Market

LHKP dan MHH Muhammadiyah Kritik Menko Mahfud Bela Investor Proyek Rempang

Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) dan Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengkritisi pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyebut tanah di Pulau Rempang belum pernah digarap.

Faktanya, kata Ketua LHKP, Ridho Al-Hamdi, masyarakat Pulau Rempang sudah ada sejak 1834. “Menko Polhukam tampak jelas posisinya membela kepentingan investor swasta, dan menutup mata kepada kepentingan publik. Termasuk sejarah sosial budaya masyarakat setempat, yang telah lama dan hidup di pulau tersebut,” papar Ridho, Jakarta, dikutip Kamis (14/9/2023).

Ketua MHH, Trisno Raharjo menerangkan, LHKP dan MHH menilai, penggusuran di Pulau Rempang, menunjukkan kegagalan pemerintah menjalankan mandat konstitusi Indonesia.

Dalam UUD 1945 disebutkan, tujuan pendirian negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.

”Negara gagal menjalankan pasal 33 yang menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” kata Trisno.

Melalui penggusuran paksa itu, kata dia, negara mempertontonkan keberpihakan nyata kepada investor yang bernafsu menguasai Pulau Rempang untuk kepentingan bisnis mereka berupa Proyek Eco City seluas 17.000 hektare.

Karena itu, LHKP dan MHH Pimpinan Pusat Muhammadiyah berdiri bersama berbagai elemen gerakan masyarakat sipil di Indonesia, turut bersolidaritas menyatakan sejumlah sikap.

Pertama, meminta Presiden dan Menko Perkonomian mengevaluasi dan mencabut proyek Rempang Eco City sebagai PSN. Kedua, mendesak Kapolri dan Kapolda Kepri segera membebaskan warga yang sedang ditahan, serta menarik seluruh aparat bersenjata dari lokasi konflik.

Ketiga, mendesak pemerintah segera menjamin dan memuliakan hak-hak masyarakat Pulau Rempang untuk hidup dan tinggal di tanah yang selama ini mereka tempati.

Serta mengedepankan perspektif HAM, mendayagunakan dialog dengan cara-cara damai yang mengutakaman kelestarian lingkungan dan keadilan antar generasi.

Informasi saja, sejarah proyek dimulai pada 2001, Pemkot Batam datang ke Jakarta untuk mengajukan pengembangan Kawasan Rempang berdasarkan Perda Kota Batam Nomor 17 Tahun 2001 tentang Kepariwisataan Kota Batam.

Rombongan Pemkot Batam mengundang pengusaha nasional dan investor dari Malaysia dan Singapura bersama PT Mega Elok Graha (MEG), grup Artha Graha milik Tomy Winata atau TW,  dipilih mengelola dan mengembangkan kawasan tersebut selama 30 tahun. Bisa diperpanjang hingga 80 tahun.

Pada 2007, proyek Rempang Eco-City ini diketahui masyarakat secara luas dan mendapatkan penolakan. Pada Juli 2023, pemerintah meneken nota kesepahaman dengan Xinyi Group dari Cina untuk investasi US$11,5 miliar.

Investor China itu kepincut membangun pabrik kaca dan solar panel di Pulau Rempang, sebagai bagian dari konsep Rempang Eco City.

Meski proyek ini berpotensi besar untuk menyedot investasi Rp381 triliun hingga 2080, namun berdampak kepada tergusurnya warga asli dan 16 kampung tua yang sudah ada sejak 1834. 

Back to top button