News

Media Asing Soroti Bagaimana Cara Mantan Jenderal Kontroversial Memimpin Indonesia?


Media asing menyebut Prabowo Subianto, seorang mantan jenderal kontroversial akan menjadi presiden baru Indonesia. Bagaimana cara Prabowo memimpin menjadi banyak sorotan pengamat.

Media massa yang berbasis di Singapura, Channel News Asia (CNA) dalam laporannya mengungkapkan, jika kemenangan langsung Prabowo sudah dipastikan, Indonesia akan dipimpin oleh seorang mantan komandan pasukan khusus berusia 72 tahun yang memiliki catatan hak asasi manusia (HAM) dan memiliki hubungan dekat dengan mendiang Suharto, yang memerintah Indonesia dengan ‘tangan besi’ selama tiga dekade antara tahun 1967 hingga 1998. 

Ketika para pendukungnya merayakan kemenangan tersebut, beberapa ahli bertanya-tanya bagaimana mantan jenderal tersebut, meskipun memiliki masa lalu yang kontroversial, bisa memperoleh suara mayoritas dalam penghitungan cepat pemilu? Juga apa arti kepresidenan Prabowo bagi negara ini, dan apa yang bisa dilakukan ke depan?

Penghitungan suara cepat yang dilakukan oleh kelompok survei independen dan lembaga pemikir menunjukkan bahwa Prabowo telah memenangkan hampir 60 persen suara, yang memberinya keunggulan dibandingkan pesaingnya: mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan (sekitar 25 persen) dan mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (sekitar 16 persen). Komisi Pemilihan Umum (KPU) mempunyai waktu hingga 20 Maret untuk mengumumkan hasil resminya. 

Namun beberapa analis dan aktivis khawatir bahwa kepresidenan Prabowo akan menandai kembalinya pemerintahan otoriter gaya Suharto. “Agenda demokrasi tidak akan menjadi prioritas utamanya,” kata Yoes Kenawas dari Universitas Atma Jaya Jakarta kepada CNA. “Kita memperkirakan pembungkaman suara-suara kritis melalui undang-undang akan terus berlanjut.”

Usman Hamid, direktur kelompok hak asasi manusia Amnesty International di Indonesia, menyatakan keprihatinan serupa. “Saya memperkirakan akan ada kebijakan (yang dikeluarkan oleh pemerintahan Prabowo) yang semakin melemahkan demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan berekspresi,” ujarnya kepada CNA.

Masa Lalu yang Kelam

Masih menurut laporan CNA, Prabowo adalah putra Sumitro Djojohadikusumo, seorang ekonom yang dua kali menjabat di kabinet Soeharto sebagai menteri. Pada 1983, Prabowo yang saat itu berusia 31 tahun menikah dengan salah satu putri Soeharto, Siti Hediati Hariyadi yang berusia 24 tahun, atau lebih dikenal sebagai Titiek Suharto. Saat itu, Prabowo sudah menjadi kapten di Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat Indonesia.

Setelah menikahi putri pemimpin otoriter tersebut, Prabowo menjadi anak didik militer Suharto, dengan cepat naik pangkat dan menjadi jenderal termuda di Indonesia pada 47. Prabowo dipandang sebagai penegak rezim mendiang pemimpin otoriter tersebut.

Selama bertugas di pasukan khusus, Prabowo dituduh mendalangi penculikan dan penghilangan paksa 22 aktivis yang kritis terhadap Suharto pada tahun 1997-1998, termasuk 13 orang yang masih hilang hingga saat ini.

Mantan jenderal tersebut diberhentikan dari militer pada Agustus 1998 karena perannya dalam penculikan tersebut namun tidak pernah diadili. Pemecatan tersebut terjadi hanya beberapa bulan setelah masa pemerintahan Suharto berakhir pada Mei tahun itu, menyusul meluasnya protes mahasiswa pada puncak Krisis Keuangan Asia.

Namun 52 persen pemilih yang memenuhi syarat di Indonesia berusia di bawah 40 tahun, yang berarti mereka belum dilahirkan atau terlalu muda untuk memahami banyak tentang tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang diadukan terhadap Prabowo.

“Catatan hak asasi manusia Prabowo hanya dibicarakan oleh para pesaingnya, aktivis, akademisi, dan mereka yang memiliki pendidikan universitas,” kata Burhanuddin Muhtadi, peneliti tamu di Program Studi Indonesia di ISEAS-Yusof Ishak Institute dan direktur eksekutif lembaga pemikir Indikator Politik, kepada CNA.

Dalam kurun waktu 27 tahun sejak penculikan terjadi, pemerintahan sebelumnya tidak mampu atau tampak enggan untuk membawa Prabowo ke pengadilan. Djayadi Hanan, direktur eksekutif lembaga think tank, Lembaga Survei Indonesia mengatakan impunitas yang tampaknya dinikmati oleh Prabowo telah membuat banyak masyarakat Indonesia curiga terhadap kredibilitas tuduhan tersebut.

“Jenderal-jendral yang sama yang mengadili militer dan memecat Prabowo juga ada di tim kampanyenya. Jadi bagi banyak orang Indonesia, tuduhan terhadap Prabowo bersifat politis,” kata Djayadi kepada CNA.

Perubahan Politik

Ini adalah kali ketiga bagi Prabowo bersaing untuk menduduki posisi puncak di negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara. Pada pemilu tahun 2014 dan 2019, ia memposisikan dirinya sebagai sosok militer yang tegas dan tegas, sangat kontras dengan sosok rivalnya saat itu, Joko Widodo. Prabowo kalah dalam kedua pemilu tersebut dari Jokowi.

Kali ini, tim kampanye Prabowo memposisikan sang mantan jenderal sebagai seorang kakek yang menggemaskan, memperhalus citranya melalui penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk menghasilkan persona digital yang membuatnya tampak awet muda dan kekanak-kanakan.

Kampanye ini berhasil mengalihkan pikiran masyarakat dari masa lalu Prabowo, kata Hendri Satrio, pakar politik dari Universitas Paramadina Jakarta. “Pemuda Indonesia memandang Prabowo seperti kakek mereka. Kakek kadang lucu, kadang pemarah. Terlepas dari apa yang kakek mereka lakukan ketika mereka masih muda, orang-orang tetap mencintai kakek mereka,” kata Hendri kepada CNA.

Yoes dari Universitas Atma Jaya mengatakan strategi kampanyenya sangat efektif dalam menggalang dukungan luas dari masyarakat Indonesia yang semakin paham media sosial. Mereka suka melihat kandidat bersikap sopan. “Tim (Prabowo) menyadari hal ini dan mengubah setiap kritik dan serangan menjadi ‘lihat betapa kasar dan tidak pantasnya kritik ini’ dan orang-orang sebenarnya merasa kasihan pada Prabowo,” ujarnya. 

Namun perbedaan terbesar yang dimiliki Prabowo pada Pilpres 2024 adalah dukungan nyata dari presiden petahana, mantan saingannya Jokowi, yang tidak boleh lagi mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga berdasarkan konstitusi negara. Prabowo telah memilih putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi cawapresnya.

Meskipun Jokowi belum secara terbuka menyatakan bahwa ia mendukung pasangan Prabowo-Gibran, para analis mencatat bahwa presiden yang akan keluar tersebut telah mengambil beberapa langkah yang tampaknya menguntungkan Prabowo dan Gibran.

Selama 75 hari masa kampanye, Jokowi antara lain telah menyumbangkan Rp6,8 triliun untuk membantu para petani yang terkena dampak fenomena cuaca El Nino meskipun Indonesia sudah memasuki musim hujan dan memberikan kenaikan gaji sebesar 8 persen kepada para PNS. “Bagi petahana, memerintah adalah berkampanye,” kata Djayadi dari Lembaga Survei Indonesia.

Pasangan Prabowo-Gibran telah berjanji untuk melanjutkan program bantuan sosial dan pembangunan infrastruktur Jokowi. Namun Julia Lau, peneliti senior dan koordinator Program Studi Indonesia di ISEAS-Yusof Ishak Institute tidak yakin apakah Prabowo akan menepati janjinya dan melanjutkan kebijakan Jokowi. “Tidak dapat diprediksi”.

“Jadi saya tidak akan menaruh uang saya pada sesuatu yang khusus, tapi saya pikir pada awalnya, dia pasti akan mengikuti apa yang telah dilakukan Jokowi,” katanya kepada CNA Asia First pada hari Kamis.

Kesinambungan tersebut dapat menjadi unsur stabilitas pada era presiden mendatang. Menurut pakar Asia Tenggara Brian Harding dari Institut Perdamaian Amerika Serikat (USIP), Prabowo kemungkinan akan melanjutkan upaya Indonesia untuk mengamankan diri sebagai negara ekonomi kelas berat di kawasan.

“Prabowo akan meneruskan fokus Jokowi pada diplomasi ekonomi namun juga berupaya meningkatkan peran Indonesia di panggung global,” kata Harding dalam artikel Japan Times. 

Mata pada Prabowo, Pikiran ke Masa Depan

Perhatian kini tertuju pada calon presiden, bagaimana dia bisa sampai di sini dan apa arti kepemimpinannya bagi negara. Bagi para pendukung Jokowi, hal ini mungkin berarti kelanjutan dari program dan kebijakannya, namun bagi para aktivis dan akademisi pro-demokrasi, kemenangan Prabowo akan menjadi sinyal betapa masih kurangnya pendidikan politik di Indonesia.

“Pendidikan politik yang dilakukan pemerintah dan partai politik hanya sebatas menyadarkan masyarakat akan pentingnya memilih dalam pemilu. Seharusnya lebih dari itu,” kata Khoirunnisa Nur Agustyati, direktur eksekutif organisasi nirlaba Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) kepada CNA.

Ia menambahkan, kemenangan ini juga akan menandakan kebangkitan dinasti politik Jokowi, dan bagaimana para pemilih harus dididik mengenai cara idealnya melakukan proses pemilu sehingga mereka dapat mengenali indikasi kecurangan dan perilaku tidak etis. Namun upaya tersebut baru bisa berdampak pada pemilu berikutnya pada tahun 2029. 

Untuk menjaga checks and balances terhadap pemerintahan Prabowo, diperlukan oposisi yang efektif di parlemen, kata para analis. Wasisto Raharjo Jati, analis politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mencatat bahwa lawan-lawan Prabowo didukung oleh beberapa partai politik terbesar di Indonesia. 

Ganjar didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang menurut perhitungan cepat Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) yang berbasis di Jakarta memperoleh jumlah suara terbanyak dalam pemilihan parlemen dengan 16,6 persen. Sementara itu, Anies didukung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menurut CSIS memperoleh masing-masing 10,6 persen, 9,4 persen, dan 8,1 persen. 

Meski mendukung calon yang berbeda pada pemilu presiden, keempat partai tersebut harus mengesampingkan perbedaan mereka dan bersatu, kata Wasisto. “Ini diperlukan untuk mendapatkan koalisi yang solid (partai oposisi)”.

Back to top button