Kanal

Lembaga Survei Pesanan, Anomali, dan Prediksi yang Meleset

Lembaga survei memang bisa dipesan, tapi hasilnya haram untuk dipesan. Apakah hasil survei bisa meleset? Jawabannya bisa. Saya tidak menampik fakta, ada lembaga survei yang ikut meramaikan kontestasi politik dengan tanpa beban moral dan profesional mempublish hasilnya. Yang penting, menyenangkan pemesannya

Oleh: Toto Izul Fatah

Mohon izin ikut urun rembuk soal aneka respon publik, utamanya di Sosmed dan WA grup, seputar Lembaga Survei, Hasil Survei dan Konsultan Politik.

Pertama, setidaknya ada dua bentuk respon terhadap hasil survei. Yaitu, memuji hasilnya karena dianggap menguntungkan dirinya. Respon kedua, mencaci hasilnya karena dianggap merugikan dirinya dan pihaknya.

Pada konteks ini, benar itu ketika sesuatu dianggap menguntungkan. Dan salah, pada saat sesuatu itu merugikannya.

Karena itu, tidak heran, jika muncul tuduhan umum yang  miring kepada lembaga survei sebagai kumpulan orang bayaran. Sampai disitu, tidak ada masalah, apalagi terjadi di tengah medan kontestasi politik seperti Pilpres 2024.

Tuduhan menjadi masalah pada saat hasilnya dipersoalkan pihak yang tak paham survei dengan segala tahapan metodologisnya yang  melibatkan perangkat sains yang eksak seperti statistik. Meskipun, sekali lagi, hal itu wajar terjadi di tengah pesta politik lima tahunan.

Sebagai orang yang lebih dari 15 tahun terlibat dalam ratusan kali survei opini publik, baik di Pilkada, Pileg dan Pilpres,  saya tak bisa dan tak boleh memungkiri fakta bahwa survei bisa dipesan (siapa saja, baik perorangan maupun lembaga partai politik), tapi hasilnya dijamin tak bisa dipesan. 

Karena SOP di sebuah lembaga survei seperti LSI Denny JA, salah satu yang diharamkan peneliti adalah mengutak atik hasil survei untuk sekadar menyenangkan klien.

Korbannya sudah banyak. Sejumlah kandidat di Pilkada, bahkan di Pilpres, beberapa kali direkomendasikan untuk tidak maju. Kenapa? Karena dari hasil survei kita, kandidat tersebut tidak memenuhi tuntutan hukum besi untuk menang berdasarkan data survei. 

Meski begitu, tak jarang kandidat yang tetap ngotot maju karena tak percaya survei, akhirnya di ujung pertarungan, tepatnya saat hari H pemilihan, kandidat baru menyesal setelah hasilnya kalah, karena tak mendengar rekomendasi kami dari lembaga survei.

Mungkin, jika lembaga survei hanya mengejar target profit berupa bayaran, siapapun kandidatnya akan didorongnya untuk tetap maju, meskipun potensi kalahnya besar, yang penting dibayar.

Dalam kontek ini, clear, lembaga survei memang bisa dipesan, tapi hasilnya haram untuk dipesan. Meskipun, dalam beberapa kasus, lembaga survei seperti LSI Denny JA, sering juga mempublis hasil survei yang dibiayai sendiri dari CSR perusahaan karena isunya yang  bersifat public interest seperti soal isu korupsi, khilafah dan lain-lain.

Saya tidak menampik fakta, tanpa bermaksud menuduh, ada sejumlah lembaga survei yang ikut meramaikan kontestasi politik lima tahunan ini dengan tanpa beban moral dan profesional mem-publish hasilnya. Yang penting, menyenangkan pemesannya. Mungkin saja, turun lapangan pun tidak untuk wawancara tatap muka. Apalagi menjunjung tinggi metodologi. Inilah yang sering kita dengar disebut sebagai lembaga survei musiman. Pasca kontestasi politik selesai, selesai juga nasib lembaga survei tersebut.

Buat lembaga survei seperti LSI Denny JA yang sudah kurang lebih 20 tahun berkiprah, pasti akan berusaha untuk tetap hidup dan eksis di jagat politik nasional. Karena itu, hampir tak mungkin mengambil langkah ceroboh dengan mem-publish hasil survei asal-asalan.

Kenapa? Karena di situ ada pertarungan record dan kredibilitas lembaga. Ada nama besar yang harus dijaga disitu. Jika LSI Denny JA berani bermain-main dengan data yang asal-asalan, bukan saja membuat lembaga kehilangan trust, tapi juga hanya akan menggali lubang kuburnya sendiri, karena tak akan ada lagi orang atau partai politik yang mau memakai jasanya lagi. Dan itu tak mungkin dilakukan, karena LSI Denny JA ingin terus hidup ikut menentukan bulat lonjong negeri ini.

Kedua, terkait dengan posisi lembaga survei, termasuk LSI Denny JA yang merangkap sebagai konsultan politik dari salah satu kandidat.

Sebagai salah seorang yang berada di dalamnya, saya harus sampaikan bahwa lembaga survei yang merangkap konsultan itu, selain tak ada aturan yang melarang, juga lumrah terjadi. Bahkan, dilakukan juga oleh lembaga-lembaga survei besar dunia seperti Gallup di Amerika Serikat.

Kenapa harus merangkap? Karena kandidat yang ingin menang itu harus punya panduan untuk memenuhi tuntutan hukum besi menang. Survei, bukan saja memandu  kandidat untuk tahu kekuatan dan kelemahan lawan, termasuk memandu strategi pergerakannya,  bahkan survei juga memandu berapa ‘amunisi’ yang diperlukan untuk bertarung dengan merujuk data popularitas dan elektabilitas kandidat yang diperoleh.

Lewat panduan data survei itulah, seorang kandidat, bergerak tidak berdasarkan feeling atau intuisi, tapi berdasarkan data survei. Misalnya, untuk prioritas campaign, apakah fokus di segmen tertentu dan zona tertentu saja, atau harus melebarkan sayap ke segmen dan zona lainnya. Semua itu yang memandu bukan feeling, tapi data.

Karena itu, tak heran, jika LSI Denny JA dalam sejumlah kasus mendampingi kandidat di Pilkada, sebulan sebelum hari H pencoblosam, kita sudah berani mengucapkan selamat kepada kandidat karena hasilnya pasti menang.

Itu juga yang terjadi pada Pilpres. Dulu, misalnya, pada 2009, saat LSI Denny JA mendampingi SBY,  sebulan sebelum hari H, kita sudah berani publish, bahwa SBY akan menang satu putaran (tayang di aneka iklan dan berita). Dan hasilnya, ternyata benar. Begitu juga saat mendampingi Jokowi.

Kalau LSI Denny JA asal-asalan hanya karena ingin menyenangkan klien, lalu hasilnya salah, misalnya SBY atau Jokowi kalah, mungkin sejak itu LSI Denny JA sudah berada di alam kubur.

Karena itulah, isu utamanya bukan pada lembaga survei itu merangkap konsultan atau bukan, dibayar atau tidak, tapi pada seberapa lembaga itu mampu menjaga kepercayaan publik dengan integritas moral dan profesionalnnya.

Ketiga, Apakah hasil survei itu bisa meleset? Jawabannya bisa. Dalam survei itu ada yang disebut juga dengan anomali. Anomali itu dalam ilmu sosial bisa terjadi, tapi jarang terjadi. Biasanya hasil survei meleset karena ada faktor faktor abnormal yang menyertainya. 

Misalnya, pada saat Pilkada pertama di Nanggro Aceh Darusalam (NAD) Aceh pada 2007, semua lembaga survei meleset secara berjamaah. Kenapa? Karena ada situasi di sana, dimana masyarakat masih dalam suasana tak normal karena GAM. Sehingga, pada saat relawan riset kita yang asing datang ke rumah-rumah responden, mayoritas warga menaruh curiga, jangan-jangan intel dari Jakarta. Sehingga, kita tak bisa mendapatkan jawaban responden yang murni alias tidak tertekan.

Kasus yang kurang lebih sama, meskipun konteknya berbeda, terjadi pada Pilkada DKI Jakarta, yang membuat Ahok yang menang di  survei, harus kalah di akhir. Banyak lembaga survei yang meleset. Sejauh yang kita bedah, salah satu faktornya karena ada dinamika yang tak terduga pasca Ahok membuat pernyataan blunder dengan mengutip Alquran surat Almaidah.  Ahok dianggap penista agama dan berujung pada demo besar-besaran.

Dalam konteks dunia,  lembaga survei dan konsultan politik sekelas Gallup saja di AS  pernah tidak tepat prediksinya. Begitu juga dengan penyelenggara survei lainnya sekelas New York Time dan CNN juga pernah meleset prediksinya.

Sekadar contoh, Gallup pada tahun 1980 meleset hasil surveinya dengan penghitungan akhir pada Pilpres AS antara Jimmy Carter vs Ronald Reagan. Waktu itu, Carter diunggulkan dengan 44 persen dan Reagan 41 persen. Namun, saat quick count, Carter hanya 41 persen dan Reagan unggul dengan 50,7 persen.  

Begitu juga dengan New York Time pada tahun 1988 yang prediksinya gagal dalam Pilpres AS antara Dukakis vs George Bush. Dalam survei terakhir, Dukakis unggul dengan 49 persen sementara Bush 39 peersen. Hasil terakhir dalam penghitungan, Bush unggul dengan 53 persen dan Dukakis hanya 45 persen. Kasus yang sama terjadi pada Tme/CNN tahun 1992, dimana Clinton yang dalam survei terakhir hanya 24 persen, tapi saat penghitungan akhir unggul dengan 43 persen. 

Sementara, Roos Perot yang sebelumnya 37 persen anjlok ke 18,9 persen dan Bush dari semula 24 persen  naik ke 37,4 persen. Selisih perbedaan rata-ratanya antara 10 sampai 20 persen lebih dengan posisi yang berbalik-balik. 

Itu  semua contoh sebuah anomali yang bisa terjadi dalam ilmu sosial, bahkan  ini terjadi pada lembaga survei dunia sekelas Gallup, New York Time dan CNN. Tentu, jika dibandingkan dengan record keakuratan survei lainnya jauh lebih banyak ketimbang melesetnya. Wajarlah, misalnya, dari lebih 200 kali LSI Denny JA melakukan survei, hanya 2 atau 3 kali meleset.

Yang pasti, percaya kepada survei jauh lebih cerdas ketimbang percaya kepada dukun. 

Toto Izul Fatah – Direktur Eksekutif Citra Komunikasi Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA

Back to top button