun Ikut Menyindir Gibran


Sayangnya, nada tulisan tersebut, terutama yang dimuat The Times pada Sabtu, 6 Januari 2024, itu terkesan minor. Lihat saja judul yang diberikan Paddock, “A President’s Son Is in Indonesia’s Election Picture. Is It Democracy or Dynasty?”  Sebuah judul artikel yang belum juga kita baca lead-nya, telah terkesan menyindir dengan pertanyaan retoris alias tak butuh jawaban. 

 

Oleh     : Darmawan Sepriyossa

Harus diakui, jarang-jarang tokoh Republik ini ditulis oleh media dunia, tidak hanya sekali dalam dua bulan berturut-turut. Apalagi salah satunya adalah media dunia sekelas The New York Times. Kalau itu mau disebut prestasi, itu sebuah nilai tersendiri untuk tokoh semuda Gibran Rakabuming Raka. 

Apalagi penulisnya pun bukan—ikut istilah generasi Z– wartawan ‘kaleng-kaleng’. Artikel di The New York Times (The Times) itu ditulis Richard C. Paddock, wartawan yang telah bekerja sebagai koresponden asing di 50 negara di lima benua. Ia pernah ditempatkan, antara lain, di Moskow, Jakarta, Singapura, dan Bangkok, kota-kota dengan produksi berita melimpah seiring banyaknya masalah.  

Sayangnya, nada tulisan tersebut, terutama yang dimuat The Times pada Sabtu, 6 Januari 2024, itu terkesan minor. Lihat saja judul yang diberikan Paddock, “A President’s Son Is in Indonesia’s Election Picture. Is It Democracy or Dynasty?”  Sebuah judul artikel yang belum juga kita baca lead-nya telah terkesan menyindir dengan pertanyaan retoris alias tak butuh jawaban. 

Dan benar, lead yang dipakai Paddock pun wajar langsung bikin merah kuping para pendukung pasangan calon no 2 yang berpasangan dengan Capres Prabowo Subianto tersebut. “Belum lama ini, putra sulung Presiden Joko Widodo asal Indonesia ini menjalankan bisnis katering dan jaringan toko makanan penutup. Sekarang dia adalah simbol dari dinasti politik yang sedang berkembang, dan penerima manfaat dari manuver keluarga.”

Seterusnya memang Paddock boleh dibilang hanya mengulang apa yang pernah ditulis hampir semua media massa mainstream di Tanah Air. Baik soal Mahkamah Konstitusi, pamannya, Anwar Usman, Mahkamah Kehormatan MK, dan sebagainya. Tentu saja, The Times pun tidak melupakan beragam fakta yang menjadi aksesoris penting isu politik dinasti tersebut: Gibran yang terpilih sebagai wali Kota Solo, Bobby Nasution yang menjadi wali Kota Medan. Apalagi yang masih hangat, September 2023 lalu, saat putra bungsu Presiden, Kaesang Pangarep, langsung didapuk jadi ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), hanya dua hari setelah bergabung menjadi anggota partai. 

Bukan hanya The Times yang datang jauh-jauh dari Kota New York hanya untuk menyindir Gibran. Dari Doha, Qatar, datang pula tulisan Al-Jazeera yang menurunkan berita berjudul “Indonesian Leader’s Son Brushes Off ‘Nepo Baby’ Tag in Feted Debated Showing“. Tulisan yang turun dalam hitungan jam setelah Debat Capres ke-2 (Debat Cawapres), 22 Desember itu, bila diterjemahkan kurang lebih “Putra Pemimpin Indonesia Tepis Sebutan ‘Nepo Baby’ dalam Acara Debat yang Meriah“. Namun, alih-alih menepis sebutan ‘Nepo Baby’ seperti yang dikatakan, sejatinya Al-Jazeera-lah yang pertama bilang kepada publik Indonesia tentang sebutan ‘Nepo Baby’ yang konon disandang Gibran itu. Jujur saja, siapa sih yang berani mengatakan bahwa istilah Nepo Baby itu sudah terdengar, sebelum justru media Qatar itu menyuarakannya? 

Lepas dari itu, istilah ‘Nepo Baby’ sendiri tentu saja kurang sedap. Merujuk ahli budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS), Sri Kusumo Habsari, istilah ‘nepo baby’ adalah penyingkatan dari ‘nepotism baby’, alias bayi atau anak nepotisme. Sri Habsari sepakat bahwa istilah itu cenderung memberikan stigma negatif terhadap anak-anak yang kebetulan lahir dari orang tua ‘penggede’. “Nepo baby’ digunakan untuk memanggil seseorang karena masyarakat tidak yakin anak itu benar-benar berprestasi kalau tanpa pengaruh orang tua,”kata Sri Habsari. 

Di luar tulisan tersebut mungkin merugikan pribadi Gibran, sejatinya seluruh warga negara Indonesia juga layak kecewa. Paling tidak, keduanya menyimpan pesan bahwa demokrasi Indonesia tengah menghadapi ancaman. Ancaman apa?   Bagi Ian Wilson, dosen senior di Murdoch University, Perth, Australia, ancaman otoritarianisme. 

“Saya sama sekali tidak melihat Jokowi sebagai seorang demokrat,” kata Wilson. “Jokowi punya kecenderungan otokratis, begitu juga dengan Prabowo.” [ ]

 

Back to top button